Memahami Gugatan Peradilan Tata Usaha Negara I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.
Indonesia adalah negara hukum (rechtstaat) bukan negara yang mengedepankan kekuasaan (machstaat). Artinya segala sesuatu yang dilakukan di Indonesia wajib didasarkan atas hukum yang berlaku. Selain itu, makna negara hukum adalah jaminan bahwa warga negara Indonesia akan mendapatkan perlindungan hukum, terutama ketika warga negara dirugikan atau diserang hak-hak hukumnya. Termasuk ketika Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang melakukannya. Untuk itulah pemerintah menyediakan penyaluran ketika warga negara ingin mencari keadilan atas tindakan yang tidak sesuai yang dilakukan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mempunyai akibat ruginya hak-hak hukum warga negara melalui beracara di Peradilan Tata Usaha Negara. Tahap pertama dalam beracara di seluruh lembaga Pengadilan termasuk Pengadilan Tata Usaha Negara adalah mendaftarkan gugatan secara tertulis melalui Kepaniteraan Pengadilan. Hal tersebut merupakan suatu keharusan yang dilakukan karena telah diatur di dalam Undang-Undang, selain itu karena dengan surat gugatanlah Hakim akan dengan mudah memeriksa perkara. Untuk menyusun suatu surat gugatan (gugatan tertulis) tersebut haruslah dibutuhkan pengetahuan dan tekhnik-tekhnik tertentu yang diperoleh dari sumber hukum acara Peradilan Tata Usaha Negara. karena dengan kesalahan dalam surat gugatan dapat berimplikasi yang fatal terhadap gugatan yang diajukan. Atas dasar latar belakang tersebutlah makalah ini disusun selain untuk memenuhi tugas kelompok dalam mata kuliah Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara.
B. Rumusan Masalah.
Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah makalah ini akan membahas beberapa hal sebagai berikut :
1. Apakah yang dimaksud dengan Gugatan dan apakah yang dimaksud dengan surat gugatan ?
2. Ada berapakah bagian-bagian penting dalam surat gugatan dan apakah yg dimaksud dengan kepala gugatan ?
3. Siapakah subyek sengketa serta bagaimana cara penulisan identitas para pihak dalam surat gugatan pada sengketa Tata Usaha Negara ?
4. Apa saja obyek gugatan dalam sengketa Tata Usaha Negara ?
C. Tujuan Penulisan.
Tujuan merupakan ungkapan sasaran-sasaran yang ingin dicapai dalam makalah ini. Dalam makalah ini memiliki tujuan sebagai berikut :
1. Memberikan pemahaman mengenai pengertian gugatan dan surat gugatan dalam Peradilan Tata Usaha Negara.
2. Memberikan pemahaman mengenai bagian-bagian surat gugatan dan ketentuan terkait kepala surat gugatan yang diajukan dalam sengketa Tata Usaha Negara.
3. Memberikan pemahaman mengenai subyek atau para pihak yang bersengketa dan cara penulisan identitas para pihak dalam sengketa Tata Usaha Negara.
4. Memberikan pemahaman mengenai obyek sengketa dalam Peradilan Tata Usaha Negara.
D. Metode Penulisan.
Metode penulisan dalam penulisan makalah ini adalah dengan menggunakan studi pustaka.
PEMBAHASAN
A. Pengertian Gugatan.
Pengertian gugatan terdapat dalam Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo. Pasal 1 Angka 11 UU No. 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Dalam Pasal dan Angka tersebut dinyatakan bahwa “Gugatan adalah permohonan yang berisi tuntutan terhadap badan atau pejabat tata usaha negara dan diajukan ke pengadilan untuk mendapatkan putusan”. Berdasarkan rumusan Ketentuan diatas, dapat dipahami bahwa unsur-unsur dari gugatan adalah sebagai berikut :
Ø Permohonan
Ø Berisi tuntutan terhadap Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara untuk menyatakan batal atau tidak sah suatu KTUN ataupun menuntut untuk diterbitkan suatu KTUN.
Ø Diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara melalui Kepaniteraan perkara
Ø Tujuan diajukannya gugatan untuk mendapatkan putusan.
Lebih lanjut, pengaturan terkait gugatan, terdapat ketentuan pula bahwa gugatan yang diajukan kepada Pengadilan haruslah secara tertulis. Hal tersebut sesuai dengan isi Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo. Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 disebutkan bahwa Seseorang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada Pengadilan yang berwenang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan gati rugi dan/atau rehabilitasi. Dari pasal itulah kemudian dikenal Surat Gugatan.
B. Bagian-Bagian Gugatan dan Kepala Gugatan.
Setelah dijelaskan mengenai surat gugatan diatas. Perlu rasanya dibahas mengenai bagian-bagian dari surat gugatan. hal tersebut penting mengingat masing-masing bagian memiliki fungsi yang berbeda-beda dan mempunyai celah untuk disangkal (dieksepsi) oleh pihak Tergugat apabila tidak jeli dalam merumuskannya.
Bagian-bagian surat gugatan sebenarnya telah disinggung di dalam Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 yang berbunyi “Gugatan harus memuat : a. nama, kewarganegaraan, tempat tinggal, dan pekerjaan penggugat, atau kuasanya; b. nama, jabatan, dan tempat kedudukan tergugat; c. dasar gugatan dan hal yang diminta untuk diputuskan oleh Pengadilan.” Dari ketentuan Pasal tersebut dapat kita simpulkan bahwa yang merupakan bagian-bagian dari surat kuasa adalah Identitas para pihak, dasar gugatan dan petitum. Hal itulah yang dapat ditangkap dari redaksi Pasal 56 tersebut. Tetapi dalam referensi lain juga dikatakan bahwa sebelum memasuki identitas para pihak, surat gugatan juga sebaiknya dilengkapi dengan kepala gugatan. kepala gugatan mempunyai peran yang cukup penting dalam surat gugatan karena di dalam kepala gugatan memuat diataranya adalah tempat dan tanggal pengajuan gugatan, perihal, dan alamat gugatan. tampat dan tanggal gugatan mempunyai fungsi yang sangat vital, tempat pengajuan gugatan merupakan hal yang sangat penting menyangkut daerah hukum Pengadilan tempat Perkara diajukan[1]. Hal tersebut sesuai dengan Pasal 54 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 yang berbunyi :
- Ayat (1) Gugatan Sengketa Tata Usaha Negara diajukan kepada Pengadilan yang berwenang yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan Tergugat.
- Ayat (2) Apabila Tergugat lebih dari satu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dan berkedudukan tidak dalam satu faerah Hukum Pengadilan, Gugatan diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi kedudukan salah satu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
- Ayat (3) Dalam hal tempat kedudukan Tergugat tidak berada dalam daerah hukum Pengadilan tempat kediaman Pengugat, maka Gugatan dapat diajukan ke Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Penggugat selanjutnya diteruskan kepada Pengadilan yang bersangkutan.
- Ayat (4) Dalam hal-hal tertentu sesuai dengan sifat sengketa Tata Usaha Negara yang bersangkutan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah, Gugatan dapat diajukan kepada Pengadilan yang berwenang yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Penggugat.
- Ayat (5) Apabila Penggugat dan Tergugat berkedudukan atau berada di luar negeri, Gugatan diajukan kepada Pengadilan di Jakarta.
- Ayat (6) Apabila Tergugat berkedudukan di dalam negeri dan Penggugat di luar negeri, Gugatan diajukan kepada Pengadilan ditempat kedudukan Tergugat. Apabila tempat pengajuan salah maka dapat mempunyai resikonya adalah dapat dieksepsi oleh pihak Tergugat. Hal tersebut diatur dalam Pasal 77 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986. Sedangkan pentingnya tanggal pengajuan gugatan berkaitan erat dengan masa waktu pengajuan gugatan. mengenai tenggang waktu pengajuan gugatan tersebut dapat dilihat dalam Pasal 55 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 yang berbunyi “Gugatan dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu sembilan puluh hari terhitung sejak saat diterimanya atau diumumkannya Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara”. sehingga tanggal pada gugatan dapat dilihat apakah gugatan yang diajukan telah lewat dari masa pengajuan gugatan atau belum. Apabila ternyata tanggal pengajuan gugatan telah melewati masa pengajuan gugatan yang ditentukan oleh Undang-Undang, maka hal tersebut mempunyai resiko kemungkinan tidak diterimanya gugatan atau gugatan dinyatakan tidak berdasar oleh Majelis Hakim berdasarkan Pasal 62 ayat (1) point E yang menyatakan “Dalam rapat permusyawaratan, Ketua Pengadilan berwenang memutuskan dengan suatu penetapan yang dilengkapi dengan pertimbangan-pertimbangan bahwa gugatan yang diajukan itu dinyatakan tidak diterima atau tidak berdasar, dalam hal : a. pokok gugatan tersebut nyata-nyata tidak termasuk dalam wewenang Pengadilan; b. syarat-syarat gugatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 tidak dipenuhi oleh penggugat sekalipun ia telah diberi tahu dan diperringatkan; c. gugatan tersebut tidak didasarkan pada alasan-alasan yang layak; d. apa yang dituntut dalam gugatan sebenarnya sudah terpenuhi oleh Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat; e. gugatan diajukan sebelum waktunya atau telah lewat waktunya.” Perihal gugatan penting untuk mengetahui apa yang disengketakan dan diajukan untuk diperiksa oleh Penggugat. Di dalam kepala surat gugatan, alamat kantor PTUN atau PTTUN juga harus ditulis secara lengkap termasuk kode posnya walaupun mungkin kotanya berbeda.Misalnya: Pengadilan Tata Usaha Negara Surabaya Jalan … No… di Sidoarjo Kode Pos ……Tentang hal ini harus disesuaikan dengan penyebutan yang telah ditentukan dalam UU No. 19 Tahun1960 dan Keppres No. 52 tahun 1990.
C. Subyek Gugatan dan Identitas Para Pihak dalam Gugatan.
a) Pihak Penggugat.
Seperti halnya pada pemeriksaan pada sidang pengadilan lainnya di lingkungan kekuasaan kehakiman, para pihak yang bersengketa dalam peradilan Tata Usaha Negara disebut dengan Penggugat dan Tergugat. Ketentuan mengenai para pihak dalam Peradilan Tata Usaha Negara diatur di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004. Di dalam pasal 53 Undang-Undang tersebut dikatakan bahwa “Orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang berwenang yang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan atau rehabilitasi.” Dari ketentuan pasal tersebut dapat diketahui bahwa yang dapat bertindak sebagai penggugat dalam Peradilan Tata Usaha Negara adalah :
1. Orang yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara;
2. Badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara.
Jadi, pada pemeriksaan di sidang pengadilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara tidak dimungkinkan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara bertindak sebagai Penggugat. Memang, sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara masih dimungkinkan bertindak sebagai penggugat, tetapi semenjak berlakunya Undang-Undang tersebut hal tersebut sudah tidak dimungkinkan lagi. Hanya saja menurut Para Ahli hukum, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dapat bertindak sebagai penggugat dalam sengketa Tata Usaha Negara, tetapi hanya terbatas pada permasalahan sertifikat tanah, karena alas hak dari gugatan adalah hak keperdataan dari BUMN tersebut.
Berapa banyak orang ataupun badan hukum perdata tidak dipermasalahkan untuk maju sebagai penggugat dalam Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, selain itu juga apakah orang atau badan hukum perdata yang dituju ataupun tidak dituju oleh Keputusan Tata Usaha Negara yang diselenggarakan juga dapat menjadi penggugat, asalkan kesemuanya mempunyai unsur yang sama, yaitu merasa dirugikan kepentingannya oleh Keputusan Tata Usaha Negara. Kepentingan yang dimaksud dalam rumusan pasal tersebut menurut Indroharto harus mengandung ketentuan sebagai berikut :
1. Menunjuk kepada nilai yang harus dilindungi oleh hukum.
Nilai-nilai yang harus dilindungi oleh hukum menurut Indroharto ditentukan oleh faktor-faktor sebagai berikut :
a. Kepentingan dalam kaitannya yang berhak menggugat.
Atas dasar yurisprudensi peradilan perdata yang ada sampai sekarang, kepentingan yang harus dilindungi oleh hukum itu baru ada ketika kepentingan itu jelas :
- Kepentingan itu ada hubungannya dengan penggugat sendiri;
- Kepentingan itu harus bersifat pribadi;
- Kepentingan itu harus bersifat langsung;
- Kepentingan itu secara objektif dapat ditentukan, baik mengenai luas maupun mengenai intensitasnya.
b. Kepentingan dalam hubungannya dengan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan. Artinya, penggugat harus dapat menunjukkan bahwa Keputusan Tata Usaha Negara yang digugatnya itu merugikan dirinya sendiri secara langsung.
2. Kepentingan proses, artinya apa yang hendak dicapai dengan melakukan suatu proses gugatan yang bersangkutan. Maksudnya adalah, bahwa tujuan yang hendak dicapai dengan berproses adalah terlepas dari kepentingan yang harus dilindungi oleh hukum. Jadi, berproses yang tidak ada tujuan apa-apa harus dihindarkan, tidak diperbolehkan. Demikian pendapat Indroharto tentang apa yang dimaksud dengan “kepentingan” dalam Pasal 35 ayat 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004[2].
b) Pihak Tergugat.
Tergugat dalam sengketa Peradilan Tata Usaha Negara terdapat dalam Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo. Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009. Dalam Pasal tersebut disebutkan bahwa yang dimaksud dengan Tergugat adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya yang digugat oleh orang atau badan hukum perdata. Yang dimaksudkan “wewenang” dalam Pasal tersebut adalah wewenang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, jadi wewenang dalam pengertian hukum publik. Lalu dari pengertian dalam Pasal tersebut, apakah kriteria agar Badan atau Pejabat dapat dikategorikan sebagai Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, telah dijelaskan dalam Bab 3 tentang Keputusan Tata Usaha Negara. Dari ketentuan Pasal 1 angka 6 tersebut dapat diketahui bahwa sebagai Tergugat dibedakan sebagai berikut :
1. Badan Tata Usaha Negara yang mengeluarkan keputusan Tata Usaha Negara berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya yang digugat oleh orang atau badan hukum perdata.
2. Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan keputusan Tata Usaha Negara berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya yang digugat oleh orang atau badan hukum perdata.
Berdasarkan rumusan Pasal 1 angka 6 tersebut, yaitu dengan perumusan “berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya”, maka untuk menentukan Badan Usaha atau Pejabat yang menjadi Tergugat dalam sengketa Tata Usaha Negara, perlu terlebih dahulu diperhatikan jenis dari wewenang Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara, apakah atribusi, pemberi kuasa (mandat), atau pelimpahan wewenang (delegasi).
Dengan memperhatikan apa yang dimaksud dengan masing-masing jenis wewenang tersebut, Mahkamah Agung memberikan petunjuk kepada Kepala Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dan Kepala Pengadilan Tata Usaha Negara sebagai berikut :
a. Jika wewenang yang diberikan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah wewenang atribusi atau wewenang delegasi maka yang menjadi Tergugat adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang memperoleh wewenang tersebut untuk mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan.
b. Jika wewenang yang diberikan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah wewenang pemberi kuasa (mandat), maka yang menjadi Tergugatnya adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha yang memberikan wewenang kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan.[3]
c) Pihak Intervensi.
Dalam proses penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara yang sedang berlangsung, selain Penggugat danTergugat, kadang-kadang terdapat pihak ketiga yang mempunyai kepentingan terhadap penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara tersebut, sehingga pihak ketiga tersebut diberikan kesempatan oleh Undang-Undang untuk ikut serta dalam penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara yang sedang berlangsung tersebut. keikut sertaan pihak ketiga ini, dalam istilah kepustakaan hukum disebut intervensi. Dalam Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, intervensi diatur dalam Pasal 83 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 yang menentukan :
1) Selama pemeriksaan berlangsung, setiap orang yang berkepentingan dalam sengketa pihak lain yang sedang diperiksa oleh Pengadilan, baik atas prakarsa sendiri dengan mengajukan permohonan maupun atas prakarsa Hakim, dapat masuk dalam sengketa Tata Usaha Negara dan bertindak sebagai :
a. Pihak yang membela haknya, atau
b. Peserta yang bergabung dengan salah satu pihak yang bersangkutan.
2) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dikabulkan atau ditolak oleh Pengadilan dengan putusan yang dicantumkan dalam berita acara sidang.
3) Permohonan banding terhadap putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak dapat diajukan tersendiri, tetapi harus bersama-sama dengan permohonan banding terhadap putusan akhir dalam pokok sengketa.
Apa yang dimaksud dengan “kepentingan”dalam Pasal 83 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 adalah sama dengan apa yang dimaksud dengan “kepentingan” dalam Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004.
Dalam masalah tenggang waktu yang harus diperhatikan apabila pihak-pihak diluar Penggugat dan Tergugat yang merasa dirugikan kepentingannya ingin masuk dalam penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara, Mahkamah Agung selaku Pemegang Kekuasaan Tertinggi dalam Kekuasaan Kehakiman memberikan petunjuk kepada Kepala Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dan Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara, bahwa gugatan intervensi dapat diajukan paling lambat sebelum pemeriksaan saksi-saksi, hal mana untuk menghindari pemeriksaan persiapan yang harus diulang lagi.
Mengenai prakarsa keikutsertaan pihak ketiga dalam proses penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara yang sedang berlangsung, dari ketentuan yang terdapat dalam Pasal 83 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 dapat diketahui bahwa pihak ketiga tersebut bertindak :
a. Atas prakarsa sendiri.
Pihak ketiga atas prakarsa sendiri ikut serta dalam proses penyelesaian perkara Tata Usaha Negara yang sedang berlangsung untuk mempertahankan dan membela hak dan kepentingannya agar ia jangan sampai dirugikan oleh putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang sedang berlangsung.
b. Atas prakarsa Hakim.[4]
Mengenai keikutsertaan pihak ketiga atas prakarsa Hakim kedalam proses penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara yang sedang berlangsung, Mahkamah Agung telah memberikan petunjuk sebagai berikut :
- Sebaiknya sebelum Hakim mengeluarkan penetapan dalam putusan selanya yang bermaksud menarik pihak ketiga atas inisiatif Hakim, perlu yang bersangkutan dipanggil lebih dahulu dan diberi penjelasan apakah ia bersedia masuk dalam perkara yang sedang diperiksa.
- Pihak ketiga yang bukan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bergabung dengan pihak Tergugat Asal, seyogyanya berkedudukan sebagai saksi yang menyokong Tergugat, karena ia mempunyai kepentingan yang paralel dengan Tergugat Asal dan ia tidak dapat berkedudukan sebagai pihak Tergugat sesuai ketentuan Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986.
Selain keikut sertaan pihak ketiga dalam proses penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara yang sedang berlangsung atas prakarsa pihak ketiga sendiri dan atas prakarsa Hakim, dalam penjelasan Pasal 83 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 dijelaskan bahwa adakalanya pihak ketiga juga dapat ditarik untuk masuk dalam proses penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara yang sedang berlangsung atas inisiatif atau permintaan salah satu pihak sebagai Penggugat II Intervensi atau Tergugat II Intervensi[5].
d) Identitas Para Pihak dalam Surat Gugatan.
Penggugat dalam upaya mempertahankan haknya dalam sengketa dengan mengajukan perkaranya (gugatannya) kepada Majelis Hakim sidang Pengadilan Tata Usaha Negara diwajibkan untuk menjelaskan gambaran perkaranya secara tertulis dalam bentuk surat gugatan. Dalam proses penyelesaian perkara, surat gugatan merupakan hal yang sangat penting. hal tersebut dikarenakan bahwa surat gugatan mempunyai beberapa fungsi, diantaranya adalah agar mempermudah majelis Hakim dalam memeriksa perkara tersebut, terutama dalam acara pembuktian. Selain itu surat gugatan juga berfungsi mempermudah pihak tergugat untuk memberikan jawaban dan bantahannya terhadap sengketa yang terjadi. Dalam surat gugatan ada beberapa hal yang penting yang harus diperhatikan dalam pembuatannya. Hal tersebut dimaksudkan agar surat gugatan tersebut tidak terkena eksepsi (tangkisan) dari pihak tergugat atau penolakan dari majelis Hakim yang memeriksa perkara tersebut. Salah satu hal yang penting dalam surat gugatan tersebut adalah penulisan identitas para pihak yang bersengketa. Dalam format surat gugatan tersebut terdapat tiga identitas para pihak, yaitu pihak Penggugat, Tergugat dan Intervensi (apabila ada). Penulisan identitas para pihak telah dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 dalam Pasal 56 ayat (1) bahwa identitas penggugat yang harus ditulis atau dijelaskan dalam surat gugatan diantaranya adalah Nama Penggugat, Kewarganegaraan Penggugat, Tempat Tinggal Penggugat, dan Pekerjaan Penggugat atau kuasanya. Nama dan domisili penggugat dalam identitas para pihak merupakan hal yang penting, karena dari hal tersebutlah dapat diketahui kepentingan (langsung dan tidak langsung) penggugat terhadap obyek sengketa. Selain itu juga untuk mengetahui apakah penggugat merupakan Badan Hukum Perdata atau tidak. Khusus mengenai sengketa kepegawaian domisili penting untuk mengetahui kesesuaian domisili dengan kompetensi PTUN. Sedangkan identitas Tergugat hanya ditulis Nama Tergugat , Jabatan Tergugat dan Tempat Kedudukan Tergugat saja. Nama Instansi atau Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang digugat harus secara jelas disebutkan dalam surat gugatan yaitu terhadap Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara mana gugatan tersebut dialamatkan yakni yang mengeluarkan Keputusan yang menjadi obyek sengketa.[6] Apabila identitas para pihak tidak ditulis seperti yang diatur dalam Pasal 56 ayat (1) seperti diatas, maka surat gugatan tersebut rawan terkena eksepsi dari Tergugat sebagaimana telah dijelaskan dalam Pasal 77 dalam Undang-Undang tersebut.
D. Objek Gugatan
Pembahasan berikutnya setelah pembahasan mengenai pengertian gugatan, kepala gugatan dan identitas para pihak adalah obyek gugatan, yang mana obyek gugatan tersebut merupakan bagian ketiga dari surat gugatan setelah identitas para pihak. Pada Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara dikenal ada dua objek yang dapat digugat di Pengadilan Tata Usaha Negara, yaitu :
1) Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN)
Menurut UU Nomor 5 tahun 1986 tentang pasal 1 angka (3) tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang menyatakan bahwa KTUN adalah Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.[7]
Jika di uraikan apa yang dimaksud dengan Keputusan Tata Usaha Negara, maka akan di temukan unsur-unsurnya yaitu:
a. Bentuk penetapan itu harus tertulis
Menurut Pasal 1 angka 3 UU No.5 Tahun 1986 (Pasal 1 angka 9 UU No. 5 tahun 1986 jo. UU No. 51 Tahun 2009) menyebutkan bahwa istilah penetapan tertulis terutama menunjuk kepada isi dan bukan bentuk kepada bentuk keputusan yang di keluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Keputusan ini diharuskan tertulis, namun yang disyaratkan tertulis bukanlah bentuk formalnya seperti surat surat keputusan pengangkatan dan sebagainya.
Lebih lanjut pasal 1 angka 3 menyebutkan bahwa sebuah memo atau nota akan merupakan suatu keputusaan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara apabila sudah jelas: pertama, badan atau pejabat tata usaha mana yang mengeluarkanya, kedua, maksud serta mengenai hal apa isi dari memo atau nota itu, ketiga, pada siapa memo atau nota itu ditujukan dan apa yang di tetapkan di dalamnya.
b. Ia dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara;
Menurut pasal 1 angka 2 UU No. 5 Tahun 1986 (pasal 1 angka 8 UU No. 5 tahun 1986 jo. UU No. 51 tahun 2009) yang dimaksud dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah badan atau pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Badan atau pejabat tersebut mempunyai wewenang untuk melaksanakan urusan pemerintahan yang diperoleh dengan cara atribusi, delegasi atau mandat. Selanjutya dalam Pasal 1 angka 1 disebutkan bahwa “urusan pemerintahan” adalah kegiatan yang bersifat eksekutif dalam artian bukan kegiatan yang legislatif atau yudikatif.
Menurut pasal 1 angka 2 UU No. 1986 (pasal 1 angka 8 UU No. 5 tahun 1986 jo. UU No. 51 tahun 2009) menyebutkan bahwa peraturan perundang-undangan terdiri dari: Pertama, peraturan yang bersifat mengikat secara umum yang di keluarkan oleh Badan Perwakilan rakyat bersama pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah. Kedua, keputusan badan atau pejabat tata usaha Negara yang bersifat mengikat umum, baik di tingkat pusat atau di tingkat daerah.
Sedangkan menurut pasal 8 ayat (1) UU No. 12 tahun 2011 mencakup peraturan yang di tetapkan oleh MPR, DPR, DPD, MA, MK, BPK, KY, BI, Menteri, Badan, Lembaga atau Komisi yang di bentuk dengan Undang-undang atau peraturan pemerintah atas perintah Undang-undang, DPRD Peovinsi, Gubernur, DPRD Kabupaten atau Kota, Bupati atau Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.
c. Berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Oleh penjelasan pasal 1 angka 3 UU No. 5 tahun 1986 (pasal 1 angka 9 UU No. 5 tahun 1986 jo. UU No. 51 tahun 2009) di sebutkan bahwa yang di maksud dengan “tindakan hukum tata usaha Negara” adalah perbuatan hukum badan atau pejabat tata usaha Negara yang bersumber pada ketentuan hukum tata usaha Negara yang dapat menimbulkan hak dan kewajiban pada orang lain.
Dengan tindakan hukum Tata Usaha Negara adalah tindakan dari badan atau pejabat tata usaha Negara yang dilakukan atas dasar perturan perudang-undangan yang berlaku yang menimbulkan akibat hukum mengenai urusan pemerintahn terhadap seseorang atau badan hukum perdata.
Karena tindakan hukum dari badan atau pejabat tata usaha Negara tersebut atas dasar perundang-undangan menimbulkan akibat hukum mengenai urusan pemerintahan, maka dapat dikatakan tindakan hukum dari badan atau pejabat tata usaha Negara itu selalu merupakan tindakan hukum publik sepihak.
d. Bersifat Konkret, Individual dan final;
Menurut penjelasan pasal 1 angka 3 UU No. 5 tahun 1986 ini yaitu:
1. Bersifat konkret, artinya objek yang di putuskan dalam Keputusan Tata Usaha Negara idak abstrak, tetapi berwujud, tertent, atau dapat di tentukan, umpamanya keputusan mengenai pembongkaran rumah si A, izin bagi usaha bagi si B, dan pemberhentian bagi si A sebagi pegawai negeri.
2. Bersifat individual, artinya Keputusan Tata Usaha Negara itu tidak di tunjukan untuk umum, tetapi tertentu, baik alamat maupun hal yang dituju. Kalau yang dituju lebih dari seorang, maka tiap-tiap nama oaring yang terkena keputusan itu disebutkan, umpama keputusan tentang perbuatan atau pelebaran jalan dengan lampiran menyebutkan nama-nama yang terkena keputusan tersebut.
3. Bersifat final, artinya sudah definitive dan karenanya dapat menimbilkan akibat hukum. Keputusan yang masih memerlukan persetujuan instansi atasa atau instansi lain belum bersifat final, karena belum dapat menimbulkan suatu hak dan kewajiban pada pihak yang bersangkutan, umpamanya keputusan pengangkatan seorang pegawai negeri memerlukan persetujuan dari Badan Kepegawaian Negara.
e. Menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
Yang dimaksud dengen “menimbulkan akibat hukum” adalah menimbulkan akibat hukum tata usaha Negara, karena penetapan tertulis yang di keluarkan oleh badab atau pejabat tata usaha Negara yang menimbulkan akibat hukum tersebut adalah berisi tindakan hkum tata usaha Negara.
Akibat hukum tata usaha Negara tersebut dapat berupa:
1) Menguatkan suatu hubungan hukum atau keadaan hukum yang telah ada (diclaratoir), misalnya surat keterangan dari pejabat pembuat akta tanah yang isinya menyebutkan antara A dan B memang telah terjadi jual beli tanah atau surat keterangan dari kepala desa yang isinya menyebutkan tentang asal-usul anak yang akan nikah.
2) Menimbulkan suatu hubungan hukum atau keadaan hukum yang baru (Constitutief), misalnya keputusan jaksa agung tentang pengangkatan calon pegawai sipil atau keputusan menteri perindustrian dan perdagangan yang isinya menyebutkan suatu Perseroan Terbatas di berikan izin untuk mengimpor suatu jenis barang.
3) (a) Menolak untuk menguatkan hubungan hukum atau keadaan hukum yang telah ada, misalanya keputusan Jaksa Agung tentang penolakan untuk mengangkat calon Pegawai Negari Sipil atau Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional tentang penolakan permohonan perpanjangan Hak Guna Usaha.
(b) Menolak untuk menimbulkan hubungan hukum atau keadaan hukum yang baru, misalnya keputusan jaksa agung tentang penolakan untuk mengangkat calon Pegawai Negari Sipil atau keputusan mentri perindustrian dan perdagangan tentang penolakan permohonan dari suatu Perseroan Terbatas untuk mengimpor suatu barang.
2) Fiktif Negatif ( yang dianggap sama dengan KTUN)
Disamping KTUN, terdapat satu lagi objek yang dapat di gugat di Pengadilan Tata Usaha Negara yaitu Fiktif Negatif. Fiktif Negatif ini tidak ada wujudnya atau abstrak. Abstrak disini maksudnya adalah tidak berbentuk Surat KTUN, hal ini terjadi apabila Badan atau Pejabat TUN tidak mengeluarkan SK yang dimohonkan kepadanya oleh Penggugat, sedang hal itu menjadi kewajibannya maka hal tersebut dianggap sama dengan KTUN. KTUN ini dikenal dengan istilah Fiktif Negatif yang juga merupakan Objek gugatan yang merupakan kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara. Pengaturan mengenai Fiktif Negatif terdapat dalam Pasal 3 UU No. 5 Tahun 1986 sebagai berikut :
1. Apabila Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan, sedangkan hal itu menjadi kewajibannya, maka hal tersebut disamakan dengan Keputusan Tata Usaha Negara.
2. Jika suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan yang dimohon, sedangkan jangka waktu sebagaimana ditentukan data peraturan perundang-undangan dimaksud telah lewat, maka Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tersebut dianggap telah menolak mengeluarkan keputusan yang dimaksud.
3. Dalam hal peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak menentukan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka setelah lewat jangka waktu empat bulan sejak diterimanya permohonan, Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan dianggap telah mengeluarkan keputusan penolakan.[8]
PENUTUP
A. Kesimpulan.
Kesimpulan yang dapat kita ambil dari makalah ini adalah bahwa di dalam Peradilan Tata Usaha Negara ketika terdapat orang atau Badan Hukum Perdata yang merasa dirugikan haknya oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara dengan cara tertulis maupun lisan yang akan dituangkan di dalam surat gugatan. Gugatan pada umumnya memuat beberapa bagian penting diantaranya adalah kepala surat, identitas para pihak, dan obyek sengketa yang dijelaskan secara rinci dan jelas. Bahwa para pihak yang bersengketa dalam Peradilan Tata Usaha Negara dapat ditempatkan sebagai Penggugat, Tergugat, dan Intervensi. Dalam surat gugatan para pihak yang bersengketa diwajibkan untuk menyebutkan identitas meliputi : Penggugat harus disebutkan Nama Penggugat, Kewarganegaraan Penggugat, Tempat Tinggal Penggugat, dan Pekerjaan Penggugat atau kuasanya, dan Tergugat harus disebutkan Nama Tergugat , Jabatan Tergugat dan Tempat Kedudukan Tergugat. Hal tersebut telah ditetapkan di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Pasal 56 ayat (1).
Dalam sengketa di Pengadilan Tata Usaha Negara tersebut pastilah terdapat obyek sengketa yang melatarbelakangi terjadinya sengketa. Obyek sengketa dalam Peradilan Tata Usaha Negara yaitu Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) yang mana diatur dalam Pasal 1 ayat 2 dan 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo. Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009. dan Obyek Fiktif Negatif ( yang dianggap sama dengan KTUN) yang diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986.
DAFTAR PUSTAKA
1. Abdullah, Rozali. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta: -
PT RajaGrafindo Persada. 2002.
2. Harahap, Zairin. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta: -
PT RajaGrafindo Persada. 1997.
3. Marbun, SF. Peradilan Tata Usaha Negara. Yogyakarta: Liberty. 2003.
4. Wiyono, R. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta: Sinar –
Grafika. 2014.
No comments:
Post a Comment