Wednesday, November 23, 2016

Gugatan Peradilan TUN

Memahami Gugatan Peradilan Tata Usaha Negara I

PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang.
Indonesia adalah negara hukum (rechtstaat) bukan negara yang mengedepankan kekuasaan (machstaat). Artinya segala sesuatu yang dilakukan di Indonesia wajib didasarkan atas hukum yang berlaku. Selain itu, makna negara hukum adalah jaminan bahwa warga negara Indonesia akan mendapatkan perlindungan hukum, terutama ketika warga negara dirugikan atau diserang hak-hak hukumnya. Termasuk ketika Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang melakukannya. Untuk itulah pemerintah menyediakan penyaluran ketika warga negara ingin mencari keadilan atas tindakan yang tidak sesuai yang dilakukan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mempunyai akibat ruginya hak-hak hukum warga negara melalui beracara di Peradilan Tata Usaha Negara. Tahap pertama dalam beracara di seluruh lembaga Pengadilan termasuk Pengadilan Tata Usaha Negara adalah mendaftarkan gugatan secara tertulis melalui Kepaniteraan Pengadilan. Hal tersebut merupakan suatu keharusan yang dilakukan karena telah diatur di dalam Undang-Undang, selain itu karena dengan surat gugatanlah Hakim akan dengan mudah memeriksa perkara. Untuk menyusun suatu surat gugatan (gugatan tertulis) tersebut haruslah dibutuhkan pengetahuan dan tekhnik-tekhnik tertentu yang diperoleh dari sumber hukum acara Peradilan Tata Usaha Negara. karena dengan kesalahan dalam surat gugatan dapat berimplikasi yang fatal terhadap gugatan yang diajukan. Atas dasar latar belakang tersebutlah makalah ini disusun selain untuk memenuhi tugas kelompok dalam mata kuliah Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara.
B.     Rumusan Masalah.
Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah makalah ini akan membahas beberapa hal sebagai berikut :
1.      Apakah yang dimaksud dengan Gugatan dan apakah yang dimaksud dengan surat gugatan ?
2.      Ada berapakah bagian-bagian penting dalam surat gugatan dan apakah yg dimaksud dengan kepala gugatan ?
3.      Siapakah subyek sengketa serta bagaimana cara penulisan identitas para pihak dalam surat gugatan pada sengketa Tata Usaha Negara ?
4.      Apa saja obyek gugatan dalam sengketa Tata Usaha Negara ?
C.     Tujuan Penulisan.
Tujuan merupakan ungkapan sasaran-sasaran yang ingin dicapai dalam makalah ini. Dalam makalah ini memiliki tujuan sebagai berikut :
1.      Memberikan pemahaman mengenai pengertian gugatan dan surat gugatan dalam Peradilan Tata Usaha Negara.
2.      Memberikan pemahaman mengenai bagian-bagian surat gugatan dan ketentuan terkait kepala surat gugatan yang diajukan dalam sengketa Tata Usaha Negara.
3.      Memberikan pemahaman mengenai subyek atau para pihak yang bersengketa dan cara penulisan identitas para pihak dalam sengketa Tata Usaha Negara.
4.      Memberikan pemahaman mengenai obyek sengketa dalam Peradilan Tata Usaha Negara.
D.    Metode Penulisan.
Metode penulisan dalam penulisan makalah ini adalah dengan menggunakan studi pustaka.

PEMBAHASAN
A.    Pengertian Gugatan.
Pengertian gugatan terdapat dalam Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo. Pasal 1 Angka 11 UU No. 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Dalam Pasal dan Angka tersebut dinyatakan bahwa “Gugatan adalah permohonan yang berisi tuntutan terhadap badan atau pejabat tata usaha negara dan diajukan ke pengadilan untuk mendapatkan putusan”. Berdasarkan rumusan Ketentuan diatas, dapat dipahami bahwa unsur-unsur dari gugatan adalah sebagai berikut :
Ø  Permohonan
Ø  Berisi tuntutan terhadap Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara untuk menyatakan batal atau tidak sah suatu KTUN ataupun menuntut untuk diterbitkan suatu KTUN.
Ø  Diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara melalui Kepaniteraan perkara
Ø  Tujuan diajukannya gugatan untuk mendapatkan putusan.
Lebih lanjut, pengaturan terkait gugatan, terdapat ketentuan pula bahwa gugatan yang diajukan kepada Pengadilan haruslah secara tertulis. Hal tersebut sesuai dengan isi Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo. Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 disebutkan bahwa Seseorang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada Pengadilan yang berwenang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan gati rugi dan/atau rehabilitasi. Dari pasal itulah kemudian dikenal Surat Gugatan.
B.  Bagian-Bagian Gugatan dan Kepala Gugatan.
Setelah dijelaskan mengenai surat gugatan diatas. Perlu rasanya dibahas mengenai bagian-bagian dari surat gugatan. hal tersebut penting mengingat masing-masing bagian memiliki fungsi yang berbeda-beda dan mempunyai celah untuk disangkal (dieksepsi) oleh pihak Tergugat apabila tidak jeli dalam merumuskannya.
Bagian-bagian surat gugatan sebenarnya telah disinggung di dalam Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 yang berbunyi “Gugatan harus memuat :  a. nama, kewarganegaraan, tempat tinggal, dan pekerjaan penggugat, atau kuasanya;  b. nama, jabatan, dan tempat kedudukan tergugat;  c. dasar gugatan dan hal yang diminta untuk diputuskan oleh Pengadilan.” Dari ketentuan Pasal tersebut dapat kita simpulkan bahwa yang merupakan bagian-bagian dari surat kuasa adalah Identitas para pihak, dasar gugatan dan petitum. Hal itulah yang dapat ditangkap dari redaksi Pasal 56 tersebut. Tetapi dalam referensi lain juga dikatakan bahwa sebelum memasuki identitas para pihak, surat gugatan juga sebaiknya dilengkapi dengan kepala gugatan. kepala gugatan mempunyai peran yang cukup penting dalam surat gugatan karena di dalam kepala gugatan memuat diataranya adalah tempat dan tanggal pengajuan gugatan, perihal, dan alamat gugatan. tampat dan tanggal gugatan mempunyai fungsi yang sangat vital, tempat pengajuan gugatan merupakan hal yang sangat penting menyangkut daerah hukum Pengadilan tempat Perkara diajukan[1]. Hal tersebut sesuai dengan Pasal 54 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 yang berbunyi :
-          Ayat (1) Gugatan Sengketa Tata Usaha Negara diajukan kepada Pengadilan yang berwenang yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan Tergugat.
-          Ayat (2) Apabila Tergugat lebih dari satu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dan berkedudukan tidak dalam satu faerah Hukum Pengadilan, Gugatan diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi kedudukan salah satu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
-          Ayat (3) Dalam hal tempat kedudukan Tergugat tidak berada dalam daerah hukum Pengadilan tempat kediaman Pengugat, maka Gugatan dapat diajukan ke Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Penggugat selanjutnya diteruskan kepada Pengadilan yang bersangkutan.
-          Ayat (4) Dalam hal-hal tertentu sesuai dengan sifat sengketa Tata Usaha Negara yang bersangkutan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah, Gugatan dapat diajukan kepada Pengadilan yang berwenang yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Penggugat.
-          Ayat (5) Apabila Penggugat dan Tergugat berkedudukan atau berada di luar negeri, Gugatan diajukan kepada Pengadilan di Jakarta.
-          Ayat (6) Apabila Tergugat berkedudukan di dalam negeri dan Penggugat di luar negeri, Gugatan diajukan kepada Pengadilan ditempat kedudukan Tergugat. Apabila tempat pengajuan salah maka dapat mempunyai resikonya adalah dapat dieksepsi oleh pihak Tergugat. Hal tersebut diatur dalam Pasal 77 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986. Sedangkan pentingnya tanggal pengajuan gugatan berkaitan erat dengan masa waktu pengajuan gugatan. mengenai tenggang waktu pengajuan gugatan tersebut dapat dilihat dalam Pasal 55 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 yang berbunyi “Gugatan dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu sembilan puluh hari terhitung sejak saat diterimanya atau diumumkannya Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara”. sehingga tanggal pada gugatan dapat dilihat apakah gugatan yang diajukan telah lewat dari masa pengajuan gugatan atau belum. Apabila ternyata tanggal pengajuan gugatan telah melewati masa pengajuan gugatan yang ditentukan oleh Undang-Undang, maka hal tersebut mempunyai resiko kemungkinan tidak diterimanya gugatan atau gugatan dinyatakan tidak berdasar oleh Majelis Hakim berdasarkan Pasal 62 ayat (1) point  E yang menyatakan “Dalam rapat permusyawaratan, Ketua Pengadilan berwenang memutuskan dengan suatu penetapan yang dilengkapi dengan pertimbangan-pertimbangan bahwa gugatan yang diajukan itu dinyatakan tidak diterima atau tidak berdasar, dalam hal :  a. pokok gugatan tersebut nyata-nyata tidak termasuk dalam wewenang Pengadilan; b. syarat-syarat gugatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 tidak dipenuhi oleh penggugat sekalipun ia telah diberi tahu dan diperringatkan;  c. gugatan tersebut tidak didasarkan pada alasan-alasan yang layak;  d. apa yang dituntut dalam gugatan sebenarnya sudah terpenuhi oleh Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat; e. gugatan diajukan sebelum waktunya atau telah lewat waktunya.” Perihal gugatan penting untuk mengetahui apa yang disengketakan dan diajukan untuk diperiksa oleh Penggugat. Di dalam kepala surat gugatan, alamat kantor PTUN atau PTTUN juga harus ditulis secara lengkap termasuk kode posnya walaupun mungkin kotanya berbeda.Misalnya: Pengadilan Tata Usaha Negara Surabaya Jalan … No…  di Sidoarjo Kode Pos ……Tentang hal ini harus disesuaikan dengan penyebutan yang telah ditentukan dalam UU No. 19 Tahun1960 dan Keppres No. 52 tahun 1990.
C.    Subyek Gugatan dan Identitas Para Pihak dalam Gugatan.
a)      Pihak Penggugat.
Seperti halnya pada pemeriksaan pada sidang pengadilan lainnya di lingkungan kekuasaan kehakiman, para pihak yang bersengketa dalam peradilan Tata Usaha Negara disebut dengan Penggugat dan Tergugat. Ketentuan mengenai para pihak dalam Peradilan Tata Usaha Negara diatur di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004. Di dalam pasal 53 Undang-Undang tersebut dikatakan bahwa “Orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang berwenang yang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan atau rehabilitasi.” Dari ketentuan pasal tersebut dapat diketahui bahwa yang dapat bertindak sebagai penggugat dalam Peradilan Tata Usaha Negara adalah :
1.      Orang yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara;
2.      Badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara.
Jadi, pada pemeriksaan di sidang pengadilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara tidak dimungkinkan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara bertindak sebagai Penggugat. Memang, sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara masih dimungkinkan bertindak sebagai penggugat, tetapi semenjak berlakunya Undang-Undang tersebut hal tersebut sudah tidak dimungkinkan lagi. Hanya saja menurut Para Ahli hukum, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dapat bertindak sebagai penggugat dalam sengketa Tata Usaha Negara, tetapi hanya terbatas pada permasalahan sertifikat tanah, karena alas hak dari gugatan adalah hak keperdataan dari BUMN tersebut.
Berapa banyak orang ataupun badan hukum perdata tidak dipermasalahkan untuk maju sebagai penggugat dalam Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, selain itu  juga apakah orang atau badan hukum perdata yang dituju ataupun tidak dituju oleh Keputusan Tata Usaha Negara yang diselenggarakan juga dapat menjadi penggugat, asalkan kesemuanya mempunyai unsur yang sama, yaitu merasa dirugikan kepentingannya oleh Keputusan Tata Usaha Negara. Kepentingan yang dimaksud dalam rumusan pasal tersebut menurut Indroharto harus mengandung ketentuan sebagai berikut :
1.      Menunjuk kepada nilai yang harus dilindungi oleh hukum.
Nilai-nilai yang harus dilindungi oleh hukum menurut Indroharto ditentukan oleh faktor-faktor sebagai berikut :
a.       Kepentingan dalam kaitannya yang berhak menggugat.
Atas dasar yurisprudensi peradilan perdata yang ada sampai sekarang, kepentingan yang harus dilindungi oleh hukum itu baru ada ketika kepentingan itu jelas :
-          Kepentingan itu ada hubungannya dengan penggugat sendiri;
-          Kepentingan itu harus bersifat pribadi;
-          Kepentingan itu harus bersifat langsung;
-          Kepentingan itu secara objektif dapat ditentukan, baik mengenai luas maupun mengenai intensitasnya.
b.      Kepentingan dalam hubungannya dengan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan. Artinya, penggugat harus dapat menunjukkan bahwa Keputusan Tata Usaha Negara yang digugatnya itu merugikan dirinya sendiri secara langsung.
2.      Kepentingan proses, artinya apa yang hendak dicapai dengan melakukan suatu proses gugatan yang bersangkutan. Maksudnya adalah, bahwa tujuan yang hendak dicapai dengan berproses adalah terlepas dari kepentingan yang harus dilindungi oleh hukum. Jadi, berproses yang tidak ada tujuan apa-apa harus dihindarkan, tidak diperbolehkan. Demikian pendapat Indroharto tentang apa yang dimaksud dengan “kepentingan” dalam Pasal 35 ayat 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004[2].
b)      Pihak Tergugat.
Tergugat dalam sengketa Peradilan Tata Usaha Negara terdapat dalam Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo. Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009. Dalam Pasal tersebut disebutkan bahwa yang dimaksud dengan Tergugat adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya yang digugat oleh orang atau badan hukum perdata. Yang dimaksudkan “wewenang” dalam Pasal tersebut adalah wewenang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, jadi wewenang dalam pengertian hukum publik. Lalu dari pengertian dalam Pasal tersebut, apakah kriteria agar Badan atau Pejabat dapat dikategorikan sebagai Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, telah dijelaskan dalam Bab 3 tentang Keputusan Tata Usaha Negara. Dari ketentuan Pasal 1 angka 6 tersebut dapat diketahui bahwa sebagai Tergugat dibedakan sebagai berikut :
1.      Badan Tata Usaha Negara yang mengeluarkan keputusan Tata Usaha Negara berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya yang digugat oleh orang atau badan hukum perdata.
2.      Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan keputusan Tata Usaha Negara berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya yang digugat oleh orang atau badan hukum perdata.
Berdasarkan rumusan Pasal 1 angka 6 tersebut, yaitu dengan perumusan “berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya”, maka untuk menentukan Badan Usaha atau Pejabat yang menjadi Tergugat dalam sengketa Tata Usaha Negara, perlu terlebih dahulu diperhatikan jenis dari wewenang Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara, apakah atribusi, pemberi kuasa (mandat), atau pelimpahan wewenang (delegasi).
Dengan memperhatikan apa yang dimaksud dengan masing-masing jenis wewenang tersebut, Mahkamah Agung memberikan petunjuk kepada Kepala Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dan Kepala Pengadilan Tata Usaha Negara sebagai berikut :
a.       Jika wewenang yang diberikan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah wewenang atribusi atau wewenang delegasi maka yang menjadi Tergugat adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang memperoleh wewenang tersebut untuk mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan.
b.      Jika wewenang yang diberikan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah wewenang pemberi kuasa (mandat), maka yang menjadi Tergugatnya adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha yang memberikan wewenang kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan.[3]
c)      Pihak Intervensi.
Dalam proses penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara yang sedang berlangsung, selain Penggugat danTergugat, kadang-kadang terdapat pihak ketiga yang mempunyai kepentingan terhadap penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara tersebut, sehingga pihak ketiga tersebut diberikan kesempatan oleh Undang-Undang untuk ikut serta dalam penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara yang sedang berlangsung tersebut. keikut sertaan pihak ketiga ini, dalam istilah kepustakaan hukum disebut intervensi. Dalam Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, intervensi diatur dalam Pasal 83 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 yang menentukan :
1)      Selama pemeriksaan berlangsung, setiap orang yang berkepentingan dalam sengketa pihak lain yang sedang diperiksa oleh Pengadilan, baik atas prakarsa sendiri dengan mengajukan permohonan maupun atas prakarsa Hakim, dapat masuk dalam sengketa Tata Usaha Negara dan bertindak sebagai :
a.       Pihak yang membela haknya, atau
b.      Peserta yang bergabung dengan salah satu pihak yang bersangkutan.
2)      Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dikabulkan atau ditolak oleh Pengadilan dengan putusan yang dicantumkan dalam berita acara sidang.
3)      Permohonan banding terhadap putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak dapat diajukan tersendiri, tetapi harus bersama-sama dengan permohonan banding terhadap putusan akhir dalam pokok sengketa.
Apa yang dimaksud dengan “kepentingan”dalam Pasal 83 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 adalah sama dengan apa yang dimaksud dengan “kepentingan” dalam Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004.
Dalam masalah tenggang waktu yang harus diperhatikan apabila pihak-pihak diluar Penggugat dan Tergugat yang merasa dirugikan kepentingannya ingin masuk dalam penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara, Mahkamah Agung selaku Pemegang Kekuasaan Tertinggi dalam Kekuasaan Kehakiman memberikan petunjuk kepada Kepala Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dan Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara, bahwa gugatan intervensi dapat diajukan paling lambat sebelum pemeriksaan saksi-saksi, hal mana untuk menghindari pemeriksaan persiapan yang harus diulang lagi.
Mengenai prakarsa keikutsertaan pihak ketiga dalam proses penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara yang sedang berlangsung, dari ketentuan yang terdapat dalam Pasal 83 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 dapat diketahui bahwa pihak ketiga tersebut bertindak :
a.       Atas prakarsa sendiri.
Pihak ketiga atas prakarsa sendiri ikut serta dalam proses penyelesaian perkara Tata Usaha Negara yang sedang berlangsung untuk mempertahankan dan membela hak dan kepentingannya agar ia jangan sampai dirugikan oleh putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang sedang berlangsung.
b.      Atas prakarsa Hakim.[4]
Mengenai keikutsertaan pihak ketiga atas prakarsa Hakim kedalam proses penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara yang sedang berlangsung, Mahkamah Agung telah memberikan petunjuk sebagai berikut :
-          Sebaiknya sebelum Hakim mengeluarkan penetapan dalam putusan selanya yang bermaksud menarik pihak ketiga atas inisiatif Hakim, perlu yang bersangkutan dipanggil lebih dahulu dan diberi penjelasan apakah ia bersedia masuk dalam perkara yang sedang diperiksa.
-          Pihak ketiga yang bukan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bergabung dengan pihak Tergugat Asal, seyogyanya berkedudukan sebagai saksi yang menyokong Tergugat, karena ia mempunyai kepentingan yang paralel dengan Tergugat Asal dan ia tidak dapat berkedudukan sebagai pihak Tergugat sesuai ketentuan Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986.
Selain keikut sertaan pihak ketiga dalam proses penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara yang sedang berlangsung atas prakarsa pihak ketiga sendiri dan atas prakarsa Hakim, dalam penjelasan Pasal 83 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 dijelaskan bahwa adakalanya pihak ketiga juga dapat ditarik untuk masuk dalam proses penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara yang sedang berlangsung atas inisiatif atau permintaan salah satu pihak sebagai Penggugat II Intervensi atau Tergugat II Intervensi[5].
d)     Identitas Para Pihak dalam Surat Gugatan.
Penggugat dalam upaya mempertahankan haknya dalam sengketa dengan mengajukan perkaranya (gugatannya) kepada Majelis Hakim sidang Pengadilan Tata Usaha Negara diwajibkan untuk menjelaskan gambaran perkaranya secara tertulis dalam bentuk surat gugatan.  Dalam proses penyelesaian perkara, surat gugatan merupakan hal yang sangat penting. hal tersebut dikarenakan bahwa surat gugatan mempunyai beberapa fungsi, diantaranya adalah agar mempermudah majelis Hakim dalam memeriksa perkara tersebut, terutama dalam acara pembuktian. Selain itu surat gugatan juga berfungsi mempermudah pihak tergugat untuk memberikan jawaban dan bantahannya terhadap sengketa yang terjadi. Dalam surat gugatan ada beberapa hal yang penting yang harus diperhatikan dalam pembuatannya. Hal tersebut dimaksudkan agar surat gugatan tersebut tidak terkena eksepsi (tangkisan) dari pihak tergugat atau penolakan dari majelis Hakim yang memeriksa perkara tersebut. Salah satu hal yang penting dalam surat gugatan tersebut adalah penulisan identitas para pihak yang bersengketa. Dalam format surat gugatan tersebut terdapat tiga identitas para pihak, yaitu pihak Penggugat, Tergugat dan Intervensi (apabila ada). Penulisan identitas para pihak telah dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 dalam Pasal 56 ayat (1) bahwa identitas penggugat yang harus ditulis atau dijelaskan dalam surat gugatan diantaranya adalah Nama Penggugat, Kewarganegaraan Penggugat, Tempat Tinggal Penggugat, dan Pekerjaan Penggugat atau kuasanya. Nama dan domisili penggugat dalam identitas para pihak merupakan hal yang penting, karena dari hal tersebutlah dapat diketahui kepentingan (langsung dan tidak langsung) penggugat terhadap obyek sengketa. Selain itu juga untuk mengetahui apakah penggugat merupakan Badan Hukum Perdata atau tidak. Khusus mengenai sengketa kepegawaian domisili penting untuk mengetahui kesesuaian domisili dengan kompetensi PTUN. Sedangkan identitas Tergugat hanya ditulis Nama Tergugat , Jabatan Tergugat dan Tempat Kedudukan Tergugat saja. Nama Instansi atau Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang digugat harus secara jelas disebutkan dalam surat gugatan yaitu terhadap Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara mana gugatan tersebut dialamatkan yakni yang mengeluarkan Keputusan yang menjadi obyek sengketa.[6] Apabila identitas para pihak tidak ditulis seperti yang diatur dalam Pasal 56 ayat (1) seperti diatas, maka surat gugatan tersebut rawan terkena eksepsi dari Tergugat sebagaimana telah dijelaskan dalam Pasal 77 dalam Undang-Undang tersebut.
D.    Objek Gugatan
Pembahasan berikutnya setelah pembahasan mengenai pengertian gugatan, kepala gugatan dan identitas para pihak adalah obyek gugatan, yang mana obyek gugatan tersebut merupakan bagian ketiga dari surat gugatan setelah identitas para pihak. Pada Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara dikenal ada dua objek yang dapat digugat di Pengadilan Tata Usaha Negara, yaitu :
1)      Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN)
Menurut UU Nomor 5 tahun 1986 tentang pasal 1 angka (3) tentang  Peradilan Tata Usaha Negara yang menyatakan bahwa KTUN adalah Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.[7]
Jika di uraikan apa yang dimaksud dengan Keputusan Tata Usaha Negara, maka akan di temukan unsur-unsurnya yaitu:

a.       Bentuk penetapan itu harus tertulis
Menurut Pasal 1 angka 3 UU No.5 Tahun 1986 (Pasal 1 angka 9 UU No. 5 tahun 1986 jo. UU No. 51 Tahun 2009) menyebutkan bahwa istilah penetapan tertulis terutama menunjuk kepada isi dan bukan bentuk kepada bentuk keputusan yang di keluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Keputusan ini diharuskan tertulis, namun yang disyaratkan tertulis bukanlah bentuk formalnya seperti surat surat keputusan pengangkatan dan sebagainya.
Lebih lanjut pasal 1 angka 3 menyebutkan bahwa sebuah memo atau nota akan merupakan suatu keputusaan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara apabila sudah jelas: pertama, badan atau pejabat tata usaha mana yang mengeluarkanya, kedua, maksud serta mengenai hal apa isi dari memo atau nota itu, ketiga, pada siapa memo atau nota itu ditujukan dan apa yang di tetapkan di dalamnya.
b.      Ia dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara;
Menurut pasal 1 angka 2 UU No. 5 Tahun 1986 (pasal 1 angka 8 UU No. 5 tahun 1986 jo. UU No. 51 tahun 2009) yang dimaksud dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah badan atau pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Badan atau pejabat tersebut mempunyai wewenang untuk melaksanakan urusan pemerintahan yang diperoleh dengan cara atribusi, delegasi atau mandat. Selanjutya dalam Pasal 1 angka 1 disebutkan bahwa “urusan pemerintahan” adalah kegiatan yang bersifat eksekutif dalam artian bukan kegiatan yang legislatif atau yudikatif.
Menurut pasal 1 angka 2 UU No. 1986 (pasal 1 angka 8 UU No. 5 tahun 1986 jo. UU No. 51 tahun 2009) menyebutkan bahwa peraturan perundang-undangan terdiri dari: Pertama, peraturan yang bersifat mengikat secara umum yang di keluarkan oleh Badan Perwakilan rakyat bersama pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah. Kedua, keputusan badan atau pejabat tata usaha Negara yang bersifat mengikat umum, baik di tingkat pusat atau di tingkat daerah.
Sedangkan menurut  pasal 8 ayat (1) UU No. 12 tahun 2011 mencakup peraturan yang di tetapkan oleh MPR, DPR, DPD, MA, MK, BPK, KY, BI, Menteri, Badan, Lembaga atau Komisi yang di bentuk dengan Undang-undang atau peraturan pemerintah atas perintah Undang-undang, DPRD Peovinsi, Gubernur, DPRD Kabupaten atau Kota, Bupati atau Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.
c.       Berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Oleh penjelasan pasal 1 angka 3 UU No. 5 tahun 1986 (pasal 1 angka 9 UU No. 5 tahun 1986 jo. UU No. 51 tahun 2009) di sebutkan bahwa yang di maksud dengan “tindakan hukum tata usaha Negara” adalah perbuatan hukum badan atau pejabat tata usaha Negara yang bersumber pada ketentuan hukum tata usaha Negara yang dapat menimbulkan hak dan kewajiban pada orang lain.
Dengan tindakan hukum Tata Usaha Negara adalah tindakan dari badan atau pejabat tata usaha Negara yang dilakukan atas dasar perturan perudang-undangan yang berlaku yang menimbulkan akibat hukum mengenai urusan pemerintahn terhadap seseorang atau badan hukum perdata.
Karena tindakan hukum dari badan atau pejabat tata usaha Negara tersebut atas dasar perundang-undangan menimbulkan akibat hukum mengenai urusan pemerintahan, maka dapat dikatakan tindakan hukum dari badan atau pejabat tata usaha Negara itu selalu merupakan tindakan hukum publik sepihak.

d.      Bersifat Konkret, Individual dan final;
Menurut penjelasan pasal 1 angka 3 UU No. 5 tahun 1986 ini yaitu:
1.      Bersifat konkret, artinya objek yang di putuskan dalam Keputusan Tata Usaha Negara idak abstrak, tetapi berwujud, tertent, atau dapat di tentukan, umpamanya keputusan mengenai pembongkaran rumah si A, izin bagi usaha bagi si B, dan pemberhentian bagi si A sebagi pegawai negeri.
2.      Bersifat individual, artinya Keputusan Tata Usaha Negara itu tidak di tunjukan untuk umum, tetapi tertentu, baik alamat maupun hal yang dituju. Kalau yang dituju lebih dari seorang, maka tiap-tiap nama oaring yang terkena keputusan itu disebutkan, umpama keputusan tentang perbuatan atau pelebaran jalan dengan lampiran menyebutkan nama-nama yang terkena keputusan tersebut.
3.      Bersifat final, artinya sudah definitive dan karenanya dapat menimbilkan akibat hukum. Keputusan yang masih memerlukan persetujuan instansi atasa atau instansi lain belum bersifat final, karena belum dapat menimbulkan suatu hak dan kewajiban pada pihak yang bersangkutan, umpamanya keputusan pengangkatan seorang pegawai negeri memerlukan persetujuan dari Badan Kepegawaian Negara.

e.       Menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
Yang dimaksud dengen “menimbulkan akibat hukum” adalah menimbulkan akibat hukum tata usaha Negara, karena penetapan tertulis yang di keluarkan oleh badab atau pejabat tata usaha Negara yang menimbulkan akibat hukum tersebut adalah berisi tindakan hkum tata usaha Negara.
Akibat hukum tata usaha Negara tersebut dapat berupa:
1)      Menguatkan suatu hubungan hukum atau keadaan hukum yang telah ada (diclaratoir), misalnya surat keterangan dari pejabat pembuat akta tanah yang isinya menyebutkan antara A dan B memang telah terjadi jual beli tanah atau surat keterangan dari kepala desa yang isinya menyebutkan tentang asal-usul anak yang akan nikah.
2)      Menimbulkan suatu hubungan hukum atau keadaan hukum yang baru (Constitutief), misalnya keputusan jaksa agung tentang pengangkatan calon pegawai sipil atau keputusan menteri perindustrian dan perdagangan yang isinya menyebutkan suatu Perseroan Terbatas di berikan izin untuk mengimpor suatu jenis barang.
3)      (a) Menolak untuk menguatkan hubungan hukum atau keadaan hukum yang telah ada, misalanya keputusan Jaksa Agung tentang penolakan untuk mengangkat calon Pegawai Negari Sipil atau Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional tentang penolakan permohonan perpanjangan Hak Guna Usaha.
(b) Menolak untuk menimbulkan hubungan hukum atau keadaan hukum yang baru, misalnya keputusan jaksa agung tentang penolakan untuk mengangkat calon Pegawai Negari Sipil atau keputusan mentri perindustrian dan perdagangan tentang penolakan permohonan dari suatu Perseroan Terbatas untuk mengimpor suatu barang.

2)      Fiktif Negatif ( yang dianggap sama dengan KTUN)
Disamping KTUN, terdapat satu lagi objek yang dapat di gugat di Pengadilan Tata Usaha Negara yaitu Fiktif Negatif. Fiktif Negatif ini tidak ada wujudnya atau abstrak. Abstrak disini maksudnya adalah tidak berbentuk Surat KTUN, hal ini terjadi apabila Badan atau Pejabat TUN tidak mengeluarkan SK yang dimohonkan kepadanya oleh Penggugat, sedang hal itu menjadi kewajibannya maka hal tersebut dianggap sama dengan KTUN. KTUN ini dikenal dengan istilah Fiktif Negatif yang juga merupakan Objek gugatan yang merupakan kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara. Pengaturan mengenai Fiktif Negatif terdapat dalam Pasal 3 UU No. 5 Tahun 1986 sebagai berikut :
1.      Apabila Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan, sedangkan hal itu menjadi kewajibannya, maka hal tersebut disamakan dengan Keputusan Tata Usaha Negara.
2.      Jika suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan yang dimohon, sedangkan jangka waktu sebagaimana ditentukan data peraturan perundang-undangan dimaksud telah lewat, maka Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tersebut dianggap telah menolak mengeluarkan keputusan yang dimaksud.
3.      Dalam hal peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak menentukan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka setelah lewat jangka waktu empat bulan sejak diterimanya permohonan, Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan dianggap telah mengeluarkan keputusan penolakan.[8]

PENUTUP

A.    Kesimpulan.
Kesimpulan yang dapat kita ambil dari makalah ini adalah bahwa di dalam Peradilan Tata Usaha Negara ketika terdapat orang atau Badan Hukum Perdata yang merasa dirugikan haknya oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara dengan cara tertulis maupun lisan yang akan dituangkan di dalam surat gugatan. Gugatan pada umumnya memuat beberapa bagian penting diantaranya adalah kepala surat, identitas para pihak, dan obyek sengketa yang dijelaskan secara rinci dan jelas. Bahwa para pihak yang bersengketa dalam Peradilan Tata Usaha Negara dapat ditempatkan sebagai Penggugat, Tergugat, dan Intervensi. Dalam surat gugatan para pihak yang bersengketa diwajibkan untuk menyebutkan identitas meliputi : Penggugat harus disebutkan Nama Penggugat, Kewarganegaraan Penggugat, Tempat Tinggal Penggugat, dan Pekerjaan Penggugat atau kuasanya, dan Tergugat harus disebutkan  Nama Tergugat , Jabatan Tergugat dan Tempat Kedudukan Tergugat. Hal tersebut telah ditetapkan di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Pasal 56 ayat (1).
Dalam sengketa di Pengadilan Tata Usaha Negara tersebut pastilah terdapat obyek sengketa yang melatarbelakangi terjadinya sengketa. Obyek sengketa dalam Peradilan Tata Usaha Negara yaitu Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) yang mana diatur dalam Pasal 1 ayat 2 dan 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo. Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009. dan Obyek Fiktif Negatif ( yang dianggap sama dengan KTUN) yang diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986.



DAFTAR PUSTAKA

1.      Abdullah, Rozali. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta: -
PT RajaGrafindo Persada. 2002.

2.      Harahap, Zairin. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta: -
PT RajaGrafindo Persada. 1997.

3.      Marbun, SF. Peradilan Tata Usaha Negara. Yogyakarta: Liberty. 2003.

4.      Wiyono, R. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta: Sinar –
Grafika. 2014.

Sunday, November 20, 2016

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1979 TENTANG PEMBERHENTIAN PEGAWAI NEGERI SIPIL

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 32 TAHUN 1979
TENTANG
PEMBERHENTIAN PEGAWAI NEGERI SIPIL

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
bahwa ketentuan-ketentuan mengenai pemberhentian Pegawai Negeri Sipil yang sekarang berlaku, dipandang tidak sesuai lagi dengan keadaan dewasa ini, oleh sebab itu perlu ditinjau kembali dan disempurnakan;
Mengingat :
Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;
Undang-undang  Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3041);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan  :
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PEMBERHENTIAN PEGAWAI NEGERI SIPIL.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan :
pemberhentian sebagai Pegawai Negeri Sipil adalah pemberhentian yang mengakibatkan yang bersangkutan kehilangan statusnya sebagai Pegawai Negeri Sipil;
pemberhentian dari Jabatan Negeri adalah pemberhentian yang mengakibatkan yang bersangkutan tidak bekerja lagi pada suatu satuan organisasi Negara, tetapi masih tetap berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil;
hilang adalah suatu keadaan bahwa seseorang di luar kemauan dan kemampuannya tidak diketahui tempatnya berada dan tidak diketahui apakah ia masih hidup atau telah meninggal dunia;
batas usia pensiun adalah batas usia Pegawai Negeri Sipil harus diberhentikan sebagai Pegawai Negeri Sipil.
BAB II
PEMBERHENTIAN
Bagian Pertama
Pemberhentian Atas Permintaan Sendiri
Pasal 2
Pegawai Negeri Sipil yang meminta berhenti, diberhentikan dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil.
Permintaan berhenti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat ditunda untuk paling lama 1 (satu) tahun, apabila ada kepentingan dinas yang mendesak.
Permintaan berhenti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat ditolak apabila Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan masih terikat dalam keharusan bekerja pada Pemerintah berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bagian Kedua
Pemberhentian Karena Mencapai Batas Usia Pensiun
Pasal 3
Pegawai Negeri Sipil yang telah mencapai batas usia pensiun, diberhentikan dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil.
Batas usia pensiun sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah 56 (lima puluh enam) tahun.
Pasal  4
Batas usia pensiun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, dapat diperpanjang bagi Pegawai Negeri Sipil yang memangku jabatan tertentu.
Perpanjangan batas usia pensiun sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), adalah sampai dengan
65 (enam puluh lima) tahun bagi Pegawai Negeri Sipil yang memangku jabatan :
Ahli Peneliti dan Peneliti yang ditugaskan secara penuh di bidang penelitian;
Guru Besar, Lektor Kepala, Lektor yang ditugaskan secara penuh pada perguruan tinggi;
Jabatan lain yang ditentukan oleh Presiden;
60 (enam puluh) tahun bagi Pegawai Negeri Sipil yang memangku jabatan :
Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Anggota Mahkamah Agung;
Jaksa Agung;
Pimpinan Kesekretariatan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara;
Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen;
Sekretaris Jenderal, Inspektur Jenderal, Direktur Jenderal, dan Kepala Badan di Departemen;
Eselon I dalam jabatan strukturil yang tidak termasuk dalam angka 2, 3 dan 4.
Eselon II dalam jabatan strukturil;
Dokter yang ditugaskan secara penuh pada Lembaga Kedokteran Negeri sesuai dengan profesinya;
Pengawas Sekolah Lanjutan Tingkat Atas dan Pengawas Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama;
Guru yang ditugaskan secara penuh pada Sekolah Lanjutan Tingkat Atas dan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama;
Penilik Taman Kanak-kanak, Penilik Sekolah Dasar, dan Penilik Pendidikan Agama;
Guru yang ditugaskan secara penuh pada Sekolah Dasar; 13. Jabatan lain yang ditentukan oleh Presiden;
58 (lima puluh delapan) tahun bagi Pegawai Negeri Sipil yang memangku jabatan :
Hakim pada Mahkamah Pelayaran;
Hakim pada Pengadilan Tinggi;
Hakim pada Pengadilan Negeri;
Hakim Agama pada Pengadilan Agama Tingkat Banding;
Hakim Agama pada Pengadilan Agama;
Jabatan lain yang ditentukan oleh Presiden.
Pasal 5
Pemberhentian dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil karena mencapai batas usia pensiun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 4, diberitahukan kepada Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan 1 (satu) tahun sebelum ia mencapai batas usia pensiun tersebut.
Bagian Ketiga
Pembehentian Karena Adanya
Penyederhanaan Organisasi
Pasal 6
Apabila ada penyederhaan suatu satuan organisasi Negara yang mengakibatkan adanya kelebihan Pegawai Negeri Sipil, maka Pegawai Negeri Sipil yang kelebihan itu disalurkan kepada satuan organisasi lainnya.
Pasal 7
Apabila penyaluran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 tidak mungkin dilaksanakan, maka Pegawai Negeri Sipil yang kelebihan itu diberhentikan dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil atau dari Jabatan Negeri dengan mendapat hak-hak kepegawaian berdasarkan peraturan perundag-undangan yang berlaku.
Bagian Keempat
Pemberhentian Karena Melakukan
Pelanggaran/Tindak/Penyelewengan
Pasal 8
Pegawai Negeri Sipil dapat diberhentikan tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil karena :
melanggar Sumpah/Janji Pegawai Negeri Sipil, Sumpah/Janji Jabatan Negeri atau Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil; atau
dihukum penjara, berdasarkan keputusan Pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, karena dengan sengaja melakukan suatu tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara setinggi-tingginya 4 (empat) tahun, atau diancam dengan pidana yang lebih berat.
Pasal 9
Pegawai Negeri Sipil diberhentikan tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil apabila dipidana penjara atau kurungan berdasarkan keputusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, karena :
melakukan suatu tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan; atau
melakukan suatu tindak pidana kejahatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 sampai dengan Pasal 161 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Pasal 10
Pegawai Negeri Sipil diberhentikan tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil apabila ternyata melakukan usaha atau kegiatan yang bertujuan mengubah Pancasila dan atau Undang-Undang Dasar 1945 atau terlibat dalam gerakan atau melakukan kegiatan yang menentang Negara dan atau Pemerintah.
Bagian Kelima
Pemberhentian Karena Tidak Cakap Jasmani Atau Rohani
Pasal 11
Pegawai Negeri Sipil diberhentikan dengan hormat dengan mendapat hak-hak kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku apabila berdasarkan surat keterangan Team Penguji Kesehatan dinyatakan
tidak dapat bekerja lagi dalam semua Jabatan Negeri karena kesehatannya; atau
menderita penyakit atau kelainan yang berbahaya bagi dirinya sendiri dan atau lingkungan kerjanya; atau
setelah berakhirnya cuti sakit, belum mampu bekerja kembali.
Bagian Keenam
Pemberhentian Karena Meninggalkan Tugas
Pasal 12
Pegawai Negeri Sipil yang meninggalkan tugasnya secara tidak sah dalam waktu 2 (dua) bulan terusmenerus, diberhentikan pembayaran gajinya mulai bulan ketiga.
Pegawai Negeri Sipil sebagaimna dimaksud dalam ayat (1) yang dalam waktu kurang dari 6 (enam) bulan melaporkan diri kepada pimpinan instansinya, dapat :
ditugaskan kembali apabila ketidak hadirannya itu karena ada alasan-alasan yang dapat diterima; atau
diberhentikan dengan hormat sebagai pegawai Negeri Sipil, apabila ketidak hadirannya itu adalah karena kelalaian Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan dan menurut pendapat pejabat yang berwenang akan mengganggu.suasana kerja, jika ia ditugaskan kembali.
Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), yang dalam waktu 6 (enam) bulan terus menerus meninggalkan tugasnya secara tidak sah, diberhentikan tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil.
Bagian Ketujuh
Pemberhentian Karena Meninggal Dunia Atau Hilang
Pasal 13
Pegawai Negeri Sipil yang meninggal dunia dengan sendirinya dianggap diberhentikan dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil.
Pasal 14
Pegawai Negeri Sipil yang hilang, dianggap telah meninggal dunia pada akhir bulan ke 12 (dua belas) sejak ia dinyatakan hilang.
Pernyataan hilang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dibuat oleh pejabat yang berwenang berdasarkan surat keterangan atau berita acara dari pejabat yang berwajib.
Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), yang kemudian diketemukan kembali dan masih hidup, diangkat kembali sebagai Pegawai Negeri Sipil, dan gajinya dibayar penuh terhitung sejak dianggap meninggal dunia dengan memperhitungkan hak-hak kepegawaian yang telah diterima oleh keluarganya.
Bagian Kedelapan
Pemberhentian Karena Hal-hal Lain
Pasal 15
Pegawai Negeri Sipil yang tidak melaporkan diri kembali kepada instansi induknya setelah habis menjalankan cuti di luar tanggungan Negara, diberhentikan dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil.
Pegawai Negeri Sipil yang melaporkan diri kepada instansi induknya setelah habis masa menjalankan cuti di luar tanggungan Negara, tetapi tidak dapat dipekerjakan kembali karena tidak ada lowongan, diberhentikan dengan hormat dengan mendapat hak-hak kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB III
HAK-HAK KEPEGAWAIAN
Bagian Pertama
Hak-hak Pegawai Negeri Sipil Yang Diberhentikan Dengan Hormat
Pasal 16
Kepada Pegawai Negeri Sipil yang diberhentikan dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil, diberikan hak-hak kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 17
Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pasal 11 huruf b dan huruf c, dan Pasal 15 ayat (2) :
diberhentikan dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil dengan hak pensiun, apabila telah mencapai usia sekurang-kurangnya (lima puluh) tahun dan memiliki masa kerja pensiun sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) tahun;
diberhentikan dengan hormat dari Jabatan Negeri dengan mendapat uang tunggu, apabila belum memenuhi syarat-syarat usia dan masa kerja sebagaimana dimaksud dalam huruf a.
Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf a, diberhentikan dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil dengan hak pensiun :
tanpa terikat pada masa kerja pensiun, apabila oleh Team Penguji Kesehatan dinyatakan tidak dapat bekerja lagi dalam semua Jabatan Negeri, karena kesehatannya yang disebabkan oleh dan karena ia menjalankan kewajiban jabatan;
jika telah memiliki masa kerja pensiun sekurang-kurangnya 4 (empat) tahun, apabila oleh Team Penguji Kesehatan dinyatakan tidak dapat bekerja lagi dalam semua Jabatan Negeri, karena kesehatannya yang bukan disebabkan oleh dan karena ia menjalankan kewajiban jabatan.
Pasal 18
Pegawai Negeri Sipil yang diberhentikan dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil karena mencapai batas usia pensiun, berhak atas pensiun apabila ia memiliki masa kerja pensiun sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) tahun.
Bagian Kedua
Uang Tunggu
Pasal 19
Uang tunggu diberikan paling lama 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang tiap-tiap kali paling lama 1 (satu) tahun.
Pemberian uang tunggu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak boleh lebih lama dari 5 (lima) tahun.
Pasal 20
Besarnya uang tunggu adalah :
80% (delapan puluh persen) dari gaji pokok untuk tahun pertama;
75% (tujuh puluh lima persen) dari gaji pokok untuk tahun-tahun selanjutnya.
Uang tunggu diberikan mulai bulan berikutnya, dari bulan Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan diberhentikan dengan hormat dari Jabatan Negeri.
Pasal 21
Kepada Pegawai Negeri Sipil yang menerima uang tunggu, diberikan kenaikan gaji berkala, tunjangan keluarga, tunjangan pangan, dan tunjangan lain berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 22
Pegawai Negeri Sipil yang menerima uang tunggu diwajibkan :
melaporkan diri kepada pejabat yang berwenang, setiap kali selambat-lambatnya sebulan sebelum berakhirnya pemberian uang tunggu;
senantiasa bersedia diangkat kembali pada suatu Jabatan Negeri.
meminta izin lebih dahulu kepada pimpinan instansinya, apabila mau pindah alamat di luar wilayah pembayaran.
Pasal 23
Pegawai Negeri Sipil yang menerima uang tunggu, diangkat kembali dalam suatu Jabatan Negeri apabila ada lowongan.
Pegawai Negeri Sipil yang menerima uang tunggu yang menolak untuk diangkat kembali dalam suatu Jabatan Negeri, diberhentikan dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil pada akhir bulan yang bersangkutan menolak untuk diangkat kembali.
Pasal 24
Pegawai Negeri Sipil yang menerima uang tunggu yang diangkat kembali dalam suatu Jabatan Negeri, dicabut pemberian uang tunggunya terhitung sejak menerima penghasilan penuh kembali sebagai Pegawai Negeri Sipil.
Pasal 25
Pejabat yang berwenang memberikan dan mencabut uang tunggu, adalah pejabat yang berwenang mengangkat dalam dan memberhentikan dari jabatan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB IV
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 26
Pegawai Negeri Sipil yang akan mencapai usia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 4, sebelum diberhentikan dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil dengan hak pensiun, dapat dibebaskan dari jabatannya untuk paling lama 1 (satu) tahun dengan mendapat penghasilan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 27
Pegawai Negeri Sipil yang dikenakan pemberhentian sementara, pada saat ia mencapai batas usia pensiun, diberhentikan pembayaran gajinya.
Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), yang ternyata tidak bersalah berdasarkan keputusan Pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, diberhentikan dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil dengan mendapat hak-hak kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, terhitung sejak akhir bulan dicapainya batas usia pensiun.
Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), yang dipidana penjara atau kurungan berdasarkan keputusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, karena melakukan suatu tindak pindana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, apabila diberhentikan dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil, mendapat hak-hak kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, terhitung sejak akhir bulan dicapainya batas usia pensiun.
Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), yang dipidana   penjara atau kurungan berdasarkan keputusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, karena melakukan suatu tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, diberhentikan tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil terhitung sejak akhir bulan dicapainya batas usia pensiun.
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), berlaku bagi Pegawai Negeri Sipil yang diberhentikan tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil karena dipidana penjara berdasarkan keputusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, karena melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8.
Pasal 28
Pegawai Negeri Sipil yang diangkat menjadi Pejabat Negara dan dibebaskan dari jabatan organiknya, pada saat ia mencapai usia 56 (lima puluh enam) tahun diberhentikan dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil, dengan mendapat hak-hak kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 29
Setiap pemberhentian Pegawai Negeri Sipil, berlaku terhitung sejak akhir bulan pemberhentian yang bersangkutan.
Pasal 30
Pegawai Negeri Sipil yang memangku jabatan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, pada saat berlakunya Peraturan Pemerintah ini telah mencapai usia 56 (lima puluh enam) tahun atau lebih, tetapi belum dikeluarkan surat keputusan pemberhentiannya sebagai Pegawai Negeri Sipil dan tidak dibebaskan dari jabatannya, maka ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini berlaku bagi mereka.
BAB V
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 31
Hal-hal yang belum cukup diatur dalam Peraturan Pemerintah ini, diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden.
Pasal 32
Ketentuan-ketentuan teknis pelaksanaan Peraturan Pemerintah ini, ditetapkan oleh Kepala Badan Administrasi Kepegawaian Negara.
Pasal 33
Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini, dinyatakan tidak berlaku lagi :
Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1951 tentang Peraturan Yang Mengatur Penghasilan Pegawai Negeri Warga Negara Yang Tidak Atas Kemauan Sendiri Diberhentikan Dengan Hormat Dari Pekerjaannya (Lembaran Negara Tahun 1951 Nomor 27. Tambahan Lembaran Negara Nomor 93);
Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1958 tentang Peremajaan Alat-alat Negara (Lembaran Negara Tahun 1958 Nomor 158, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1686);
Peraturan Pemerintah Nomor 239 Tahun 1961 tentang Pemberian Penghasilan Kepada Pegawai-pegawai Negeri Yang Berhubung Dengan "Retooling" Diberhentikan Dengan Hormat Dari Jabatannya/Jabatan Negeri (Lembaran Negara Tahun 1961 Nomor 305, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2364);
Segala peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 34
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar supaya setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 29 September 1979
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
SOEHARTO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 29 September 1979
MENTERI/SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA

SUDHARMONO, SH
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1979 NOMOR 47

PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 32 TAHUN 1979
TENTANG
PEGAWAI NEGERI SIPIL
UMUM
Ketentuan-ketentuan mengenai pemberhentian Pegawai Negeri Sipil yang sekarang berlaku, diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan, dan materinyapun ada yang tidak sesuai dengan keadaan dewasa ini, oleh sebab itu perlu disederhanakan dan disempurnakan.
Dalam Peraturan Pemerintah ini diatur berbagai ketentuan tentang Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil sesuai dengan jiwa Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian.
Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini, maka syarat-syarat dan cara-cara pemberhentian Pegawai Negeri Sipil menjadi lebih jelas dan seragam, sehingga memudahkan pelaksanaan tugas para pejabat yang berwenang.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Pada prinsipnya Pegawai Negeri Sipil yang meminta berhenti sebagai Pegawai Negeri Sipil, diberhentikan dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil.
Ayat (2)
Penundaan atas permintaan berhenti dari seorang Pegawai Negeri Sipil, hanyalah didasarkan semata-mata untuk kepentingan dinas yang mendesak, umpamanya dengan berhentinya Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan akan sangat mengganggu kelancaran pelaksanaan tugas. Permintaan berhenti yang dapat ditunda untuk paling lama 1 (satu) tahun antara lain adalah permintaan berhenti dari Pegawai Negeri Sipil yang sedang melaksanakan tugas yang penting.
Penundaan ini dilakukan untuk paling lama 1 (satu) tahun, sehingga dengan demikian pimpinan instansi yang bersangkutan dapat mempersiapkan penggantinya.
Ayat (3)
Permintaan berhenti yang dapat ditolak, antara lain adalah permintaan berhenti dari seorang Pegawai Negeri Sipil yang sedang menjalankan ikatan dinas, wajib militer, dan lain-lain yang serupa dengan itu.
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Ditinjau dari sudut fisik, pada umumnya usia 56 (lima puluh enam) tahun adalah merupakan batas usia seorang Pegawai Negeri Sipil mampu melaksanakan tugasnya secara berdayaguna dan berhasilguna.
Pasal 4
Ayat (1)
Bagi jabatan-jabatan tertentu, diperlukan Pegawai Negeri Sipil yang memiliki keahlian dan pengalaman yang matang. Pegawai Negeri Sipil yang demikian pada umumnya sangat terbatas jumlahnya, dan sebahagian terdiri dari mereka yang telah berusia 56 (lima puluh enam) tahun atau lebih. Berhubung dengan itu maka untuk kelancaran pelaksanaan tugas, batas usia pensiun bagi Pegawai Negeri Sipil yang memangku jabatan tertentu itu dapat diperpanjang dengan memperhatikan keadaan kesehatannya.
Ayat (2)
Pegawai Negeri Sipil yang tidak lagi memangku jabatan sebagaimana dimaksud dalam ayat ini dan tidak ada rencana untuk diangkat lagi dalam jabatan yang sama atau jabatan yang lebih tinggi, maka ia diberhentikan dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil.
Pasal 5
Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam pasal ini, dilakukan secara tertulis oleh pimpinan instansi dari Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan untuk semua golongan jangka waktu 1 (satu) tahun itu dipandang cukup bagi Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan untuk menyelesaikan segala sesuatu yang berhubungan dengan tugasnya. Dalam waktu 1 (satu) tahun itu, pimpinan instansi yang bersangkutan harus sudah menyelesaikan segala sesuatu yang menyangkut tata usaha kepegawaian, sehingga Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan dapat menerima hak-haknya tepat pada waktunya.
Pasal 6
Organisasi bukan tujuan, tetapi organisasi adalah alat dalam melaksanakan tugas pokok, oleh sebab itu susunan suatu satuan organisasi harus disesuaikan dengan perkembangan tugas pokok, sehingga dengan demikian dapat dicapai dayaguna dan hasilguna yang sebesar-besarnya.
Perubahan satuan organisasi Negara adakalanya mengakibatkan kelebihan Pegawai Negeri Sipil. Apabila terjadi hal yang sedemikian, maka Pegawai Negeri Sipil yang lebih itu disalurkan pada satuan organisasi Negara yang lainnya.
Pasal 7
Cukup jelas
Pasal 8
Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam pasal ini, dapat dilakukan dengan hormat atau tidak dengan hormat, satu dan lain hal tergantung pada pertimbangan pejabat yang berwenang atas berat atau ringannya perbuatan yang dilakukan dan besar atau kecilnya akibat yang ditimbulkan oleh perbuatan itu.
Sumpah/Janji Pegawai Negeri Sipil, Sumpah/Janji Jabatan Negeri,dan Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil wajib ditaati oleh setiap Pegawai Negeri Sipil.
Pegawai Negeri Sipil yang telah ternyata melanggar sumpah/janji atau melanggar Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil yang berat dan menurut pertimbangan atasan yang berwenang tidak dapat diperbaiki lagi, dapat diberhentikan sebagai Pegawai Negeri Sipil.
Pada dasarnya, tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau diancam dengan pidana yang lebih berat adalah merupakan tindak pidana kejahatan yang berat.
Meskipun maksimum ancaman pidana terhadap suatu tindak pidana telah ditetapkan, namun pidana yang dijatuhkan/diputuskan oleh Hakim terhadap jenis tindak pidana itu dapat berbeda-beda sehubungan dengan berat ringannya tindak pidana yang dilakukan dan atau besar kecilnya akibat yang ditimbulkannya.
Berhubung dengan itu, maka dalam mempertimbangkan apakah Pegawai Negeri Sipil yang telah melakukan tindak pidana kejahatan itu akan diberhentikan atau tidak, atau apakah akan diberhentikan dengan hormat atau tidak dengan hormat, haruslah dipertimbangkan faktor-faktor yang mendorong Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan melakukan tindak pidana kejahatan itu, serta harus pula dipertimbangkan berat ringannya keputusan Pengadilan yang dijatuhkan.
Pasal 9
Pegawai Negeri Sipil yang dijatuhi pidana penjara, atau kurungan, berdasarkan keputusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap karena melakukan sesuatu tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal ini, harus diberhentikan tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil.
Ketentuan ini tidak berlaku bagi Pegawai Negeri Sipil yang hanya dijatuhi pidana percobaan.
Huruf a
Pada dasarnya jabatan yang diberikan kepada seorang Pegawai Sipil adalah merupakan kepercayaan dari Negara yang harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
Apabila seorang Pegawai Negeri Sipil dipidana penjara atau kurungan berdasarkan keputusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap karena melakukan suatu tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan atau pekerjaannya, maka Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan harus diberhentikan tidak dengan hormat karena telah menyalah-gunakan kepercayaan yang diberikan kepadanya.
Tindak pidana kejahatan jabatan yang dimaksud, antara lain adalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 413 sampai dengan Pasal 436 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Huruf b
Tindak pidana kejahatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 sampai dengan Pasal 161 KUHP, adalah tindak pidana kejahatan yang berat, karena tindak pidana kejahatan itu, adalah tindak pidana kejahatan terhadap keamanan Negara, kejahatan yang melanggar martabat Presiden dan Wakil Presiden, kejahatan terhadap Negara dan Kepala Negara/Wakil Kepala Negara sahabat, kejahatan mengenai perlakuan kewajiban Negara, hak-hak Negara, dan kejahatan terhadap ketertiban umum.
Berhubung dengan itu, maka Pegawai Negeri Sipil yang melakukan tindak pidana tersebut harus diberhentikan tidak dengan hormat.
Pasal 10
Pegawai Negeri Sipil sebagai unsur Aparatur Negara, Abdi Negara, dan Abdi Masyarakat yang ternyata telah melakukan usaha atau kegiatan yang bertujuan mengubah Pancasila dan atau Undang-Undang Dasar 1945,atau terlibat dengan gerakan atau melakukan kegiatan yang menentang Negara dan atau Pemerintah sudah menyalahi sumpahnya sebagai Pegawai Negeri Sipil. Olah karena itu Pegawai Negeri Sipil yang demikian harus diberhentikan dengan tidak hormat. Usaha atau kegiatan mana yang merupakan usaha atau kegiatan yang bertujuan mengubah Pancasila dan atau Undang-Undang Dasar 1945, serta kegiatan atau gerakan mana yang merupakan kegiatan atau gerakan yang menentang Negara dan atau Pemerintah, diputuskan oleh Presiden.
Pasal 11
Huruf a
Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam huruf ini, adalah Pegawai Negeri Sipil yang telah dinyatakan dengan surat keterangan Team Penguji Kesehatan bahwa keadaan jasmani dan atau rohani yang bersangkutan sudah sedemikian rupa, sehingga tidak dapat bekerja lagi dalam semua Jabatan Negeri.
Huruf b
Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam huruf ini, adalah Pegawai Negeri Sipil yang telah dinyatakan dengan surat keterangan Team Penguji Kesehatan bahwa yang bersangkutan menderita penyakit atau kelainan yang sedemikian rupa, sehingga apabila ia dipekerjakan terus dapat membahayakan dirinya sendiri atau orang lain, umpamanya seorang Pegawai Negeri Sipil yang menderita penyakit jiwa yang berbahaya.
Huruf c
Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam huruf ini, adalah Pegawai Negeri Sipil yang setelah berakhirnya cuti sakit belum mampu bekerja kembali, yang dinyatakan dengan surat keterangan Team Penguji Kesehatan.
Pasal 12
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan meninggalkan tugas secara tidak sah adalah meninggalkan tugas tanpa izin dari pejabat yang berwenang memberikan cuti.
Ayat (2)
Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat ini, dapat ditugaskan kembali atau dapat pula diberhentikan dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil.
Huruf a
Apabila alasan-alasan meninggalkan tugas secara tidak sah itu dapat diterima oleh pejabat yang berwenang, maka Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan dapat ditugaskan kembali setelah lebih dahulu dijatuhi hukuman disiplin Pegawai Negeri Sipil berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Huruf b
Apabila alasan-alasan meninggalkan tugas secara tidak sah itu tidak dapat diterima oleh pejabat yang berwenang, atau apabila menurut pendapat pejabat yang berwenang akan mungkin mengganggu suasana atau disiplin kerja apabila Pegawai negeri Sipil yang bersangkutan ditugaskan kembali, maka Pegawai Negeri Sipil tersebut diberhentikan dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil mulai pada bulan dihentikan pembayaran gajinya.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 13
Untuk kelengkapan tata usaha kepegawaian, maka pimpinan instansi yang bersangkutan membuat surat keterangan meninggal dunia.
Pasal 14
Ayat (1)
Pegawai Negeri Sipil yang hilang selama 12 (dua belas) bulan, dianggap sebagai Pegawai Negeri Sipil yang masih tetap bekerja, oleh sebab itu gaji dan penghasilan lainnya yang berhak diterimanya diterimakan kepada keluarganya. Yaitu istri, suami, atau anak yang sah. Apabila setelah jangka waktu masa 12 (dua belas) bulan Pegawai Negeri Sipil yang hilang itu belum juga diketemukan, maka ia dianggap telah meninggal dunia pada akhir bulan kedua belas dan kepada keluarganya diberikan uang duka wafat atau uang duka tewas dan hak-hak kepegawaian lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Hak-hak kepegawaian yang diperhitungkan sebagaimana dimaksud dalam ayat ini, tidak termasuk uang duka wafat atau uang duka tewas.
Pasal 15
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan instansi induk, adalah Departemen, Kejaksaan Agung, Kesekretariatan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara, Lembaga Pemerintah Non Departemen, Daerah Otonom, dan instansi lain yang ditentukan oleh Presiden.
Ayat (2)
Pemberhentian dengan hormat sebagaimana dimaksud dalam ayat ini, dapat berupa pemberhentian dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil atau pemberhentian dengan hormat dari Jabatan Negeri. Selanjutnya lihat penjelasan Pasal 17.
Pasal 16
cukup jelas
Pasal 17
Huruf a
cukup jelas
Huruf b
Apabila pada waktu berakhirnya masa pemberian uang tunggu,Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan telah mencapai usia sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun dan telah memiliki masa kerja pensiun sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) tahun, maka ia diberhentikan dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil dengan hak pensiun.
Apabila pada waktu berakhirnya masa pemberian uang tunggu,Pegawai Negeri Sipil tersebut telah memiliki masa kerja pensiun sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) tahun, tetapi belum mencapai usia sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, maka ia diberhentikan dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil dan Pemberian pensiunnya ditetapkan pada saat ia mencapai usia 50(lima puluh) tahun.
Apabila pada waktu berakhirnya masa pemberian uang tunggu,Pegawai Negeri Sipil tersebut belum memiliki masa kerja pensiun sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) tahun, maka ia diberhentikan dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil tanpa hak pensiun.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Ayat (1)
Kecuali ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan, pemberian uang tunggu setiap kali ditetapkan untuk paling lama 1 (satu)tahun.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas
Pasal 21
Penerima uang tunggu masih tetap berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil oleh sebab itu kepadanya diberikan kenaikan gaji berkala, tunjangan keluarga, tunjangan pangan, dan tunjangan lain berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penilaian pelaksanaan pekerjaan yang digunakan sebagai dasar untuk pemberian kenaikan gaji berkala, adalah penilaian pelaksanaan pekerjaan terakhir sebelum Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan diberhentikan dengan hormat dari Jabatan Negeri.Gaji pokok terakhir setelah mendapat kenaikan gaji berkala digunakan sebagai dasar pemberian uang tunggu.
Pasal 22
Huruf a
Pelapor diri sebagaimana dimaksud dalam huruf ini, dilakukan melalui saluran hierarki.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Pasal 23
Ayat (1)
Pengangkatan sebagaimana dimaksud dalam ayat ini, dilakukan dengan memperhatikan keahlian, pengalaman, dan pangkat Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas
Pasal 26
Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam pasal ini, adalah semua penghasilan sebagai Pegawai Negeri Sipil, kecuali tunjangan jabatan.
Pasal 27
Ayat (1)
Pegawai Negeri Sipil yang dikenakan pemberhentian sementara,adalah karena dituduh melakukan sesuatu tindak pidana, oleh sebab itu belum dapat dipastikan apakah ia bersalah atau tidak.
Selama Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan dikenakan pemberhentian sementara, ia menerima bahagian gajinya.
Apabila pada waktu sedang menjalani pemberhentian sementara ia mencapai batas usia pensiun, maka pembayaran bahagian gajinya dihentikan, sehingga dengan demikian dapat dihindarkan kemungkinan kerugian terhadap keuangan Negara.
Pemberhentian sebagai Pegawai Negeri Sipil dilaksanakan setelah ada keputusan Pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 28 sampai dengan Pasal 34
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3149

Friday, October 14, 2016

HUKUM PIDANA KHUSUS

Rabu, 30 Maret 2011
HUKUM PIDANA KHUSUS

SINOPSIS

Hukum Pidana khusus adalah mempelajari suatu hukum dibidang pidana yang pada umumnya berada ketentuannya diatur diluar KUHP yang berhubungan dengan hukum pidana umum. Pidana umum dan penyimpangan – penyimpangan yang ada terhadap hukum pidana umum dalam bentuk serta lembaga yang berwenang mengadilinya.

Bisa saja ketentuan – ketentuan itu ditemukan dalam KUHD tapi karena lemahnya ketentuan – ketentuan yang ada dalam KUHP tersebut maka oleh yang berwenang dikeluarkan atau dibuat sendiri ketentuan diluar KUHP.
Contoh : Suap
      
Dalam KUHP, suap ringan hukumannya, tapi akibat yang ditimbulkan sangar besar karena itu dibuat peraturan sendiri tentang suap, ini berhubungan dengan mereka yang digaji oleh negara atau mereka yang digaji oleh orang lain.

                                                                                                                 
TUJUAN PIDANA KHUSUS

Tujuan dari pidana khusus adalah membahas bentuk – bentuk hukum pidana yang tergolong kedalam hukum pidana khusus :
-       Latar belakang
-       Jenis – jenis
-       Perundang – undangan yang mengaturnya
-       Proses penyelesaian

Latar belakang munculnya tindak pidana khusus :
Karena dalam kenyataan sehari – hari banyak ditemukan delik – delik yang tidak diatur dalam KUHP.
Adanya delik yaitu pidananya relatif ringan, sedangkan delik itu pada waktu sekarang mempunyai dampak yang besar.

Berdasarkan tujuan tersebut, maka dalam hukum pidana khusus ini dipelajari dan dibahas tentang :
Hukum Pidana khusus secara umum
Tindak pidana ekonomi
Tindak pidana Narkotika
UU tentang lalu lintas jalan

LITERATUR
Prof. Soedarto, Kapita Selekta hukum Pidana
Andi Hamzah, Delik – delik tersebar diluar KUHP
Andi Hamzah, Hukum Pidana Ekonomi
UU tentang :
UU Darurat No. 7/1945, tindak pidana ekonomi
UU No. 12/1992, tentang lalu lintas jalan
UU. No. 22/1997 tentang narkotika
KUHP dan KUHAP

Timbul pertanyaan apakah pidana khusus ini bersifat menyimpang dari KUHP ?
Pertanyaan ini dijawab sendiri oleh KUHP yaitu yang berdasarkan kepada pasal 103 KUHP yang menyatakan bahwa ketentuan dari 8 bab.
Yang pertama dari buku ini berlaku juga terhadap perbuatan yang dapat dihukum menurut peraturan yang lain kecuali kalau ada UU / Wet/ tindakan umum pemerintahan/ordonanasi menentukan peraturan lain/peraturan lain menyatakan lain.
Dijelaskan oleh NOLTE dalam bukunya “Het straft recht en afzon pengke wetten” (Pasal 91) yaitu hukum pidanan dan hukum pidana khusus.

Seperti yang dikutip oleh Ali Hamzah menyatakan bahwa ada 2 macam pengecualian : berlakunya pasal 91 WvS (Pidana) yang sama bunyinya dengan pasal 103 KUHP yaitu :
1.       UU lain yang menentukan dalam pasal 50 ayat 3 UU darurat no. 7 tahun 1955 tentang tindak pidana  ekonomi yang berbunyi : “Apabila ketentuan dalam ataupun berdasarkan UU lain bertentangan dengan ketentuan ini maka akan berlaku ketentuan dalam UU ini:.
2.       UU lain itu menentukan secara diam – diam pengecualian seluruh/sebagian dari pasal tadi berdasarkan asas lex specially derogat legi generalis.

Pasal 103 KUHP : “Bahwa bab I – Bab VIII KUHP akan berlaku juga tindakan peraturan – peraturan hukum pidana lainnya, kecuali ketentuan lain menyatakan lain”.

Seperti pasal 12 UU No. 3 tahun 1958 tentang penempatan tenaga asing antara lain berbunyi : “Apabila ketika diperbuat pelanggaran sesuai pasal 9 belum lewat waktu 2 tahun semenjak melanggar dikeluarkan yang tidak dapat dirubah lagi karena pelanggaran yang sama, maka hukuman yang setinggi-tingginya yang disebut pasal tersebut dapat ditambah 1/3 nya.

HUBUNGAN ANTARA PIDANA UMUM DAN PIDANA KHUSUS

Hukum pidana khusus adalah ketentuan – ketentuan tentang hukum pidana yang ada diluar kodifikasi hukum pidana itu sendiri (KUHP), maka untuk itu oleh SUDARGO telah diberikan pengertian apa yang disebut sebagai hukum pidana khusus adalah hukum pidana yang ditetapkan untuk golongan orang khusus atau yang berhubungan dengan perbuatan – perbuatan khusus.

Jadi hubungannya adalah ada pada pasal 103 Buku I KUHP

KODIFIKASI

Hukum pidana khusus yang ada dalam Hukum Pidana Umum

Hukum pidana khusus yang ada diluar KUHP ibarat kita harus tahu terlebih dahulu apa itu KUHAP terutama tentang pembukuan dan kodifikasi.

Menurut para ahli, kodifikasi adalah suatu himpunan dari segala aturan hukum dan bahan hukum tertentu yang disusun secara sistematis, lengkap dan tuntas.

Kodifikasi adalah buku yang berisi himpunan dari hukum tetapi bagian hukum tertentu.
Ex. :     - Kumpulan dari bahagian hukum perdata
            - Kumpulan dari bahagian hukum pidana
            - Kumpulan dari bahagian hukum acara

SIFAT KODIFIKASI

Sifat kodifikasi ada 3 yaitu :
Sistematis
Yaitu suatu rangkaian yang tidak bertentangan satu sama lain, buku dalam KUHP ada 3, pada masing – masing buku ada bab, pasal, ayat, masing – masing itu tidak bertentangan satu sama lain.

Lengkap
Yaitu semua tingkah laku manusia dibidang hukum tertentu itu sudah diatur atau sudah ditentukan didalam kodifikasi tersebut.

Tuntas
Yaitu semua yang telah diatur tadi digunakan oleh hakim tidak boleh hakim keluar dari apa yang telah disebutkan didalam kodifikasi.
Ex. : Maksimal hukuman 15 tahun paling tinggi 20 tahun, maka hakim tidak boleh menjatuhkan 21 tahun.

Apa yang disebutkan oleh kodifikasi oleh kodifikasi maka tidak boleh menyimpang dengan kata lain adanya kepastian hukum.

Kenapa ada kepastian hukum ?
Dilihat dari sejarah Perancis.
Maka kekhasan Prancis, sebelum revolusi di Prancis dan daerah jajahan dimana sering terjadi pembunuhan, pembunuhan atau perbuatan yang dilakukan oleh raja yang mungkin rakyat dimana hal ini hukum ditentukan oleh kaisar itu adalah  C’CTAT – ET MOL --------------à Negara adalah saya
                                     Hukum yang mnejadi kekuatan adalah apa yang saya ucapkan.

Karena sudah berlalurt – larus (LOUIS 14) maka timbul pemberontakan walaupun sebelumnya ada pendapat dari para ahli dimana ada nasehat yang diadakan oleh ahli pada raja akan ada pemberontakan dimana berawal dari perjanjian BASTILE.
Pemberontakan hasilnya :
-       Liberti
-       Egalite
-       Fertenita

Oleh NAPOLEON sewaktu menjadi kaisar maka dia berusaha untuk menciptakan kepastian hukum sebagai tujuan dari revolusi Prancis, sehingga tercipta beberapa kodifikasi :
1.    Kitab Kodifikasi hukum sipil ---------à Hukum Perdata (Code Civil)
2.    Code Commerce --------------à Hukum dagang
3.    Code Penal -------------à Hukum pidana
4.    Code tentang hukum acara pidana dan hukum acara perdata

Oleh karena Prancis menjajah Belanda maka kode yang dibuat Napoleon maka diberlakukan di Belanda atau negara jajahannya, jadi di Perancis sudah berlaku code Penal, kemudian Belanda memerdekakan diri maka mereka punya rasa kebangsaan yang tinggi, sehingga code Prancis tidak berlaku lagi dan 1851 suatu kodifikasi hukum Belanda yaitu WvS.

Karena Belanda menjajah Indonesia maka indonesia memberlakukan WvS dengan asas korkodansi maka WvS itu dibuat sama dengan di Indonesia, dimana di Indonesia yang ada kondisi tertentu dibuat 1951 suatu kodifikasi hukum pidana dan 1915 dibuat kodifikasi yang unifikasi.

Kodifikasi ini yang digunakan sampai sekarang pada tahun 1918 yang telah berlaku KUHP, Belanda menyerah dan Jepang masuk, Indonesia merdeka WvS yang dibuat 1918 maka WvS itu ditetapkan dalam KUHP Indonesia.

Yang menjadi Sifat KUHP Indonesia adalah ;
1.    Sistematis
2.    Lengkap
3.    Tuntas

Yang menjadi masalah pada sifat KUHP
Yaitu sifat Lengkap
Dimana hukum itu ketinggalan dari kemajuan masyarakat sehingga apa yang dikatakan jahat atau tidak jahat pada waktu dulu atau sekarang mungkin terjadi perbedaan.

Jika kita menganut kodifikasi, dimana kodifikasi itu sangat berat sekali dan sangat susah mengubah, maka jika terjadi suatu perbuatan yang tidak diatur dalam KUHP atau dihukum dengan pidana ringan maka untuk mengubahnya sangat sulit dan ini membuat rakyat tidak tenang.
Ex. : Suap

Jalan keluarnya oleh KUHP Belanda
Kemungkinan asas lengkap tidak dapat diberlakukan maka oleh pemerintahan Belanda 1953 dibuat pertama kali suatu peraturan yang tidak diterapkan pertama kali suatu peraturan yang tidak diterapkan dalam KUHP, tapi peraturan itu sangat besar akibatnya.

Maka pada tahun 1933.
Dibuat suatu peraturan tentang peraturan lalu lintas yang disebut wegverkeer ordonantie. Dalam hal ini dia melihat tour lalu lintas tetapi dia memberikan sanksi beban pidana.

Dalam UU tersebut disebutkan :
Kalau dalam UU lalu lintas itu disebutkan maka disebut pelanggaran, dimana sanksinya hanya dalam KUHP.

Mengapa UU lalu lintas ini dapat dibuat ???
Karena Belanda takut hukum, dikarenakan salah satu pasal dalam KUHP Belanda yaitu pasal 91 WvS menyatakan seperti yang tersebut dalam pasal 103 KUHP Indonesia yang pada umumnya dikatakan :” Bahwa tentang kemungkinan adanya UU pidana yang ada diluar KUHP”. Hal ini dibuat dalam Buku I Bab VIII.

Dengan memperhatikan pasal 103 KUHP tersebut maka suatu peraturan pidana yang dibuat berlaku diluar KUHP dapat pula diterima dalam hukum pidana dengan dicabut kecuali ditentukan lain atau dengan kata lain dapat disebut “
ASAS LEX SPECIALLY DEROGAT LEGI GENERALY
Artinya ketentuan – ketentuan khusus mengenyampingkan ketentuan – ketentuan umum.

Dalam kenyataan : mulai dari hindia Belanda lama, hakim sudah menganut hukum ini dengan tuntas, dimana hukum adat bukan sebagai hukum yang berlaku tapi kenyataannya hakim Belanda mengambil hukum kebiasaan sebagai hukum yang berlaku.

Berdasarkan pernyataan dalam peraturan :
Bahwa apabila peraturan menyatakan suatu hukum kebiasaan itu dapat berlaku maka hakim yang mengambil kebiasaan itu untuk berlaku.

Pasal 103 Peraturan Penghabisan :
Ketentuan dari VII bab yang pertama dari bukum ini berlaku yang terhadap perbuatan yang dapat dihukum menurut peraturan per UU an lain kecuali kalau ada UU atau wet, tindakan umum pemerintahan/Algemene metragelen van bestuur (Ordonantie peraturan lain)

Buku I Bab  I – VII KUHP
Berlaku untuk KUHP itu sendiri, tapi juga berlaku untuk hal – hal atau peraturan – peraturan yang lain diluar KUHP yang berhubungan dengan hukum pidana, kecuali apabila peraturan itu menetapkan lain.
Ex. : Pasal 1 KUHPT (Kitab UU hukum Pidana Tentara)
                     KUHPM (Kitab UU Hukum Pidana Militer)

Pasal 1 KUHPT :
Apabila yang diatur dalam KUHPM itu sama dengan yang disebut dalam KUHP, tapi jika dikatakan lain oleh KUHPT yang berlaku KUHPT.

Dasar diberlakukan kodifikasi :
Adalah untuk kepastian hukum

Karena perkembangan zaman, kodifikasi tidak mungkin cocok begitu saja berkemungkinan ada yang tidak sesuai tetapi untuk merubah kodifikasi sangat sulit sehingga dibuat peraturan yang fleksibel seperti UU, dengan merubah UU maka hukum pidana bisa mengikuti perkembangan zaman.

Mengapa lebih baik membuat UU daripada merubah kodifikasi hukum ?
Bahwa dengan merubah UU bisa lebih cepat untuk menyelesaikan tindakan – tindakan anggota masyarakat dengan peraturan – peraturan yang harus mengaturnya.

Mengapa perkembangan masyarakat lebih cepat dari perkembangan hukum yang mengatur tingkah laku masyarakat ?
-   Adanya masalah globalisasi yang timbul dalam masyarakat oleh karena itu peraturan hukum itu berusaha untuk mempertahankan masyarakat maka dia perlu mengikuti perubahan masyarakat itu karena hukum itu mengatur tingkah laku masyarakat (sosial eigenering).
-   Dengan semakin moderennya kehidupan manusia, maka diperlukan perubahan hukum yang cepat, dengan kata lain dibuat perubahan hukum yang bersifat temporer, karena ada globalisasi, maka masyarakat modern dan masyarakat itu ingin cepat maka dia berupaya agar peraturan – peraturan itu dengan cepat dirubah.
   Ex. : 1927 oleh pemerintah Belanda dibuat peraturan tentang obat bius (narkotika) beberapa tahun kemudian peraturan ini berubah dan bertambah.
Misal : 1927 obat bius itu adalah ganja maka tahun 1970 an bukan ganja lagi dan okaina saja tapi juga tumbuh – tumbuhan juga bahan kimia, campuran kimia dengan tumbuh – tumbuhan. Sehingga 1976 peraturan obat bius ditukar dan diberlakukan UU narkotika 1976 kemudian dirobah lagi dengan UU narkotika 1997.

Diperlukan dalam beberapa peraturan yang berada diluar hukum pidana yang perlu dikaitkan dengna sanksi yang berupa pidana (pada umumnya diklasifikasikan sehingga pelanggaran) dengan tujuan :
-       Agar peraturan tersebut dapat ditaati walaupun sudah ada ketentuannya ditemukan dalam KUHP tetapi pidananya ringan.
-       Agar lebih ditaati maka perlu dihubungkan sanksi dengan pidana, walaupun sebenarnya (materilnya) tidak materi tentang pidana, agar ditaati perlu diberikan sanksi seperti : hukum pidana biasa relatif bukan kejahatan tapi pelanggaran.
      Ex. : ganti rugi (perdata)
              UU lalu lintas jalan ( pelanggaran)
              Pidana ringan
              Denda

Dalam KUHP buku II
Ada istilah SUAP, SOGOK
Dimana pidananya ringan sekali, hanya beberapa bulan akibatnya orang banyak melanggar, maka walaup diatur dalam KUHP, kemudian oleh pemerintah membuat peraturan baru tentang suap, sehingga apa yang diatur dalam KUHP tidak berlaku lagi tapi yang ada UU tindak pidana korupsi.

Sehubungan dengan hal diatas, maka ANDI HAMZAH menyebutkan bahwa :
NOIRE dalam bukunya “ Het straft reht en de of zun derlijke wetten” (Hukum pidana umum dan UU khusus) menyatakan ada 2 macam pengertian berlakunya pasal 91 WvS Belanda pasal 103 KUHP Indonesia) :
1.    UU lain tadi menentukan dengan tegas pengecualian berlakunya pasal 91 WvS Belanda.
      Ex. : Pasal 50 (3) UU darurat No. 7/1955
2.    UU lain itu menentukan secara diam – diam pengecualian seluruh atau sebagian dari pasal tersebut berdasarkan asas Lex specially derogat legi generally.
         Ex. : Pasal 12 UU penempatan tenaga asing ( UU No. 3 / 1958, lembaran negara no. 8/1958).

Jadi ANDI HAMZAH menyebutkan pendapat NOITE : bahwa UU lain yang bukan berasal dari kodifikasi tersebut dapat :
-       secara tegas
-       secara diam – diam

kalau peraturan tentang tindak pidana ekonomi ada yang mengaturnya maka peraturan itu akan berlaku kecuali ada UU yang mengaturnya.

v  Hukum pidana bagian umum adalah hukum yang mempelajari masalah – masalah dalam buku I KUHP dan mempelajari ajaran – ajaran dalam hukum pidana.
v  Hukum pidana umum adalah hukum yang mempelajari materi dari KUHP
v  Hukum Pidana bagian khusus adalah hukum yang membicarakan tentang delik – delik
v  Hukum pidana khusus adalah hukum yang mempelajari hukum pidana yang berbeda diluar hukum umum / diluar KUHP.

Diatas telah dsebutkan bahwa hukum pidana khusus itu pada umumnya banyak yang diatur diluar kodifikasi. Maka kalau dia diatur diluar kodifikasi maka harus dalam bentuk UU yang dalam hal ini pengertian UU pidana khusus adalah ketentuan – ketentuan tentang hukum pidana selain dari KUHP dan mengatur khusus baik tentang perbuatan tertentu ataupun orang tertentu..

PENGERTIAN HUKUM PIDANA KHUSUS

Pengertian hukum pidana khusus menurut para ahli :
Menurut SOEDARTO
      Bahwa pada umumnya berdasarkan uraian diatas dapat dibagi berdasarkan sifatnya :
Peraturan UU pidana dalam arti sesungguhnya yaitu UU yang menurut tujuannya bermaksud mengatur hak memberi pidana dari engara jaminan dari ketertiban hukum.
Peraturan – peraturan hukum pidana dalam suatu UU tersendiri yaitu peraturan – peraturan yang hanya dimaksudkan untuk memberikan sanksi pidana terhadap aturan – aturan salah satu bidang yang terletak diluar hukum pidana.
      Ex. : UU tentang penyelesaian perselisihan perburuhan dan yang mengatur hukum pidana keseluruhan seperti UU tentang narkotika

Hukum pidana sifatnya :
Hukum pidana kodifikasi ------------- > KUHP
Hukum pidan non kodifikasi ---------à UU Narkotika
Aturan lain tapi sanksinya pidana :
      Ex. :    Hukum perburuhan
                  UU lalu lintas

Hukum pidana khusus :
-   Merupakan hukum pidana terhadap orang – orang tertentu atau orang – orang khusus.
      Ex. : militer (KUHPT)
-       Yang diberlakukan terhadap perbuatan – perbuatan tertentu
      Ex. : Pajak, merupakan perbuatan tertentu, dimana hukum fiskal merupakan hukum pidana khusus.
                
Dalam hukum pidana ada :
Hukum pidana bagian khusus tidak sama dengan hukum pidana khusus.
Hukum pidana yang mempelajari khusus tentang perbuatan, perbuatan tindak pidana yang diatur dalam buku II dan Buku III dan juga buku IV KUHP
Hukum pidana bahagian umum tidak sama dengan hukum pidana umum.
Hukum pidana yang membicarakan ajaran – ajaran umum tentang hukum pidana, pada buku I KUHP.

UU Pidana Khusus
Peraturan – peraturan hukum pidana khusus yang tertentu
Ex. : UU tentang narkotika
-       Narkoba --------à Lebih luas
-       Narkotika -------à Lebih khusus
-       Nopza -----------à Lebih sempit
-       Psikotropika ---à Lebih khusus

Hukum pidana khusus
Terdiri dari beberapa UU pidana khusus
Kumpulan dari beberapa UU pidana khusus

UU Pidana Khusus
Ada didalam hukum pidana non kodifikasi
Dimana hukum pidana yang tidak dikodifikasi dapat disebut hukum pidana khusus jika :
1.    Mengatur hukum pidana sendiri
2.    Tidak mengatur hukum pidana tapi sanksinya pidana

IMPLIKASI/AKIBAT ADANYA HUKUM PIDANA KHUSUS

Adanya akibat pidana khusus adalah :
Memberi corak tentang hukum pidana kita yang terpecah – pecah seakan – akan adanya hukum pidana dinegara kita berbeda – beda, akibat hukum pidana terpecah – pecah terlihat diadakan upaya penanggulangannya kalau hukum pidana umum dan khusus yang menanggulanginya berbeda – beda dari :
-       Hakim
-       Polisi
-       Penyidik
Dan hal ini membutuhkan biaya yang banyak

Polisi atau kejaksaan dalam penanggulangan kejahatan juga akan berbeda – beda
      Ex. : Pelanggaran terhadap pidana khusus lebih berat dari pidana umum

Adanya pengertian hukum pidana khusus ini akan berperan dalam penyusunan konsep KUHP kita yang baru nanti.

PENYIMPANGAN DALAM HUKUM PIDANA KHUSUS

Pada umumnya yang menyimpang dalam hukum pidana khusus yaitu :
Didahulukan dari perkara lain penyidangannya terlihat dalam :
-       Pasal 25 UU tentang pemberantasan tidak pidana korupsi
-       Pasal 65 UU tentang narotika
-       Pasal 58 UU tentang psikotropika
Adanya peradilan in – abtentia (ketidak hadiran terdakwa)
-       Pasal 16 (6) UU tentang tindak pidana ekonomi
-       Pasal 38 UU No. 31 tahun 1999 tentang tindak pidana korupsi
Kalau dinyatakan secara tersendiri tidak berlakunya KUHAP oleh peraturan tersebut.

TINDAK PIDANA EKONOMI

Pada umumnya di Eropa khusus Inggris sebelum adanya revolusi industri, maka penduduk lebih banyak bekerja dibidang pertanian, kemudian sebelum terjadinya revolusi industri dibidang ekonomi telah mantap berlaku prinsip bahwa :

Dalam rangka melakukan usaha untuk mencapai kemakmuran bagi masyarakat pada umumnya dianut prinsip “Principle laysser paire layserr passer”

Artinya : biarkanlah orang – raong itu mencapai kemakmuran untuk mereka sendiri jangan ada campur tangan (Pemerintah) untuk atau dalam mencapai kemakmuran tersebut.
Ini adalah prinsip yang dikemukakan oleh pakar ekonomi inggris yaitu ...................................................

Oleh karena banyaknya kritikan maka pemerintah mulai mengambil tindakan dengan membuat peraturan – peraturan yang dalam hal ini dapat diberikan sanksi pidana kalau terjadi pelanggaran dalam rangka mencapai kemakmuran anggota – anggota masyarakat sehingga disini muncul pertama kali suatu peraturan – peraturan “Hinder Ordonantie” yang mengatur tentang penempatan adanya daerah – daerah industri.

Upaya ganti rugi pada buruh :
Penempatan daerah industri
Kesehatan buruh

Karena pada umumnya adanya peraturan – peraturan yang dibuat masih bersifat mengatur maka dibuat peraturan yang isinya bersifat memaksa (Dwingend) maka mulai saat itulah negara – negara di Eropa mulai menciptakan peraturan – peraturan yang bersifat dwingend yang dalam hal ini di negeri Belanda dibuat suatu peraturan tentang hukum pidana di bidang ekonomi, dimana dalam tahun 1932 dikenal dengan nama “ Wet op de Economische delicten” (UU tentang Delik – Delik ekonomi).

Karena negara mulai memperhatikan rakyat kecil maka negara – negara di Eropa itu membuat peraturan – peraturan khusus dibidang ekonomi, di Belandapun telah diatur tentang hal – hal yang berkaitan dibidang ekonomi.

Dalam kodifikasi KUHP Belanda tidak ada diatur tentang masalah Ekonomi, sehingga tahun 1932 oleh pemerintah Belanda dibuat aturan dibidang ekonomi, siapapun yang melanggar harus dikenakan “Wet op de economische delicten” dengan catatan bagi indonesia walaupun ada asas korkodansi belum dibuat ketentuan tersebut tapi di Belanda mengenai tindak pidana ekonomi sudah ada peraturan dihindia belanda tidak dibuat, padahal seharusnya dibuat dengan asas korkodansi.

Walaupun asas korkodansi ada, bagi hindia belanda tidak ada peraturan seperti UU 1932 tadi sampai tahun 1955 baru muncul peraturan yang mengatur tentang pidana kalau melanggar hal – hal dibidang ekonomi tersebut yaitu :
UU darurat No. 7 tahun 1955 tentang tindak pidana ekonomi yang mulai berlaku 13 Mei 1955, yang telah mengalami beberapa perubahan, pencabutan, penambahan dibidang ekonomi.

Dasar adanya UU Darurat No. 7 tahun 1955 pasal 96 ini adalah UUDS 1950 yang berbunyi bahwa :
Pemerintah berhak atas kuasa dan tanggung jawab sendiri menetapkan UU darurat untuk mengatur hal – hal penyelenggaraan pemerintah yang karena keadaan – keadaan yang mendesak perlu dengan sengaja. UU darurat mempunyai kekuatan dan derajat UU kekuatan ini tidak mengurangi yang diterapkan dalam pasal tersebut.

Pasal 96 UU darurat No. 7 tahun 1955
Dalam keadaan darurat atau memaksa maka pemerintah dapat membuat UU secara tepat tanpa parlemen UU darurat tersebut sebelum berlakunya UUDS 1950. ketentuannya sudah ada dalam UUD 1945. oleh UUDS apa yang dikatakan dalam UUD 1945 disebut sebagai UU Darurat.
UU Darurat = Perpu
Urutannya :
-       Pancasila
-       UUDS
-       UU
-       UU Darurat
-       Dst.

Perpu ---------à mengatakan bahwa ia sederajat dengan UU tapi UU dibuat oleh DPR/Parlemen.
Perpu dibuat oleh pemerintah karena keadaan memaksa dengancatatan Perpu itu harus diserahkan kepada DPR untuk minta persetujuan DPR, kalau disetujui maka perpu jadi UU.
Ex.: Perpu No. 1 tahun 1992
Jika disetujui maka dia menjadi UU Perpu no. 5 tahun 1992 jika tidak diterima oleh DPR maka perpu dicabut.

Pasal 96,
Disebut UU darurat karena keadaan memaksa nama awalnya UU darurat no. 7 tahun 1955. dimana jika dibuat tentang masalah perekonomian maka dapat menghancurkan negara dimana sering terjadi penyelundupan dibidang ekonomi.

Karena UU darurat harus diajukan atau kepada parlemen untuk disyahkan menjadi UU, dengan meminta persetujuan.

Dalam kenyataannya UU darurat No. 7 tahun 1955, itu tidak pernah diajukan oleh pemerintah kepada DPK atau parlemen untuk disyahkan naru dalamt ahun 1963 UU darurat No. 7 tahun 1955 tersebut diajukan oleh pemerintah kepada DPR dan UU darurat no. 7 tahun 1955 tersebut berdasarkan UU no. 1 tahun 1965 dinyatakan sebagai UU dengan nama UU darurat No. 7 tahun 1955.

PELANGGARAN DIBIDANG EKONOMI

Pasal 1 Sub 1e, 2e, 3e
Sekarang menjadi pasal 1 ayat 1,2,3 yaitu :
1.    Semua peraturan masa hindia belanda, masa peraturan yang dibuat oleh pemerintah, DPR dan dibawahnya
2.Berdasarkan peraturan yang akan datang
3.Berdasarkan apa yang disebut sendiri oleh TPE itu

Apa yang dikatakan TPK itu telah disebutkan UU tindak pidana Ekonomi pasal 1 UU TPE terdiri dari 3 ayat yaitu 1,2, dan 3

Pasal 1 UU No. 7 tahun 1955,
1.    Peraturan dibidang yang telah ada dimasa hindia belanda dan di indonesia sampai dengan adanya UU TPE
2.    UU TPE menyatakan ia adalah tindak pidana ekonomi
3.    Oleh UU TPE dinyatakan sebagai TPE apabila ada peraturan nantinya akan ada klasifikasinya dibidang ekonomi

Bidang ekonomi yang kalau dilanggar disebut tindak pidana ekonomi baik itu peraturan yang telah ada peraturan yang menyatakan itu tidak pidana ekonomi dan peraturan yang akan datang.

Maka menurut ANDI HAMZAH berdasarkan pasal UU Tindak pidana ekonomi itu disebut sebagai tindak pidana ekonomi adalah apabila :

Pasal 1 ayat 1 UU No. 7 tahun 1955
Melanggar peraturan – peraturan tentang ekonomi dibidang :

Bidang Eksport, terdiri dari :
-       Crisis uit voer ordonantie (stb 1933/383)
-       Kapok Belangan ordantie (Stb 1935/165 tentang kepentingan kapuk
-       Ordantie aethe rischa olien ( stb 1937/601) tentang peraturan minyak eter
-       Krosok ordonantie (stb 1937/7604) --------à ordonantie tembakau
-       Crisis uit voer ordonantie---------à UU tentang eksport antar pulau

Bidang import, terdiri dari :
-       Crisis in voer ordonantie (stb 1933/ 349)
-       Ordonantie gecontroleend goederen (stb 1948/144)

Moneter
-       UU No. 10 tahun 1990
-       Indische larier
-       UU No. 17 tahun 1964

Bidang produksi dan industri
-       UU perusahaan (Stb 1948/144)
-       UU tentang penyelesaian harga

Perhubungan
-       UU tentang perkapalan
-       UU tentang pelayaran
-       UU tentang lalu lintas jalan

Pasal 1 ayat 2 UU No. 7 tahun 1955 :
Tindak pidana tersebut dalam pasal 26,32, 33 UU darurat ini dalam hal ini yang dimaksud tindak pidana ekonomi adalah apa yang disebut juga didalam pasal 26,32,33.

Pasal 26 UU Darurat :
Bahwa dengan sengaja memenuhi tuntutan pegawai pengusut berdasarkan suatu aturan dan UU darurat ini adalah tindak pidana ekonomi.

Pegawai pengusut            = Pasal 2
Penyidik                            = Pasal 26
Penyidik dalam KUHAP   =          - Polisi
                                                       - Penyidik dan pembantunya
Pasal 32 UU Darurat :
Bahwa barang siapa sengaja berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang bertentangan dengan suatu hukuman tambahan sebagai tercantum :
-       Pasal 7 ayat 1 sub a,b,c
-       Pasal 8

Dengan suatu peraturan seperti termaksud dalam pasal 10 atau dengan suatu tindakan tata tertib sementara atau menghindari hukuman tambahan tindakan tata tertib tindakan tata tertib sementara seperti tersebut diatas, maka ia melaksanakan suatu tindak pidana ekonomi.

Sebagai tindak pidana ekonomi,
Apabila yang bersangkutan berbuat atau tidak berbuat seperti apa yang telah dijatuhkan oleh hakim kepada yang bersangkutan sanksi yang harus dibutuhkan atau dalam hal ini ia berusaha untuk menghindari apa yang telah dijatuhkan oleh hakim itu maka ia juga disebut sebagai tindak pidana ekonomi.

Sanksi dapat dalam bentuk UU No. 1 Darurat pasal 8 No. 7 tahun 1955
-       Pemidanaan
-       Tindakan tata tertib
-       Tindakan tata tertib sementara
-       Pidana tambahan

Jika hal diatas ini tidak dilaksanakan dan dihindari maka dapat disebut tindak pidana ekonomi.

Pasal 33 UU Darurat :
Barang siapa sengaja baik sendiri maupun dengan perantaraan orang lain menarik bagian – bagian kekayaan untuk dihindarkan dari tagihan – tagihan atau pelaksanaan suatu hukuman baik tindakan tata tertib atau tindakan tata tertib sementara yang dijatuhkan berdasarkan UU darurat ini, maka ini melakukan suatu tindakan pidana ekonomi.

Kalau telah dijatuhkan pidana berupa :
-       Denda
-       Tindakan tata tertib yang harus dibayar dengan uang
-       Tindakan tata tertin sementara yang harus dibayar dengan uang

Tapi yang bersangkutan menghindarkan pembayaran tadi baik sendiri – sendiri atau perantaraan orang lain maka merupakan tindak pidana ekonomi.

Pasal 1 ayat 3 No. 7 tahun 1955 :
Bahwa tindak pidana tersebut dalam pasal 26, 32,33 UU lain sekedar UU itu menyebut “Pelanggaran itu sebagai Tindak Pidana Ekonomi”.

Apa yang disebut oleh pasal 26,32,33 sudah jelas apabila terjadi maka merupakan tindak pidana ekonomi sedangkan pasal 1 ayat 3 menyatakan apabila ada UU lain maka kalau ditemukan dalam UU tersebut bunyi seperti pasal 26,32,33 dalam hal ini UU tersebut menyatakan sama seperti yang dikatakan dalam pasal 26,32,33 yaitu juga disebut sebagai tindak pidana ekonomi.

Jika seseorang tidak memenuhi permintaan pegawai pengusut atau penyidik maka juga merupakan TPE.

Jadi dalam hal ini apa yang dikatakan TPE dapat dilihat dalam :
1. UU NO. 7 Tahun 1955
-               Pasal 1 ayat 1
-               Pasal 1 ayat 2           
-               Pasal 1 ayat 3

2. UU lain yang bunyinya sama dengan yang disebut dalam :
      - Pasal 26
      - Pasal 32
      - Pasal 33

PENGERTIAN TINDAK PIDANA EKONOMI MENURUT PARA AHLI

Mengenai TPE, ANDI HAMZAH dan Mohammad ANWAR telah menggolongkan tindak pidana ini ke dalam beberapa penggolongan berdasarkan :
UU No. 7 tahun 1955 :
-       Pasal 1 ayat 1
-       Pasal 1 ayat 2
-       Pasal 1 ayat 3

1. Menurut ANDI HAMZAH :
Dalam bukunya Hukum Pidana Ekonomi membagi tindak pidana ekonomi atas 3 golongan :
1.Golongan Pertama
Peraturan – peraturan yang terdapat pada pasal 1 ayat 1 UU Tindak Pidana Ekonomi.

2.Golongan Kedua
Ketentuan yang ditentukan oleh UU tindak pidana ekonomi itu sendiri seperti yang diatur dalam pasal 26, 32,33

3.Golongan Ketiga
Pemberian lowongan kepada kaidah – kaidah yang akan datang apakah berbentuk UU ataupun Perpu dimana dia ditentukan bahwa pelanggaran atas UU atau Perpu tadi merupakan delik ekonomi (Pasal 1 ayat 3).

Jika boleh kita katakan :
-               Bahwa pasal 1 ayat 1,2 itu peraturannya sudah ada sedangkan pasal 1 ayat 3 disebut Ius constituendum.
-               Peraturan ekonomi itu sudah diprediksi oleh apa yang dikatakan Andi Hamzah dan akan muncul peraturan itu nantinya jadi ada ius constitutum dan ius constituendum.

2. Menurut MUHAMMAD ANWAR :
Dalam bukunya Hukum Pidana dibidang Ekonomi menyebutkan bahwa ada 2 jenis kelompok tindak pidana dibidang Ekonomi yaitu :

1.  Tindak Pidana dalam arti Sempit
Tindak pidana ekonomi yang bersumber pada pasal 1 UU Tindak Pidana Ekonomi.
Hal ini dapat dibagi 3 yaitu :
Tindak pidana Ekonomi berdasarkan pasal 1 ayat 1
      Himpunan peraturan – peraturan dibidang ekonomi yang sudah ada sebelum UU tindak pidana ekonomi ini diundangkan.
Tindak pidana ekonomi berdasarkan pasal 1 ayat 2 UU TPE yakni sebagai yang diatur dalam pasal 26, 32,33
Tindak Pidana ekonomi berdasarkan pasal 1 ayat 3 UU TPE yakni pelanggaran suatu ketentuan :
-               Didalam UU lain
-               Berdasarkan UU lain

      Ketentuan didalam UU lain :
UU yang bersangkutan (UU lain) harus memuat suatu ketentuan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan – ketentuan tersebut dinyatakan sebagai TPE.
Dalam UU lain dinyatakan atau menyatakan sendiri itu adalah TPE seperti yang tertera dalam pasal 26,32,33
Ex.: Perpu No. 8 tahun 1962 menjadi UU berdasarkan UU No. 7 tahun 1964 tentang perdagangan barang – barang dalam pengawasan.

Berdasarkan UU lain :
UU tersebut berdasarkan peraturan :
-       sebagaimana tersebut dalam pasal 1 ayat 1
-       sebagaimana tersebut dalam pasal 1 ayat 3

UU lain itu dasarknya kepada peraturan – peraturan yang ada didalam pasal 1 ayat 1 dan pasal 1 ayat 3 maka itu adalah tindak pidana ekonomi.

Menurut MUHAMMAD ANWAR :
Adanya kata – kata berdasarkan tadi adalah untuk memberikan kesempatan wewenang membuat peraturan dibidang pidana ekonomi kepada DPRD, karena didalam daerah – daerah tertentu ada kekhususannya sehingga DPRD itu diberikan wewenang pula untuk membuat peraturan dibidang ekonomi.

2.  Tindak pidana dalam arti luas
Dapat dibagi atas :
a.    Pelanggaran terhadap ketentuan – ketentuan dari peraturan – peraturan dibidang ekonomi, pelanggaran mana diancam dengan hukuman yang termuat dalam UU TPE yang biasanya berdasarkan ketentuan – ketentuan pidana dalam peraturan khusus dibidang ekonomi.
      Antara lain :
-       UU tentang perbankan
            Ex. : menjalankan usaha bank tanpa izin
-       UU tentang merek perusahaan dan merk perniagaan.
            Ex.: Pemalsuan merek.
-       Peraturan tentang lautan teritorial dan lingkungan lautan larangan yaitu stb. 1939 / 442 dan dengan beberapa peraturan lain.
            Ex.: Penangkapan ikan tanpa izin
-       UU tentang hak cipta
-       UU tentang pemberantasan tindak pidana korupsi
-       UU tentang tindak pidana tera (timbangan, ukuran dan takaran).

b.    Perbuatan – perbuatan pelanggaran hukum yang menyangkut bidang ekonomi dapat diberlakukan beberapa ketentuan dalam KUHP.

Pelanggarannya :
-       Dengan menggunakan daya upaya atau sarana yang ada
-       Pasal – pasal yang berhubungan dengan perdagangan, produksi, retribusi yang kesemuanya memberikan pengaruh terhadap situasi dan perkembangan ekonomi atau moneter.

Kesemua pelanggaran diatas tentang tindak pidana Ekonomi yang dapat diberlakukan KUHP tersebut adalah :
Seperti yang ditemukan dalam buku II :
Bab 10
Tentang hal memalsukan mata uang dan uang kertas negara serta uang kertas bank.
Bab 11
      Tentang memalsukan materai dan merek
Bab 12
      Tentang memalsukan surat - surat
Bab 24 tentang penggelapan
Bab 25 tentang penipuan
Bab 26 tentang merugikan penagih hutang atau orang yang berhutan
Bab 30 tentang pertolongan jahat

PERSAMAAN PENDAPAT ANDI HAMZAH DAN MHD. ANWAR ADALAH :
Sama – sama melihat pasal 1 ayat 1,2, dan 3

PERBEDAANNYA :
Mhd. Anwar lebih memperjelas pengertian dari pasal 1 ayat 1,2,3 itu sebagai TPE
Mhd. Anwar lebih memperjelas maksud ius constituendum pada pasal 1 ayat 3 yaitu dapat berupa :
-       Ketentuan dalam UU lain
-       Ketentuan berdasarkan UU lain

Perbuatan pelanggaran hukum yang menyangkut bidang ekonomi dapat diperlukan ketentuan dalam KUHP berupa :
Menggunakan daya upaya dan alat atau sarana.
      Hal ini bisa dalam bentuk :
1.    Surat – surat berharga
2.    Warkat – warkat bank
3.    Fasilitas – fasilitas yang dikeluarkan oleh bank
4.    Sarana produksi
5.    Bahan – bahan pokok dalam pengawasan yang dapat merugikan produksi dan distribusi yang biasanya dalam bidang pertanian dan industri serta prasaranya antara lain :
-       Ditemukan dalam pasal 263, 264, 266 dan 271 KUHP yang pada umumnya berisikan pemalsuan berbagai jenis surat.
-       Bab 12 KUHP tentang pemalsuan surat – surat pasal 264 tentang menyuruh menempatkan keterangan palsu.
-       Tentang pengelapan
      Pasal 372 dan 374 KUHP bab 24 dengan judul penggelapan
-     Ketentuan – ketentuan tentang penipuan, pasal 378 KUHP
-     Membeli sengaja tidak melunasi:
Pasal 379 a KUHP
“ Mereka yang sebagai mata pencahariannya atau kebiasaan membeli barang – barang dengan maksud supaya ia sendiri atau orang lain mendapat barang itu dengan tidak melunaskan sama sekali pembayarannya”.
-       Penipuan beberapa kali atas konsumen yang sama :
      Pasal 383 Bis
      “ Pemegang surat pengangkutan dilaut (Konosemen) yang dengan sengaja mempunyai beberapa lembar surat konosemen serta telah diikat dengan perjanjian utang untuk keperluan beberapa orang yang mendapatnya”.

Tindak pidana yang berhubungan langsung dengan perdagangan.
      Hal ini dapat dilihat pada pasal 383 dan 386 KUHP yaitu :
1.    Pasal 383 KUHP, penipuan oleh penjual dalam jual beli :
-       Sengaja menyerahkan barang yang lain daripada yang telah ditunjuk oleh pembeli.
-       Keadaan sifat atau banyaknya barang
      Yang diserahkan dengan memakai akal dan tipu muslihat.
      Pasal 386 KUHP :
“ Menjual, menawarkan atau menyerahkan barang makanan, atau minuman/obat, sehingga diketahuinya barang itu dipalsukan dan kepalsuan itu disembunyikan”.

2.    Pemalsuan terhadap nama atau tanda atas karya kesastraan ilmu pengetahuan dan industri. Terlihat dalam pasal 386, 393 KUHP.
    
3.    Penipuan dalam asuransi Pasal 381, 382 KUHP

4.    Persaingan curang pasal 382 Bis

5.    Penipuan dalam pemborongan pasal 387 KUHP
“ Seorang pemborong atau ahli bangunan dan suatu pekerjaan yang pada waktu melakukan pekerjaan bangunan itu melakukan hal tipu yang mendatangkan bahaya bagi orang banyak”.

6.    Penjualan, penawaran, penyerahan, pembagian, penyediaan untuk dijual atau untuk dibagikan barang yang diketahui atau dapat diduga bahwa pada barang itu sendiri atau pada bungkusnya dibeli secara palsu nama/firma/cap/ merek yang menjadi hak orang lain.
Pasal 393 KUHP.

Jadi dalam arti sempit dan luas yang dikemukakan Mohammad Anwar yaitu :
1.    Adalah berupa penafsiran terhadap tindak pidana ekonomi berdasarkan pasal 1 ayat 1,2,3 UU TPE.
2.    Sedangkan apa yang dinyatakan dalam pasal 26,32, dan 33 tetap merupakan TPE juga seperti apa yang diatur oleh UU tentang TPE diatas tadi.

HAL – HAL YANG BERSIFAT KHUSUS DALAM TPE

Ada 8 hal yang bersifat khusus dalam TPE yaitu :
Ketentuan – ketentuan dalam peraturan TPE ini adalah bersifat elastis
Perbedaan pengertian, kejahatan dan pelanggaran dalam TPE
Perluasan berlakunya ketentuan pidana UU TPE
Percobaan dan pemberian bantuan yang berbeda dengan KUHP
Keadilan in absensia
Penyelesaian perkara diluar beracara (Schiking atau denda damai)
Perluasan tentang subjek yang dapat dihukum
Aneka ragam sanksi dan penjatuhan pidana

Ad.1. Ketentuan – ketentuan dalam peraturan TPE bersifat elastis

ANDI HAMZAH dalam bukunya hukum pidana ekonomi menyebutkan bahwa:
Peraturan tentang TPE ini bersifat elastis, artinya peraturan – peraturan dibidang pidana ekonomi itu disesuaikan dengan pasar.

Menurut Andi Hamzah,
Di Indonesia pada umumnya terlihat dalam praktek per UU an dilapangan ekonomi ini berubah dengan cap silih berganti guna mengejar akal licik pedagang dan pencatut.

Bahwa pejabat dilapangan ini seperti polisi, jaksa dan hakim termasuk pengacara/advokat seringkali belum sempat membaca atau menemukan suatu peraturan maka peraturan itu sudah diubah pula terutama yang berbentuk PP, peraturan menteri.

Jadi perubahan sosial ekonomi serta merta diikuti oleh peraturan pidana ekonomi yang bersifat temporer untuk mengatasi kesulitan pada waktu tertentu.

ad. 2. perbedaan pengertian kejahatan dan pelanggaran dalam tpe.

Dalam TPE klasifikasi kejahatan dan pelanggaran disesuaikan dengan penggolongan tindak pidana yang dikemukakan sebelumnya.

Menurut ANDI HAMZAH :
Bagi tindak ekonomi golongan I dipakai klasifikasi dalam UU yang tercantum dalam pasal 1 ayat 1 itu :
-       Jika dalam UU tersebut memberikan pengertian kejahatan dan pelanggaran secara tersendiri maka diklasifikasikan itulah yang dipakai.
-       Jika tidak memberi pengertian secara sendiri maka pengertian kejahatan dan pelanggaran didalam hukum pidana umum yang dipakai.

Dalam hal ini menurut Andi Hamzah, kita dapat melihat bahwa menurut UU TPE atau hukum pidana ekonomi apa yang disebut oleh UU TPE sebagai kejahatan dan pelanggaran dapat kita lihat berdasarkan penggolongan dari UU TPE tadi.

Ø  Golongan I :
Apabila dalam UU TPE itu disebut klasifikasi kejahatan maka dia adalah kejahatan, walaupun tidak dijelaskan bahwa itu adalah perbuatan berupa pelanggaran hukum pidana umum.
Ex.: Makhoda kapal yang tidak melaporkan isi dari kapalnya itu adalah perbuatan kejahatan dimiliki perbuatan itu langsung perbuatan kejahatan, walaupun nakhoda itu lupa atau lalai.

Kalau dalam klasifikasi UU TPE itu dikatakan pelanggaran dan mungkin dalam KUHP itu merupakan kejahtan maka dia adalah pelanggaran bukan kejahatan, sebaliknya jika dalam UU TPE tersebut tidak dinyatakan secara tegas itu adalah kejahatan atau pelanggaran maka yang berlaku adalah klasifikasi KUHP.
Artinya kalau dalam KUHP itu ada kata “Barangsiapa dengan sengaja” maka itu adalah kejahatan tapi kalau dinyatakan kata “ lalai atau lupa” maka itu adalah pelanggaran.

Ø  Golongan II :
-       Pasal 26
-       Pasal 32
-       Pasal 33
Hal ini jelas kalau dia dipakai sebagai klasifikasi kejahatan.

Ø  Golongan III :
   Sama seperti yang disebutkan untuk golongan I tersebut.
                           

DASAR PEMIKIRAN PERBEDAAN KEJAHATAN DENGAN PELANGGARAN

Ø  Pasal 2 ayat 1 :
Tindak pidana ekonomi tersebut dalam pasal 1 ayat 1 adalah kejahatan atau pelanggaran sekedar tindak pidana itu menurut ketentuan dalam UU yang bersangkutan adalah kejahatan atau pelanggaran TPE lainnya, yang tersebut dalam pasal 1 ayat 1 adalah kejahatan apabila tindak pidana itu dilakukan dengan sengaja.

Ø  Pasal 2 ayat 2 :
TPE tersebur dalam pasal 1 ayat 2 adalah kejahatan apabila tindak itu mengandung anasir sengaja, tindak pidana itu adalah pelanggaran satu dengan lainnya dengan UU itu tidak ditentukan lain.

Ad.3. Perluasan berlakunya ketentuan pidana UU TPE

Pemberlakuan ketentuan TPE pada umumnya lebih luas dari ketentuan berlakunya KUHP pasal 2 yang pasal 2 tersebut menganut asas TERITORIALITAS.

Bahwa TPE ini asas pemberlakuannya lebih luas daripada asas teritorialitas seperti yang dianut tindak pidana umum (Pasal 2 KUHP).

Pasal 2 KUHP :
Ketentuan pidana dalam UU Indonesia berlaku bagi tiap orang yang dalam indonesia melakukan suatu perbuatan yang boleh dihukum/peristiwa pidana.

Dalam TPE asas pemberlakuan yang berbeda ditemukan dalam pasal 3 UU TPE bahwa :
“Barangsiapa turut melakukan suatu TPE yang diberlakukan dalam daerah hukum RI dapat dipidana begitu pula jika turut melakukan TPE diluar negeri”.
Maksudnya : kalau seandainya ada orang yang turut melakukan TPE baik berada di indonesia atau tidak diindonesia maka orang itu dapat dipidana menurut hukum indonesia.

Mengenai turut melakukan tersebut ada beberapa sarjana yang telah memberikan pendapatnya antara lain :

1.Menurut SOEPRAPTO
      Dalam bukunya hukum pidana ekonomi menyatakan bahwa : kami tidak mengerti mengapa turut melakukan saja yang tersebut dalam pasal 3 untuk dijadikan delik sendiri sedangkan hal menuyuruh lakukan (Doen Plegen) membujuk melakukan (Uit Lokken) tidak dijadikan delik tersendiri dan masih mengikuti pasal 55 KUHP.

   Sebenarnya yang penting dalam pasal 3 UU TPE adalah perluasan berlakunya hukum TPE ke luar negeri antara lain :
-   Perhatikannlah penjelasan umum bagian ke 5 dan UU TPE yang menyatakan bahwa .................... sebagai perluasan pasal 2 KUHP .........
-   Maka perbuatan turut serta yang dilakukan diluar negeri dapat dipidana juga.

Analisa yang sama juga dikemukakan oleh :
KARNI
Dalam bukunya tindak pidana ekonomi :
Pasal 55 KUHP terdapat dalam Bab 5 buku I KUHP dengan judul turut serta melakukan perbuatan yang dapat dihukum.
Maka sebaiknya pasal 55 KUHP ini juga dapat diberlakukan bagi seseorang yang turut serta diluar negeri.

2.    Menurut ANDI HAMZAH
Dalam bukunya Tindak Pidana Ekonomi
Andi Hamzah menyatakan bahwa : dalam pasal 3 UU TPE ini pembuat UU memakai istilah lain lagi yaitu ikut serta.

Menurut Andi Hamzah, maksudnya bukalah kata – kata serta dan turut melakukan yang disalin dengan kata MEDE PLEGEN akan tetapi mestinya DEEL NEMING
MEDE PLEGEN bisa diartikan :
-       Turut berbuat
-       Serta berbuat
Dalam hal ini ditemukan dalam pasal 55 ayat 1 KUHP.

DEEL NEMING adalah :
-       Turut serta (dalam makna yang luas)
Yang bisa ditemukan dalam pasal 55 – 62 KUHP

Ad.4. Percobaan dann pemberian bantuan          

Hal ini diatur dalam pasal 4 UU TPE bahwa :
Jika dalam UU TPE pada umumnya atau TPE pada khususnya maka didalamnya termasuk pemberian bantuan pada atau untuk melakukan tindak pidana itu dan percobaan melakukan tindak pidana itu sekedar suatu ketentuan tidak menerapkan sebaliknya.

UU TPE tidak memberikan penjelasan terhadap pasal 4 ini, namun bila dilihat materi pasal ini ada 2 perbuatan yang diancam dengan pidana yaitu :
1.    Percobaan
2.    Pemberian bantuan (Pasal 53 KUHP dan 56 KUHP).

PERCOBAAN :

Suatu perbuatan yang belum selesai, tidak selesai karena bukan atas kehendak sipelaku.
Ex. : Mencongkel pintu orang lain tapi diketahui oleh orang lain.
Pidananya : dikurangi ½ nya karena deliknya belum selesai.

Menurut Pasal 4 UU TPE :
Baik percobaan maupun pemberian bantuan seseorang dipidana dengan delik selesai.

Menurut pasal 54 KUHP :
Percobaan untuk pelanggaran tidak diancam hukuman

Percobaan pelanggaran pada TPE dapat dipidana dasarnya pasal 2 UU TPE.

Terhadap pernyataan pasal 4 UU TPE :
Kami menyatakan bahwa :
      Percobaan pada delik ekonomi adalah sama dengan delik telah selesai

Menurut Andi Hamzah :
Tidak sepakat dengan pendapat karena kami sama dengan delik selesai tetapi kalau dilihat dari akibatnya yang berbahaya dari delik ekonomi yang dinyatakan sebagai alasan menetapkan percobaan sama dengan delik selesai maka alasan itu dapat diterima.

Menurut Kami :
Dia menyatakan bahwa pasal 4 itu menyimpang dari pasal 53 dan 60 KUHP dianggap perlu khususnya terhadap yang dipandang pelanggaran.

4.  Menurut Andi Hamzah :
Bagaimana hakim dan jaksa bisa tiba pada pengurangan hukuman kalau tidak terlebih dahulu diklasifikasikan delik yang bersangkutan sebagai percobaan pasal 53 KUHP atau memberi bantuan pasal 56 KUHP.
Dan ketentuan pasal 4 UU TPE :
Hanya diberlakukan untuk TPE yang digolongkan pada golongan 1 dan 3.

Ad.5. Peradilan in – Absentia       

Peradilan in absentia ini ditemukan didalam pasal 16 ayat 1 sampai dengan pasal 16 ayat 8 UU TPE dan ditambah dengan peraturan pemerintah pengganti UU No. 15 tahun 1992 dengan ayat 7 – 9.

Bunyi pasal 16 ayat 1 TPE menyatakan bahwa :
Jika ada cukup alasan untuk menduga bahwa seseorang yang meninggal dunia sebelum/perkaranya ada putusan yang tidak dapat diubah lagi telah melakukan TPE maka hakim atas tuntutan penuntut umum dengan putusan pengadilan dapat :
a.    Memutus perampasan barang – barang yang telah disita yang dalam hal ini pasal 10 UU darurat ini berlaku sepadan
b.    Memutus bahwa tindakan tata tertib yang disebut dalam pasal 8 sub C yang dilakukan dengan memberatkannya pada harta orang yang meninggal tersebut.

Pasal 16 ayat 6 menyatakan bahwa :
Ketentuan dalam pasal 1 diatas pada permulaan kalimat dan dibawah a berlaku juga jika berdasarkan atas alasan – alasan dapat diterima bahwa TPE itu dilakukan oleh seorang yang tidak dikenal orang, putusan itu diumumkan dalam berita negara dan didalam satu atau lebih surat kabar yang akan ditunjukkan oleh hakim.

Ayat 1 :
Yang bisa tidak perlu adil adalah orang yang telah meninggal

Ayat 6 :
Disamping orang yang meninggal juga ada orang yang tidak dikenal orang.

Tentang masalah meninggal dunia :
Dapat diadili in absentia relatif berbeda dengan apa yang ditentukan dalam pasal 77 KUHP (e) hak menuntut hukuman gugur lantaran sitertuduh meninggal dunia. Mengenai pasal 16 (6) ini banyak menimbulkan kesulitan karena penafsiran terhadap orang tidak dikenal (orang) sehingga dapat menimbulkan relatif ketidakpastian.
Dalam hal ini penafsiran tersebut sangat tergantung kepada penafsiran tersebut. Mengenai penafsiran terhadap pengertian orang tidak dikenal orang tersebut, oleh amir Hamzah tidak dinyatakan bahwa penafsiran itu berdasarkan putusan pengadilan yang dapat dibagi dua yaitu :
-       Sempit
-       Luas

Menurut Andi Hamzah, penafsiran sempit ini ditemukan pada putusan PT. Surabaya dalam kasus Malaya indonesia Grd. Co. Ltd. (Grading company ltd) dalam tahun 1960. kesimpulan putusannya : bahwa orang yang tidak dikenal adalah sungguh – sungguh tidak dikenal.

Sedangkan penafsiran dalam arti luas ditemukan pada putusan PN Malang tahun 1961 yang dalam putusannya berpendapat bahwa “Fisik ada tetapi setelah dicari dengan perantaraan alat – alat negara tidak terdapat dimana alamatnya yang setepat – tepatnya. Maka untuk diterima namanya dalam arti kata pasal 16 (6) yaitu dikenal namanya akan tetapi melarikan diri atau sebab lain tidak lagi berada di indonesia sehingga orang tidak mengenalnya sekalipun didalam pasal ini tidak ditentukan dengan kata – kata yang tegas mengenai kata – kata orang yang tidak dikenal itu.

Oleh Andi Hamzah, kata – kata sebab yang lain tidak lagi berada di indonesia maka PN malang berasumsi karena tidak ditemui di indonesia, berarti ia sudah pergi ke luar negeri.

Maka untuk keseragaman penafsiran, pemerintah mengeluarkan perpu No. 15 tahun 1962 yang menambah pasal 16 itu dengan tiga pasal yaitu pasal 16 ayat 7,8 dan 9.

Maka pasal 16 tersebut berbunyi ayat 1 – 6, ayat 7 yang diartikan dengan seorang yang tidak dikenal termasuk pula :
a.          Setiap orang yang diketahui namanya dan tempat kediamannya diluar negeri yang telah dipanggil dengan perantaraan perwakilan RI atau dengan surat panggilan yang ditempelkan pada tempat pengumuman di PN atau ditempatkan dalam satu/lebih surat kabar dan tidak menghadap kepada instansi yang memanggilnya.
b.          Setiap orang yang diketahui namanya, akan tetapi tidak diketahui tempat kediamannya yang telah dipanggil dengan surat panggilan yang ditempelkan pada papan pengumuman di PN atau yang ditempatkan dalam satu atau lebih surat kabar tidak datang menghadap yang memanggilnya.

Kesimpulan : yang disebut orang yang tidak dikenal relatif dikenal (Panggilan sehari – harinya dikenal).

Bahwa hal yang 3,4 dan 5 dari pasal 16 tersebut dapat diperlakukan juga terhadap perkara – perkara tersebut dalam ayat 6,7 dari pasal 16 ini, kemudian oleh pasal 16 : 6 dinyatakan berlaku sebagian daripada apa yang disebutkan dari pasal 3,4, dan 5 tadi.

Pasal 16 : 9 bahwa orang – orang tersebut dalam ayat 6 dan 7 tidak boleh diwakili oleh siapapun juga.

Ad. 6. PENYELESAIAN DILUAR ACARA/DENDA DAMAI

Denda damai dalam bahasa aslinya Beshikhing ---à penyelesaian perkara dalam TPE.

Penyelesaian diluar acara adalah penyelesaian kasus tanpa diajukan ke sidang pengadilan dengan membayar denda damai yang disepakati antara tersangka dengan kejaksaan.

Maksud denda damai ini ditemukan permulaannya dalam pasal 29 rechten ordonantie ( UU Bea) yang dalam hal ini telah diganti dengan pasal 113 UU No. 10 tahun 1995 tentang kepabeanan.

Pasal 113 : 1 :
Untuk kepentingan penerimaan negara atas permintaan menteri keuangan, jaksa agung dapat menghentikan penyidikan dibidang kepabeanan.

Ayat 2 :
Penghentian, penyidikan dibidang kepabeanan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 hanya apabila yang bersangkutan melunasi bea masuk yang tidak atau kurang dibayar, ditambah dengan sanksi administratif berupa denda sebesar 4 x jumlah bea masuk yang tidak/kurang dibayar.

Bagaimana kepastian hukum denda damai ini ?
Apakah dalam denda damai itu masih dapat dilakukan penuntutan. Apakah asas nebis in idem tidak dapat diterapkan? Itulah masalahnya.

Ditemukan 2 pendapat sampai sekarang :
1.        Denda damai ini tidak dimajukan lagi ke persidangan pengadilan. Alasannya telah ada keputusan jaksa agung sesuai dengan asas opportunitas yang ada padanya.
2.        Terdapat tersangka telah membayar denda damai yang juga merupakan sanksi.
3.        Sesuai dengan asas kepastian hukum, yang biasanya perkara yang telah diselesaikan diluar acara tersebut, tidak dapat dimajukan lagi.

Sedangkan peraturan yang kedua, denda damai itu belum merupakan keputusan hakim, maka masih dapat dimajukan kepersidangan karena asas nebis in idem (putusan yang telah diputuskan tidak bisa lagi diajukan ke pengadilan).

Ad.7. PERLUASAN OBJEK YANG DAPAT DIHUKUM

Dalam hukum pidana umum subjek yang dapat dihukum adalah manusia saja, kecuali kalau telah berlaku nantinya konsep hukum pidana nasional maka disamping subjek hukumnya manusia juga badan hukum. Sedangkan dalam pidana khusus pertama dalam TPE, dinyatakan sebagai subjek hukum adalah manusia dan badan hukum.

Kelainan/keistimewaan adalah bahwa sanksi yang bisa dijatuhkan kepada TPE adalah bersifat kumulasi/kumulatif, artinya suatu TPE biasanya dijatuhi pidana kumulasi yaitu suatu penjatuhan pidana yang bersifat gabungan, antara pidana badan ditambah dengan pidana denda. Namun, bisa juga sanksi TPE itu adalah bersifat alternatif/pilihan, artinya bisa pidana badan saja atau pidana denda satu.
Contoh : Dijatuhi pidana penjara atau denda.

Penjatuhan pidana didalam TPE, biasanya dijatuhi pidana pokok dan kalau mungkin dijatuhi pidana tambahan dan bisa juga dijatuhi pidana dalam bentuk seperti yang disebutkan dalam pasal 8 yaitu tindakan tata tertib dan juga bisa ditambahkan dengan tindakan tata tertib sementara dan disamping itu juga bisa dijatuhkan berdasarkan hukum perdata. Dan juga bisa diikuti dengan penjatuhan menurut hukum administrasi.

PENYIDIKAN
Kemudian mengenai masalah PENYIDIKAN itu bisa dilihat bahwa sesuai dengan ketentuan hukum pidana khusus penyidikan dilakukan berdasarkan KUHAP kecuali apabila ditentukan lain oleh UU ini.

Pada umumnya, sebagai penyidik adalah pihak kejaksaan sendiri kalau penyidik tersebut mempunyai kewenangan untuk menyita atau menyerahkan barang untuk disita atau merampas ataupun memusnahkan barang yang disita tersebut.

PENYITAAN
Kalau dihapuskan, maka jaksa membuat surat keterangan agar dalam menyidangkan nantinya akan jelas mengenai status dari barang sitaan tersebut.

Penyitaan juga berhak memasuki setiap tempat yang menurut pendapatnya akan membantu penyidikannya. Apabila perlu dia bisa meminta bantuan kepada kekuasaan umum (penegak hukum).

Dan dalam hal ini yang tidak kalah pentingnya adalah dia wajib merahasiakan sesuatu hal yang dapat menolak untuk memperhatikan surat – surat yang termasuk kewajiban merahasiakan itu.

PENYIDANGAN
Mengenai penyidangan TPE adalah pada PN yang hakim panitera jaksa disebut dikhususkan dalam masalah perkara pidana ekonomi, maka pengadilan itu disebut pengadilan ekonomi.

Sama seperti PN, pengadilan ekonomi juga bisa bersidang diluar tempat kedudukan pengadilan ekonomi tersebut. Pada pemeriksaan dipersidangan, ada satu hal yang berbeda yaitu ada badan/pegawai penghubung., ARTINYA untuk kepentingan pengusutan, penuntutan dan peradilan pidana TPE dengan persetujuan menteri kehakiman, HAM dapat diangkat pegawai yang dianggap ahli dalam bidang perekonomian yang berkewajiban memberikan bantuannya kepada hakim, kepada penyidik dan kepada penuntut baik diluar persidangan maupun didalam persidangan.

MASALAH NARKOTIKA
Pengertian Narkotika menurut UU No. 22 tahun 1997 (Pasal 1) :
Narkotika adalah zat/obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, kehilangan rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan yang dibedakan ke dalam golongan – golongan sebagaimana terlampir dalam UU ini atau yang kemudian ditetapkan dengan keputusan menteri kesehatan.

Keterangan :
Zat/obat ----à disebut dengan ‘Drug”
Adalah campuran kimiawi yang bila dimasukkan ke dalam badan akan menimbulkan suatu efek.

Sintesis :
Adalah suatu bahan yang berupa reaksi kimia antara 2 atau lebih zat membentuk zat baru, yang biasanya tidak diturunkan dari hasil alam, dan biasanya bersifat hasil pengolahan manusia.

Psikotropika :
Adalah juga merupakan drug tapi dia merupakan alat penenang.

Mengenai narkotika, bisa kita temukan dalam KUHP, yaitu pasal 204 dan 205 tentang barang yang berbayaha bagi jiwa dan kesehatan manusia, juga ditemukan dalam pasal 300 KUHP tentang meminum yang memabukkan dan dalam pasal 531, 538 dan 539 tentang minuman keras.
Mengenai masalah narkotika ini, jauh sebelum tahun 2000 sebelum masehi telah dikenal sebagai alat ritual dan pengobatan yaitu berupa opium/candu yang berkembang pesat di mesir, yunani dan beberapa daerah di timur tengah.

Pada waktu sekarang, masalah narkotika terutama ganja, yang produksiya dari daerah segitiga emas, daerah bulan sabit emas (iran, aganistan dan pakistan) dan pegunungan Andes (Bolivia, chili, Ekuador, Barazil, Argentina dan peru) yang ada izin menanamnya.

Indonesia, yang mulanya merupakan daerah transit sekarang telah menjadi penghasil maka keadaan ini menimbulkan kerugian bagi bangsa dan negara yaitu :
Merugikan pribadi dan masyarakat terutama generasi penerus/muda
Bisa membahayakan bagi kehidupan dan nilai budaya bangsa.

Kalau telah terjadi ABUSE OF NARCOTICS, maka akan menimbulkan :
Terjadi toleransi yaitu adanya perasaan yang makin menebal terhadap obat/drug.
Toleransi ini akan menyebabkan dosis pemakaian harus di tingkatkan untuk memperoleh efek yang sama.

Dependen/ketergantungan
Artinya seseorang itu merasakan didalam tubuhnya harus ada narkotika. Dependen tersebut dapat secara fisik, artinya dirasakan dalam dirinya tidak sempurna kalau tidak ada obat dalam dirinya.

Secara psikis/kejiwaan.
      Yaitu merasa tidak sehat kalau tidak menggunakan obat

Eforio
      Yaitu suatu perasaan yang berkelebihan kegembiraannya.

Bersifat halusinogen
Yaitu zatyang menimbulkan perasaan tidak real sehingga menimbulkan persepsi yang salah dan kalau kekuatan drug habis, timbul rasa takut atau tidak menyenangkan dirinya.

Bersifat Estalasi
Artinya peningkatan pemakaian dari satu zat kepada zat yang lebih tinggi atau lebih kuat lagi.

Pada tahun 1912 dikenal “Leage of nations” liga bangsa – bangsa pada saat itu diadakan pertemuan yang bernama “The hague convention” untuk mengatasi candu supaya dicekal masuk ke eropa.

Kemudian pertemuan itu dilanjutkan pada tahun 1925 dengan nama “The geneva internasional opium convention”.

Kemudian dilanjutkan dengan pertemuan tahun 1931 dengan nama The g. For limiting manufactures and regulating the distribution of n drugs (Pengaturan dijenewa untuk mengatasi dan mengatasi distribusi dari narkotika).

Kemudian pada tahun 1936 diadakan The convention for the suppressions of the illicitraffic au dangerous drug (Pelarangan secara luas tentang zat – zat berbahaya).

Pada tahun 1961 diadakan United nations tentang single on d  drugs (konvensi tunggal tentang narkotika).
Yang kemudian diubah dan ditambha dengan protokol 1961 yang bernama Protokol amending the .................... (Protokol perubahan konvensi tunggal tentang narkotika).
Yang dalam hal ini teah disyahkan oleh pemerintahan indonesia dengan UU No. 8 tahun 1976 dengan nama Pengesahan konvensi tunggal indonesia tahun 1961 beserta protokol yang mengubahnya.

Akibat pengesahan itu, pemerintah mengeluarkan UU No. 9 tahun 1976 tentang narkotika.

Sesudah konvensi tunggal narkotika tahun 1988, diadakan convention on psychotropic substances, di Wina  “disini mulai diadakan perhatian terhadap narkotika.

Kemudian juga tahun 1988 diadakan konvensi diwina yang bernama the convention against ilucit traffic in narcotics drugs and psychotropic substances (konvensi menentang perdagangan gelap tentang narkotika dan xat adiktif).

Konvensi diwina ini diratifikasi oleh pemerintah dengan UU No. 7 tahun 1997 dengan judul tentang pengesahan UU konvensi 1988.
Pengesahan konvensi wina ini menimbulkan UU No. 22 tahun 1997 tentang narkotika dan juga sebelumnya UU No. 5 tahun 1997 tentang psikotropika.

Di indonesia ada 2 nama narkotika sekarang ini :
Narkoba -------à narkotika dan obat – obatan terlarang
Nopza ------à narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya.
Keduanya adalah narkotika secara garis besar.

Narkotika sebelumnya belum dikenal di Eropa, tapi setelah perang candu mereka mulai memperhatikan tentang ganja yaitu pada tahun 1912.

Narkotika tersebut adalah relatif berbahaya jika disalahgunakan.

KETENTUAN – KETENTUAN TENTANG MASALAH NARKOTIKA
(BISA DALAM ARTI LUAS DAN DALAM ARTI SEMPIT)

Dalam artian yang luas itu ditemukan didalam KUHP sedangkan artian yang sempit (narkotika saja) atau psikotropika saja ditemukan didalam UU No. 22 tahun 1997 tentang narkotika, dapat dilihat pada lembaran negara No. 67 dan tambahan lembaran negara no. 3698, yang dalam hal ini UU No. 22 tahun 1997 mencabut UU no. 9 tahun 1976 tanggal 01 September 1997.

UU No. 9 tahun 1976 adalah mencabut ordonantie tentang obat bius, tahun 1927 dalam Stb. No. 278 Jo. No. 536 dengan nama VERDOOVENDE MIDELEN ORDONANTIE atau (VMO) atau ordonansi obat bius/UU tentang obat bius.

Sedangkan tentang psikotropika, dapat ditemukan dalam lembaran negara no. 10 dan dalam tambahan lembaran negara No. 3671 dengan nama UU tentang psikotropika.

Mengenai isi dari ordonantie obat bius yang diartikan dengan obat bius itu dilarang menanam, memelihara tanaman papaper atau coca dan ganja / indische hennep.
Disamping melarang, juga ditujukan untuk peraturan lalu lintas perdagangan ganja papaper, juga melarang pemakaian dan pemberian ganja dan coca itu kepada yang tidak berhak dan juga ditemukan sanksi kalau apa yang disebutkan diatas tidak diikuti/dilanggar.

Kemudian pada UU No. 9 tahun 1976 telah ditemukan beberapa zat atau bahan yang pada umumnya lebih luas dan lebih lengkap apabila kita bandingkan dengan PMO, antara lain :
Telah ditemukan adanya pelayanan kesehatan dalam rangka pemyembuhannya.
Ada narkotika sebagai bahan / zat baru, sedangkan sanksinya tergantung kepada bahaya dari narkotika tersebut kalau disalahgunakan.
Pengaturan bukan saja dibidang lalu lintas perdagangan tapi lebih luas lagi, yaitu tentang menanam, meracik narkotika tersebut.
Kalau PMO acaranya bersifat umum, maka UU No. 9 tahun 1976 tidak lagi mengikuti HIR, akan tetapi sudah bersifat khusus.
Adanya insentif terhadap mereka yang mengungkapkan narkotika ini
Mulai adanya kerjasama secara internasional dalam menanggulangi narkotika
Adanya beberapa ketentuan yang menyimpang dari pidana umum antara lain dapat dipidana badan hukum
Ancaman pidananya diperberat, bahkan bisa pidana mati. Dan berikut dend ditingkatkan dari Rp. 1 juta bisa menjadi Rp. 50 juta.

Tetapi oleh karena berkembangnya narkotika itu dan semakin banyaknya jenis – jenis narkotika, maka oleh UU No. 22 tahun 1997 dicabut UU No. 9 tahun 1976 tadi, sehingga UU  No.  22  tahun  1997  melengkapi, menambah  isi UU No. 9 tahun  1976  tadi, antara lain :

Adanya penggolongan narkotika yang bisa kita lihat dalam pasal 2 UU No. 22 tahun 1997 itu.

      Yang dalam hal ini penggolongan narkotika itu didasarkan kepada dapat tidaknya dijadikan obat dan ataupun akibat ketergantungan pemakai terhadap narkotika tersebut. Dalam pasal 2 ayat 2 nya dinyatakan bahwa narkotika ini ada 3 golongannya yaitu :

Narkotika golongan I
Narkotika yang hanya dapat untuk kepentingan ilmu pengetahuan saja tidak boleh digunakan dalan terapi serta mempunyai potensi yang sangat tinggi dalam mengakibatkan ketergantunga.
Narkotika golongan II
Narkotika yang berkhasiat didalam pengobatan dengan catatan sebagai ultimum remedium dan juga digunakan untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan mempunyai potensi yang tinggi untuk menimbulkan ketergantungan.
Narkotika golongan III
Narkotika yang berkhasiat oengobatan biasanya digunakan didalam terapi dan ilmu pengetahuan dan potensi ringan untuk ketergantungan.

Mengenai Pengadaan narkotika

      Pasal 6 : 2 UU No. 22 tahun 1997 mengatakan :
      Untuk keperluan tersedianya narkotika demi untuk kepentingan pelayanan ksesehatan atau untuk pengembangan ilmu pengetahuan meneliti kesehatan harus menyusun rencana kebutuhan narkotika tadi akan dapat dijadikan pedoman dalam pengadaan, pengendalian dan pengawasan narkotika secara nasional.

Adanya harus pencantuman label dari obat narkotika

      Ini dilihat pada pasal 41 dan juga mengenai publikasi dari narkotika yang ditemukan pada pasal 42.
Pasal 41 berbunyi :
Pada kemasan narkotika harus dibuat label/merek.

Pasal 42 berbunyi :
Hanya media tertentu saja yang boleh mengiklankan narkotika, yaitu media cetak ilmu kedokteran dan media cetak ilmu farmasi.

Lebih menegaskan peran serta dari masyarakat

      Yang ditemukan dalam pasal 57 yang berbunyi :
Masyarakat mempunyai kesempatan yang sangat luas dalam rangka membantu pencegahan/pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika.

Penyalahgunaan narkotika :
Artinya orang yang menggunakan narkotika tanpa sepengetahuan dan pengawasan dokter

Peredaran gelap :
Adalah setiap kegiatan/serangkaian kegiatan yang dilakukan secara tanpa hak dan melawan hukum yang ditetapkan sebagai tindak pidana narkotikan

Pengertian tanpa hak :
Adalah semua perbuatan syah asal dilegalisir oleh UU kecuali yang tidak boleh

Melawan hukum :
Adalah menunjukkan tidak sah suatu tindakan atau suatu maksud

Pasal 57 ayat 2 :
Wajib melaporkan kepada pejabat yang berwenang, apabila mengetahui adanya penyalahgunaan dan peredaran tersebut.

Pasal 57 ayat 3 :
Pemerintah wajib memberikan jaminan keamanan dan perlindungan kepada pelapor tersebut.

Pemusnahan narkotika sebelum putusan yang incracht :

      Hal ini  terlihat dalam pasal 61 – 66 pemusnahan narkotika ittu dilakukan oleh pemerintah ataupun bisa oleh mereka – mereka yang bertanggung jawab atas produksi/peredaran narkotika ataupun bisa dilakukan oleh sarana kesehatan tertentu ataupun oleh lembaga ilmu pengetahuan yang tertentu oleh karena produksi narkotika itu tidak memenuhi standar atau karena lewat waktu ataupun bisa juga oleh karena tidak memenuhi syarat untuk dipakai sebagai pelayanan kesehatan ataupun narkotika itu berkaitan dengan tindak pidana.

Sedangkan hal – hal yang perlu dilakukan sebelum narkotika itu dimusnahkan, hendaklah dicatat dalam berita acara :
Nama, jenis, merek
Kapan dimusnahkan dan dimana tempatnya
Tandatangan dan identitas yang melaksanakan dan menyaksikan pemusnahan tersebut.

Jika seandainya narkotika itu masih dalam  taraf penyelidikan, penyidikan oleh pejabat penyidik polisi, maka pemusnahannya disamping disaksikan oleh pejabat yang mewakili kejaksaan, begitupun pejabat kesehatan yang ditunjuk oleh menteri ataupun bisa oleh pejabat PNS yang menguasai barang tersebut.

Kalau putusan sudah mempunyai kekuatasn hukum tetap oleh pengadilan, pemusnahannya dilakukan oleh pejabat kejaksaan dan pejabat yangmewakili POLRI dan departemen sosial.

Perpanjangan jangka waktu penangkapan
      Ditemukan dalam pasal 67 ayat 2 dapat diperpanjang 48 jam

Mengenai penyadapan telepon oleh penyidik ataupun alat komunikasi lain yang dilakukan oleh orang yang diduga keras telah melakukan tindak pidana narkotika. Ditemukan dalam pasal 66 ayat 2.

Adanya teknik penyerahan yang diawasi dan pembelian yang terselubung
      Pembelian yang terselubung ---------à penyidik dalam hal penyamarannya membeli barang tersebut, dengan catatan teknik pembelian yang terselubung ini hanya diketahui oleh atasannya saja.

PENYIDIKAN MENGENAI NARKOTIKA

Dalam hal ini, pada umumnya, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan disidang pengadilan, itu didasarkan oleh KUHAP kecuali jik aditentukan lain.

Sedangkan persidangan itu diutamakan dari yang lain mengenai penyidik bisa dari POLRI sesuai dengan KUHAP juga petugas penyidik PNS, yang dalam hal ini lebih difokuskan pada petugas BPOM.

Khusus penyidik dari POLRI, disamping dia mempunyai kewenangan dalam KUHP tapi mereka itu juga mempunyai kewenangan dalam hal menyadap telepom dan memeriksa surat – surat juga bisa melakukan teknik penyerangan dan pembelian terselubung tadi.

Sedangkan bagi penyidik PNS itu ditambah kewenangan berdasarkan pasal 65 UU No. 22 tahun 1997 yaitu :
Kewenangan memeriksa lapora dan keterangan tentang TPN
Memeriksa mereka yang diduga melakukan TPN
Meminta keterangan dan barang bukti dari orang / badan hukum sehubungan dengan TPN itu tadi
Memeriksa dan menyita barang bukti tentang TPN tersebut
Memeriksa atas surat – surat dan atau dokumen yang berhubungan dengan narkotika sebagai tindak pidana tadi
Meminta bantuan tenaga ahli untuk tugas penyidikan TPN
Menangkap dan menahan orang yang disangka melakukan TPN

Kemudian dalam persidangan, itu relatif sama dengan KUHAP, yang bermasalah adalah mengenai putusan hakim, putusan hakim yang bermasalah itu adalah relatif bagi mereka pecandu narkotika.
Kemudian yang istimewa, tentang mereka yang disidangkan oleh hakim sebagai pecandu narkotika (orang yang telah menyalahgunakan narkotika) mengenai putusan hakim tadi, itu ditemukan dalam pasal 47.

Pasal 47 menyebutkan :
Ayat 1 : Hakim yang memeriksa perkara pecandu narkotika dapat :
Memutuskan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan perawatan apabila pecandu narkotika tersebut terbukti bersalah melakukan TPN
Menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan, menjalani pengobatan dan atau perawatan apabila pecandu narkotika tersebut tidak terbukti berusaha melakukan TPN.

Penjelasan pasal 47 ini sbb :
v   Penggunaan kota memutuskan bagi pecandu narkotika yang terbukti bersalah, mengandung pengertian bahwa putusan hakim tersebut merupakan vonis/hukuman bagi pecandu
v   Sedangkan kata menetapkan mengandung pengertian bahwa itu bukan vonis / hukuman tapi untuk memberikan suatu penekanan bahwa walau tidak terbukti bersalah tapi tetap wajib menjalani pengobatan dan perawatan yang biayanya selama dalam status tahanan tetap beban negara, kecuali tahanan rumah dan kota.
v   Sedang yang terbukti, beban sepenuhnya tanggung jawab negara karena pengobatan dan perawatan tersebut merupakan bahagian dari masa menjalani pidana.

Kalau di indonesia ada RSKO (Rumah Sakit Ketergantungan Obat) di jakarta.

Bahwa dalam persidangan dan begitupun dalam penyidikan tersangka ataupun terdakwa tadi harus memberikan keterangan mengenai harta bendanya dan ataupun harta anak istinya/suaminya ataupun setiap orang atau badan yang diketahuinya ataupun yang diduganya mempunyai hubungan atau kaitan terhadap TPN dari yang bersangkutan (Pasal 74 UU Narkotika).

Sedangkan pasal 75 UUN adalah merupakan salah satu hal yang dianggap baru yaitu pembalikan beban pembuktian.

Dalam hal tertentu hakim berwenang meminta terdakwa membuktikan bahwa seluruh harta bendanya dan harta benda istri/suami/anak dan setiap orang atau badan bukan berasal dari hasil TPN yang dilakukan terdakwa.

KETENTUAN PIDANA YANG ADA DALAM TPN
Mengenao ketentuan pidana itu ditemukan dalam pasal 78 – 100 yang pada umumnya penjatuhan pidana lebih banyak yang bersifat kumulasi dibanding dengan yang bersifat alternatif, namun disamping pidana bisa juga dijatuhkan sanksi berupa tindakan adminstrasi yang dapat dilihat pada pasal 11 ayat 4 dan pasal 56 ayat 3,

pasal 11 ayat 4 menyatakan :
kalau terjadi pelanggaran terhadap ketentuan mengenai penyimpanan mengenai pelaporan yang telah ditetapkan dalam UU ini oleh menteri kesehatan dapat dikenakan sanksi administratif berupa :
Teguran
Peringatan
Denda administrasi
Penghentian sementara kegiatan ybs
Pencabutan izin usha ybs

Sedangkan pasal 56 ayat 3 menyatakan :
Bahwa apabila ditemukan adanya bukti permulaan yang cukup atau berdasarkan petunjuk permulaan yang patut diduga telah terjadi pelanggaran terhadap adanya pengawasan dalam bidang kegiatan yang berhubungan dengan narkotika maka menteri kesehatan berwenang dalam bentuk seperti yang dimaksud dalam pasal 11 ayat 4 mengenakan sanksi administratif.

Disamping itu juga apabila terjadi kekhilafan pemerintah dalam pemusnahan barang (narkotika) yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap itu sebetunya dimiliki/diperoleh secara syah maka pemerintah memberikan ganti rugi kepada pemilik barang yang syah itu tadi.

Kedua:
Bahwa penjatuhan pidana bisa dalam bentuk kumulasi, kemudian bentuk pidana yang maksimal (pidana mati) ditemukan dalam TPN yaitu dalam pasal 80 ayat 1a dan 2a.

Ayat 1a : memiliki / memproduksi narkotika golongan I

Ayat 2a : Apabila ayat 1a tadi didahului dengan pemufakatan jahat

Sedangkan pidana minimum ditemukan dalam pasal 86 yaitu kurungan paling lama 6 bulan yaitu orangtua/wali dari pecandu yang tidak melaorkan si pecandu kepada yang berwenang.

Sedangkan pidana denda yang paling tinggi bagi orang adalah Rp. 5 M (Pasal 80 : 3a).

Sedangkan bagi korporasi /Badan hukum paling tinggi dendanya Rp. 7 M (Pasal 80 : 4a) paling rendah dendanya Rp. 1 jt.

Ketiga :
Pada umumnya kita bisa menemukan bentuk / klasifikasi dari Tindak pidana ini :
T.P.N ditentukan sendiri oleh pembuat UU, dilihat dalam pasal 78 – 89 dan ditambah pasal 99.
TPN yang ada kaitan/hubungan dengan masalah narkotika ditemukan dalam pasal 92 dan 93.
-       Pasal 92 : mereka – mereka yang tanpa hak dan melawan hukum yang tidak melaksanakan ketentuan tentang penyimpanan harus dalam pembungkusan yang khusus kalau barang tersebut dibawa didalam kapal yang harus disegel oleh nakhoda kapal dengan disaksikan oleh yang mengirim.
-       Pasal 93 : Barang itu dikirim melalui pesawat udara
T.P yang berhubungan proses peradilan itu ditemukan dalam pasal 94 – 98.
-       Pasal 94 : Pejabat PNS yang secara melawan hukum tidak melaksanakan penyegelan terhadap yang diduga atau mengandung narkotika dan tidak membuat berita acara yang resmi dan ataupun kewajiban – kewajiban lain yang harus dilakukannya maka PNS tersebut bisa dikenakan hukuman kurungan 6 bulan ataupun mereka – mereka yang sebagai penyidik dari POLRI.
-       Pasal 95 : Saksi yang tidak memberikan keterangan yang benar dimuka pengadilan pidananya pidana penjara maksimal 10 tahun dan denda maksimal Rp. 300 juta.
-       Pasal 96 : Tentang Residivis.
      pemidanaannya ditambah 1/3 dari pidana Pokok
-       Pasal 97 : Mereka – mereka yang melakukan tindak pidana diluar wilayah NKRI diberlakukan pula UU ini.
-       Pasal 98 :
Ayat 1 : WNA yang telah selesai menjalani pidana langsung diusir ke luar wilayah RI
      Ayat 2 : Mereka itu tadi tidak boleh lagi memasuki wilayah RI (dilarang)
      Ayat 3 : Mereka yang melakukan TPN diluar negeri dilarang memasuki wilayah RI
Bahwa didalam pemidanaan terutama yang disebutkan pasal 78 – 82 :
a.    Bisa disebut sebagai alasan pemberat dari pidana yang dikarenakan adanya permufakatan jahat sebelum melakukan TPN (Ayat 2) dan dilakukan secara terorganisasi (Ayat 3 )
b.    Pernyataan tentang pemidanaan yang dilakukan oleh korporasi yang dinyatakan sebagai pidana denda saja.

Bentuk perumusan dan bentuk pemidanaan yang bisa dijatuhkan
Sebagaimana telah dikatakan terdahulu bahwa TPN ini dalam hal – hal tertentu bisa ditemukan perumusan tanpa hak dan melawan hukum; antara lain pasal 78 – 82 :

1.    Pasal 78 :
ayat 1 :
Mereka yang tanpa hak dan melawan hukum :
a.        menanam, memelihara, mempunyai dalam persediaan, memiliki, menyimpan atau menguasai narkotika Golongan I (Bukan dalam bentuk tanaman)
b.        Memiliki, menyimpan untuk dimiliki atau untuk persediaan atau menguasai narkotika golongan I bukan tanaman maksimal pidana penjara 10 tahun dan denda maksimal Rp. 500 juta

Ayat 2 :
Apabila ayat 1 tadi didahului dengan permufakatan jahat dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 tahun dan paling lama 12 tahun dan denda paling sedikit Rp. 25 juta dan paling tinggi Rp. 750 juta
Ayat 3 :
Apabila Tindak pidana ayat 1 dilakukan secara terorganisir dipidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 15 tahun dan denda paling sedikit Rp. 100 juta dan paling banyak Rp. 2,5 M

Ayat 4 :
Apabila tindak pidana ayat 1 dilakukan oleh korporasi pidana denda paling banyak Rp. 5 M

2.    Pasal 79 :
a: Hanya memiliki dst narkotika golongan 2 pidana penjara paling lama 7 tahun dan denda paling banyak Rp. 250 juta
b : Yang memiliki dst narkotika golongan 3 pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp. 100 juta
a: Dilakukan dengan permufakatan jahat paling lama penjara 10 tahun dan denda paling banyak Rp. 400 juta
Ayat 2b :
Yang dilakukan dengan permufakatan jahat pidana penjara paling lama 7 tahun dan denda paling banyak Rp. 150 juta.
a : Secara terorganisir melakukan tindak pidana narkotika golongan 2 paling lama 12 tahun dan denda paling banyak Rp. 2M
b : Apabila golongan 3 dilakukan secara terorganisir penjara maks. 10 tahun dan denda maks. Rp. 400 jt

Ayat 4 :
Kalau dilakukan korporasi tentang narkotika golongan 2 paling banyak dendanya Rp. 3 M, kalau golongan 3 Rp. 1M

3.    Pasal 80 :
a : Mereka yang tanpak hak dan melawan hukum memproduksi, mengolah, mengekstraksi, mengkonversi, merakit atau menyediakan narkotika golongan 1 dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara maks. 20 tahun dan denda mak. Rp. 1M
b :  Memproduksi dst narkotika golongan 2 dipidana dengan penjara maks 15 tahun dan denda maks Rp. 500 juta
c :   Memproduksi narkotika golongan 3, dipidana penjara maks 7 tahun dan denda maks Rp. 200 juta.

Ayat 2 :
a : Apabila didahului dengan permufakatan jahat dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara min. 4 tahun dan maks. 20 tahun dan denda min. Rp. 200 jt dan maks. Rp. 2M
b : Apabila golongan 2 pidana penjara 18 tahun dan denda paling banyak Rp. 1M
c : Golongan 3 pidana penjara maks, 10 tahun dan denda maks. Rp. 400 jt.

Ayat 3 :
a : Apabila dilakukan secara terorganisir pidananya pidana mati atau penjara seumur hidup atau penjara min. 4 tahun dan maks. 20 tahun dan denda min. Rp. 500 jt dan maks. Rp. 5M
b : Apabila dilakukan secara terorganisir pidana penjara maks. 20 thn dan denda maks. Rp. 3M
c : Bagi golongan III secara terorganisir, pidana penjara maks. 15 tahun dan denda maks. Rp. 2M

Ayat 4 : dilakukan korporasi terhadap :
- golongan I denda maks. Rp. 7M
- golongan II denda maks. Rp. 4M
- golongan III denda maks. Rp. 3M

4.    Pasal 81 :
Ayat 1 : tanpa hak atau melawan hukum
a : Membawa, mengirim, mengangkut atau mentransitokan narkotika golongan I pidana penjara maks. 15 tahun, denda Rp. 750 jt
b : Membawa dst narkotika golongan II pidana penjara maks. 10 tahun dan denda maks Rp. 500 Jt.
c : Membawa dst, narkotika golongan III pidana penjara maks. 7 tahun dan denda maks Rp. 200 juta.

Ayat 2 : bila dengan didahului permufakatan jahat :
a :Tindak pidana gol. I Pidana penjara min. 2 tahun, maks. 12 tahun, denda min. Rp. 100 jt maks Rp. 2M
b :Tindak pidana gol. II Pidana penjara  maks. 12 tahun, denda maks Rp. 1M
c :Tindak pidana gol. III Pidana penjara  maks. 9 tahun, denda maks Rp. 500 jt

Ayat 3 : dilakukan secara terorganisir bagi :
a : Golongan I pidana mati/penjara seumur hidup atau pidana penjara min. 4 thn maks. 20 thn, denda min. Rp. 200 jt dan maks. Rp. 4M
b : Golongan II pidana penjara maks. 15 thn dan denda maks. Rp. 2M
c :  Golongan III pidana penjara maks. 10 thn dan denda maks. Rp. 1M

Ayat 4 : narkotika dilakukan korporasi :
a : Golongan I dikenakan denda maks. Rp. 5M
b : Golongan II dikenakan denda maks. Rp. 3M
c : Golongan III dikenakan denda maks. Rp. 2M

5.    Pasal 82 :
Ayat 1:
a : Mereka yang tanpa hak dan melawan hukum mengimpor, mengekspor, menawarkan untuk dijual, menyalurkan, menjual, membeli, menyerahkan, menerima menjadi perantara dalam jual beli atau menukar narkotika golongan I, pidananya pidana mati/seumur hidup maks. 20 tahun dan denda maks. Rp. 1M
b :   Mengimpor dst golongan II Pidana penjara maks. 15 tahun denda maks rp. 500 juta
c :   Golongan III pidana penjara maks 10 tahun dan denda maks Rp. 300 Juta

Ayat 2 :
a : Apabila didahului dengan permufakatan jahat maks dipidana dengan pidana mati/penjara seumur hidup atau pidana penjara minimal 4 tahun dan maks 20 tahun, denda min Rp. 200 jt maks Rp. 2M
b : Golongan II, penjara maks 18 tahun, denda maks Rp. 1M
c : Golongan III, penjara maks 12 tahun, denda maks Rp. 750 juta

Ayat 3 : secara terorganisir :
a : golongan I, pidana mati/seumur hidup maks. Penjara min. 5 th dan maks 20 tahun, denda min Rp. 500 Jt, maks Rp. 3M
b : Golongan II, pidana penjara maks 20 th, denda maks Rp. 4M
c : Golongan III, pidana penjara maks 15 th, denda maks Rp. 2M

Ayat 4 : Korporasi :
a : golongan I Pidana denda maks Rp. 7M
b : golongan II Pidana denda maks Rp. 4M
c : golongan III Pidana denda maks Rp. 3M

6.    Pasal 83 :
Percobaan atau permufakatan jahat pidananya adalah sama dengan pidana selesai.

7.    Pasal 84 :
a : Mereka yang menggunakan narkotika terhadap orang lain atau memberikan narkotika itu kepada orang lain pidana 15 th maks denda Rp. 750 juta
b : Golongan II, penjara maks 10 thn denda maks Rp. 500 jt
c : Golongan III, penjara maks 5 th, denda maks Rp. 250 juta

8.    Pasal 85 :
Tanpa hak dan melawan hukum menggunakan narkotika:
-       golongan I untuk diri sendiri pidana penjara maks. 4 thn
-       golongan II pidana penjara maks 2 thn
-       golongan III pidana penjara maks 1 thn

9.    Pasal 86 :
Tentang orangtua/wali pecandu yang belum cukup umur tidak melaporkan kepada yang berwajib maksimal 6 bulan denda maks Rp. 1jt
Ayat 2 :
Sedang mereka yang telah melaporkan tidak dituntut pidana

10.  Pasal 87 :
Mereka yang memberi, menjanjikan sesuatu, memberikan kesempatan, menganjurkan, memberikan kemudahan, memaksa dengan ancaman, memaksa dengan kekerasan, melakukan dengan tipu muslihat atau membujuk atau yang belum cukup umur untuk melakukan TPN dipidana penjara seumur hidup atau min. 5 thn dan maks 20 thn, denda min Rp. 20 jt dan maks. Rp. 600 jt.

11.  Pasal 89 :
Mereka yang merupakan pengurus pabrik obat tidak melaksanakan seperti yang disebutkan dalam pemberian label dan publikasi, pidana penjara 7 thn dan denda maks Rp. 200 jt.

12.  Pasal 99 :
Mereka yang baik pimpinan rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, sarana penyimpanan persediaan farmasi milik pemerintah, apotik dan dokter yang mengedarkan narkotika gologan 2, 3 bukan untuk kepentingan pelayanan kesehatan begitupun pimpinan lembaga ilmu pengetahuan yang menanam, memberi, menyimpan atau menguasai tanaman narkotika bukan untuk kepentingan ilmu pengetahuan atau pimpinan pabrik yang memproduksi golongan I, bukan untuk kepentingan ilmu pengetahuan atau pimpinan pedagang besar farmasi yang mengedarkan narkotika golongan bukan untuk kepentingan ilmu pengetahuan, narkotika golongan 2,3 untuk kepentingan pelayanan kesehatan dipidana penjara maks 10 thn, denda maks Rp. 200 jt.

13.  Pasal 100 :
Apabila putusan pidana denda sebagaimana diatur dalam UU ini tidak dapat dibayar oleh pelaku dojatuhkan pidana kurungan pengganti denda sebagaimana diatur dalam peraturan per UU an lain.

TINDAK PIDANA LALU LINTAS JALAN
WEGVERKEER ORDONANTIE

Sebagaimana telah diketahui bahwa adanya kodifikasi hukum pidana belum tentu akan terpenuhi sifat dari kodifikasi tersebut yaitu tuntas dan sudah mencerminkan tindak pidana yang ada dalam masyarakat hal itu terlihat pada KUHP Belanda yang pada abag ke 20 tampak tidak bisa lagi mencerminkan tindak pidana yang ada dalam masyarakat tidak bisa ditemukan didalam KUHP Belanda tersebut. Antara lain mengenai pengaturan dibidang lalu lintas maka dalam tahun 1932 di Belanda dibuat suatu UU pidana yang mengatur masalah lalu lintas yang nama UU itu adalah WEGVERKEER ORDONANTIE (1932) maka untuk Indonesia dalam tahun 1933 yang terlihat dalam Stb. 1933 no. 86 tertanggal 02 februari 1933 dengan nama yang sama dibuat pula peraturan dibidang lalu lintas dengan nama yang sama yaitu WEGVERKEER ORDONANTIE yang dalam hal ini peraturan pelaksanaannya mulai dibuat 1936 baik dengan nama peraturan :
v  Penetapan lalu lintas jalan yang ditemukan dalam stb. No. 452/1936 tertanggal 15 agustus 1936
v  Penetapan lalu lintas jalan perhubungan berdasarkan SK direktur perhubungan dan pengairan tertanggal 20 September 1936
v  Penetapan lalu lintas jalan dalam negeri berdasarkan SK direktur pemerintahan dalam negeri tertanggal 08 Oktober 1936

Setelah indonesia merdeka wegverkeer ordonantie tetap tidak diganggu gugat (masih tetap berlaku) namun karena perkembangan zaman wegverkeer ord. Sudah tidak sesuai lagi dibuat oleh pemerintah RI UU yang baru dengan nama UU tentang lalu lintas dan angkutan jalan raya yaitu UU No. 3 tahun 1965 yang dapat terlihat dalam lembaran negara No. 25 dan tambahan lembaran negara No. 2742 dan dalam hal ini pada tahun 1992 UU No. 3 tahun 1965 diganti dengan UU tentang lalu lintas angkutan jalan yaitu UU no. 14 tahun 1992 yang dinyatakan akan berlaku tanggal 17 September 1992.
Dalam memberlakukan UU ini banyak ditemukan pendapat para ahli / pendapat anggota masyarakat (orang awam) maupun pendapat pengusaha angkutan yang menentang pemberlakuan UU No. 14 tahun 1992 itu.
Alasan mereka – mereka yang menyanggah (orang awam, mahasiswa, pengusaha, ilmuan) adalah :
1.    Masalah UU itu belum dikenal oleh masyarakat awam
2.    Kalau diperlakukan UU itu maka akan menimbulkan kerawanan dalam bidang transportasi pada masyarakat
3.    Masalah sanksi yang ada dalam UU tersebut kalau sebelumnya sanksi UU kalau dilanggar hanya puluhan ribu saja bahkan ribuan saja.

Kemudian mengenai sanksi ini ada upaya yang dilakukan oleh pemerintah yaitu setelah keluarnya Perpu No. 1 tahun 1992 tentang penangguhan mulai berlakunya UU No. 14 tahun 1992 yang Perpu itu dapat ditemukan pada kebakaran negara no. 75 dan dalam tambahan lembaran negara No. 3486, dalam hal ini sanksi yang berat tersebut pengaturannya disesuaikan dengan kondisi dari daerah masing – masing yang dalam hal ini untuk daerah sumbar telah ditetapkan jumlah yang harus dibayar oleh pelanggar UU lalu lintas jalan tadi. Menurut ketua pengadilan tinggi Sumbar uang denda karena melanggar itu adalah berkisar antara Rp. 5000 – Rp. 30.000 dan tergantung kepada jenis pelanggaran dan kenderaan yang melakukan pelanggaran tersebut, kemudian berdasarkan SKB itu yaitu untuk menghindari pungli di jalan raya maka jumlah uang denda itu bisa dibayarkan ke BRI dalam bentuk uang titipan.

Juklak dari UU No. 14 tahun 1992 adalah sbb :
Peraturan pemerintah No. 41 tahun 1993 tentang angkutan jalan yang dapat dilihat pada lembaran negara No. 59 dan tambahanlembaran negara no. 3527
PP no. 42 tahun 1993 tentang pemeriksaan kenderaan bermotor dijalan. Lembaran negara no. 60 tambahan lembaran negara no. 3528
PP no. 43 tahun 1993 tentang prasarana dan lalu lintas jalan ditemukan dalam lembaran negara no. 63 tambahan lembaran negara no. 3529
PP no. 44 tahun 1993 tentang kenderaan dan pengemudi lembaran negara no. 64 tambahan lembaran no. 3530.

Dalam hal ini pengertian terhadap masalah traffic accident/peristiwa lalu lintas jalan menurut M KARYADI dalam bukunya mengurus kejahatan lalu lintas menyebutkan bahwa traffic accident itu ada 3 bentuk :
Kejahatan lalu lintas
Pelanggaran lalu lintas
Kecelakaan lalu lintas

Menurut M. KARYADI kejahatan lalu lintas itu bisa ditemukan dalam pasal 359, 360, 406, 408, 409 dan 410 KUHP.

Sedangkan pelanggaran lalu lintas bisa ditemukan pada pasal 510, 511, 492 KUHP

Sedangkan pelanggaran lalu lintas sendiri itu adalah menurut orang awam melanggar ketentuan – ketentuan lalu lintas jalan sedangkan kecelakaan lalu lintas itu adalah peristiwa dijalan raya yang berada diluar kemampuan manusia, sedangkan pengertian kejahatan lalu lintas adalah apabila suatu kejadian dijalan raya yang disengaja ataupun karena kelalaian manusia.

Mengenai penyidikan dan penuntutan dan persidangan tindak pidana lalu lintas tidak ditemukan didalam UU No. 14 akan tetapi ditemukan dalam KUHAP yaitu dalam Bab ke 16 dengan judul pemeriksaan disidang pengadilan pada bahagian ke 6 dengan judul acara pemeriksaan singkat pada paragraf 2 dengan judul acara pemeriksaan perkara pelanggaran lalu lintas jalan yang dalam pasal – pasal dari paragraf 2 bagian ke 6 dan bab 16 itu terlihat penuntutan pembuktian terhadap pelanggaran lalu lintas jalan sedangkan ketentuan pidana memang ditemukan dalam UU No. 14 yaitu dari pasal 54 – 70 yang bentuk sanksinya bisa berupa pidana baik dalam pidana penjara kurungan ataupun pidana denda.

Dalam bentuk pencabutan hak – hak tertentu yang ditemukan dalam pasal 70 yaitu pencabutan SIM paling lama selama 2 tahun sedangkan bentuk ketentuan pidananya hanya 1 yang bersifat kumulasi yaitu ditemukan dalam pasal 55 karena mengenai masalah memasukkan beberapa merek kenderaan bermotor ataupun jenis kenderaan bermotor yang tidak sesuai penuntutannya di indonesia yaitu pidana kurungan paling lama 1 tahun dan denda setinggi – tingginya Rp. 12 juta sedangkan yang lainnya semuanya bersifat alternatif dan pasal 68 semua hal yang dilarang menurut pasal – pasal sebelumnya itu adalah klasifikasinya adalah pelanggaran.

Sedangkan pasal 69 adalah mengenai mereka yang residiv/residivis dalam hal ini mereka melakukan pelanggaran yang sama dengan pelanggaran yang pertama belum lewat jika waktu 1 tahun maka pelanggaran itu bisa ditambah pidana kurungannya 1/3 dari pidana pokok atau kalau denda ½ nya.