Friday, April 29, 2016

Kasus tidak di indahkan

Assalamualaikum wr. wb. Apakah boleh kita mengajukan permohonan praperadilan ke pengadilan terkait kasus yang kita laporkan ke pihak kepolisian namun tidak diproses secara hukum selama satu tahun, dan tanpa memberikan keterangan apapun terhadap korban? Terima kasih.

Jawaban:

http://images.hukumonline.com/frontend/lt4e644ca4a4aac/lt4fa796652f545.jpg
Primayvira Ribka, S.H.
Salam sejahtera.

Pengertian praperadilan berdasarkan ketentuan Pasal 1 butir 10 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) adalah sebagai berikut:

“Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur undang-undang ini, tentang:

a.    sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;

b.    sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;

c.    permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.”


Sehingga apabila Saudara mengajukan permohonan praperadilan dengan dasar “kasus tidak diproses selama 1 (satu) tahun”, maka dapat kami sampaikan bahwa alasan tersebut tidak termasuk dalam ruang lingkup praperadilan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 1 butir 10 KUHAP. Lebih lanjut tentang praperadilan diuraikan dalam KUHAP Bab X Bagian Kesatu tentang Praperadilan, Pasal 77 - Pasal 83 KUHAP.


Namun bilamana diperkenankan, kami akan memberikan saran hukum kepada Saudara untuk menghadapi permasalahan hukum terkait tidak diprosesnya laporan ke pihak kepolisian, sebagai berikut:

1.    Pertama, pastikan Saudara sebagai Pelapor mengetahui nomor Laporan Polisi yang Saudara buat pada saat itu.

Dahulu berdasarkan ketentuan Pasal 9 ayat (1) Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2009 tentang Pengawasan Dan Pengendalian Penanganan Perkara Pidana di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia (“Perkap No. 12 Tahun 2009”) mengatur bahwa setiap pelapor/pengadu wajib menerima “Surat Tanda Terima Laporan (STTL)”, namun saat ini Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana (“Perkap No. 14 Tahun 2012”) tidak lagi mengatur demikian.

Sehingga Saudara harus memastikan terlebih dahulu bahwa laporan yang Saudara sampaikan kepada Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) telah teregistrasi dengan adanya nomor laporan polisi.

Selain itu perlu kami informasikan terkait dengan mekanisme penyampaian laporan pada pihak kepolisian dan proses penyidikan terhadap laporan tersebut berdasarkan Pasal 14 Perkap No. 14 Tahun 2012, sebagai berikut:

1.    Bahwa penyidikan terhadap suatu tindak pidana dilaksanakan berdasarkan Laporan Polisi dan surat perintah penyidikan (ayat 1),
2.    Setelah Laporan Polisi dibuat, maka terhadap Pelapor akan dilakukan pemeriksaan yang dituangkan dalam “Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Saksi Pelapor” (ayat 3).

Selain daripada itu, sebagai Pelapor kami sarankan untuk mengetahui benar nama Penyidik pada instansi kepolisian terkait yang ditugaskan untuk menyidik perkara Saudara. Sebab tidak semua anggota polisi pada instansi kepolisian terkait menangani perkara Saudara.

2.    Bahwa apabila Saudara tidak juga memperoleh informasi terkait proses penyidikan terhadap laporan polisi yang telah dibuat, maka Saudara sebagai Pelapor dapat mengajukan permohonan agar dapat diberikan Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP).

Mengenai hal perolehan SP2HP, berikut akan kami sampaikan dasar hukum terkait, antara lain:

a.    Pasal 12 huruf c Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelayanan Informasi Publik di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang menyebutkan bahwa SP2HP merupakan informasi publik yang merupakan hak dari pihak pelapor.

b.    Pasal 11 ayat (1) huruf a Peraturan Kapolri Nomor 21 Tahun 2011 tentang Sistem Informasi Penyidikan (“Perkap No. 21 Tahun 2011”),yang menyebutkan bahwa informasi penyidikan diberikan dalam bentuk SP2HP kepada pelapor/pengadu atau keluarga.

Bahwa mengenai penyampaian SP2HP kepada pelapor/pengadu atau keluarga tidak diatur waktu perolehannya. Dahulu dalam ketentuan Pasal 39 ayat (1) Perkap No. 12 Tahun 2009 (yang saat ini sudah dicabut dan diganti dengan berlakunya Perkap No. 14 Tahun 2012) disebutkan setiap bulan paling sedikit 1 (satu) penyidik secara berkala wajib memberikan SP2HP kepada pihak pelapor baik diminta maupun tidak diminta, namun dalam Perkap No. 14 Tahun 2012 tidak lagi diatur mengenai waktu perolehannya.

Oleh karena itu untuk mengetahui perkembangan proses penyidikan yang sedang berlangsung, pihak pelapor dapat mengajukan permohonan untuk dapat diberikan SP2HP kepada pihak kepolisian terkait, sebagaimana telah diatur dalam ketentuan Pasal 11 ayat (1) huruf a Perkap No. 21 Tahun 2011 juncto Pasal 12 huruf c Perkap No. 16 tahun 2010.

c.    Pasal 11 ayat (2) Perkap No. 21 Tahun 2011 menyebutkan bahwa dalam SP2HP sekurang-kurangnya memuat pokok perkara, tindakan yang telah dilaksanakan penyidik dan hasilnya, dan permasalahan/kendala yang dihadapi dalam penyidikan.

Apabila kemudian terhadap laporan polisi yang telah Saudara buat diketahui telah dilakukan penghentian penyidikan yang telah diinformasikan Penyidik terkait kepada Saudara melalui SP2HP, bilamana terdapat alasan keberatan terhadap penghentian penyidikan tersebut maka Saudara dapat mengajukan permohonan praperadilan kepada ketua pengadilan negeri setempat sebagaimana telah diatur dalam ketentuan Pasal 80 KUHAP yang selengkapnya berbunyi demikian:


“Permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya.”


Sebelum terdapat penghentian penyidikan yang diinformasikan oleh Penyidik dalam bentuk SP2HP kepada Saudara sebagai Pelapor, maka selama itu Saudara tidak dapat mengajukan permohonan praperadilan dengan menggunakan alasan “laporan ke pihak kepolisian tidak diproses secara hukum selama satu tahun, dan tanpa memberikan keterangan apapun terhadap korban”, dengan kata lain permohonan praperadilan dapat Saudara ajukan ketika dihentikannya proses penyidikan sebagaimana telah kami jelaskan.

Demikian kiranya dapat membantu permasalahan hukum yang Saudara sedang hadapi.

Wednesday, April 27, 2016

STIH NIAS SELATAN

https://plus.google.com/photos/117306362023121232035/albums/6278306159624960401

Contoh Surat Laporan Pengaduan ke Polisi

Contoh Surat Laporan Pengaduan ke Polisi

Kepada Yth,
Bapak Kapolsek Jakarta
di -
Jakarta

Hal        : Laporan Penipuan (bisa diganti, sesuaikan dengan perkara Anda)
Lamp     : -

Dengan hormat,
Saya yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama             : MBAMBANG
Jenis kelamin  : Laki-laki
No. KTP        : 123456789101112
Alamat           : Jl. Menclamencele Jakarta Pusat
No. Telp        : (021) 987654321321

Dengan ini melaporkan seseorang yang namanya saya sebutkan dibawah ini :

Nama            : PAIJONENG
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat          : Jl. Blusuk No. 33 Jakarta
No. Telp        : (021) 5656474785

Saudari PAIJONENG telah melakukan tindak penipuan kepada saya berupa peminjaman uang sebesar Rp 10.000.0000 (Sepuluh Juta Rupiah) apabila setelah 5 (lima) bulan peminjaman uang tersebut akan dikembalikan, dan sampai saat ini atau 8 (delapan) bulan setelah dipinjam uang tersebut belum juga dikembalikan hingga surat ini dibuat.

Sebagai bahan bukti, berikut saya lampirkan foto copy surat perjanjian hutang-piutang yang dibuat dan ditanda tangani oleh kami berdua.

........ :: Lampirkan foto copy surat perjanjian Anda :: ........

Demikian laporan pengaduan penipuan ini saya buat. Saya berharap Bapak Kapolsek Jakarta bersedia untuk membantu menyelesaikan perkara penipuan ini. Atas perhatiannya saya sampaikan terimakasih.

Jakarta, 17 Agustus 2014
Hormat saya,

MBAMBANG
Pelapor

Laporan ke PROPAM


Maka, bagi anggota Polri yang melakukan tindak pidana penganiayaan dapat dilaporkan ke Sentra Pelayanan Kepolisian (SPK) pada kantor polisi terdekat sehingga dapat diproses menurut hukum acara yang berlaku di lingkungan peradilan umum.

b.      Pelanggaran Kode Etik Profesi Polri sesuai dengan Peraturan Kapolri Nomor 7 Tahun 2006 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dalam Pasal 7 Kode Etik Profesi Polri disebutkan etika pengabdian Polri antara lain:

Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia senantiasa menghindarkan diri dari perbuatan tercela yang dapat merusak kehormatan profesi dan organisasinya, dengan tidak melakukan tindakan-tindakan berupa :

a.      Bertutur kata kasar dan bernada kemarahan;

b.      Menyalahi dan atau menyimpang dari prosedur tugas;

c.      Bersikap mencari-cari kesalahan masyarakat;

Surat Laporan

Contoh membuat surat laporan pengaduan ke Polisi

Tuban, 11 Maret 2014
Kepada Yth,
Bpk. KAPOLRES Tuban
dii - Tuban
Dengan hormat,
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama       : Dwi Chahyono
Umur        : 21 Tahun,
Pekerjaan : Mahasiswa,
Alamat      : Jl. Jendral Sudirman No.22 Tuban
Dalam hal ini diwakili oleh kuasanya Yoga Pratama, SH., MH. dan Muchtar Ali, SH., MH., Advokat / Pengacara berkantor di Jl. Gajadhmada No. 23 Tuban, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 21 Pebruari 2014. Untuk selanjutnya disebut sebagai Pelapor.
Bersama ini melaporkan atau mengadukan perbuatan pelanggaran kode etik, yang dilakukan oleh :
Nama              : Djohan Andika, S.H.
Umur               : 34 tahun
Pekerjaan        : Anggota Polisi Resor Tuban
Alamat             :  Jl. dr. Sucipto No. 44 Tuban
Untuk selanjutnya disebut sebagai Terlapor.
Adapun kronologi kejadiannya sebagai berikut :
1. Bahwa pada hari Selasa, tanggal 4 Pebruari 2012, jam 09.00 WIB, Terlapor dengan menggunakan seragam Kepolisian lengkap memberhentikan sebuah mobil Honda Civic, berwarna hitam dan bernomor Polisi S 2100 SK di depan gedung olahraga Tuban.

2. Selanjtunya, pemilik mobil Honda Civic tersebut, yaitu Pelapor, keluar dari mobilnya. Kemudian, terjadi pembicaraan antara Terlapor dengan Pelapor. Terlapor mengatakan alasan diberhentikannya mobil Honda Civic tersebut dikarenakan Pihak Kepolisian Resor Tuban sedang mengadakan operasi untuk pengguna jalan raya, baik untuk pengguna mobil maupun motor.
3. Bahwa Terlapor menemukan 0.5 gram he**in di dalam mobil Pelapor, kemduian langsung membawa Pelapor ke Kantor Polisi Resor Tuban.
4. Bahwa di Kantor Polisi Resor Tuban  Pelapor diinterogasi. Karena Pelapor tidak mengakui kepemilikan 0.5 gram he**in tersebut, Terlapor kemudian memukuli Pelapor.

Monday, April 25, 2016

Pengertian dan Perbedaan Hukum Pidana dan Hukum Perdata

Pengertian dan Perbedaan Hukum Pidana dan Hukum Perdata

Bagi orang awam, istilah hukum pidana dan hukum perdata tidak dapat dibedakan.
Oleh karena itu, pada kesempatan ini yang pertama kali harus kita bahas adalah pengertian hukum pidana dan pengertian hukum perdata.

Perhatikan pengertian hukum pidana dan hukum perdata di bawah ini:
Hukum pidana (material) atau (ius poenale/strafrecht/ criminal law) adalah keseluruhan peraturan atau norma hukum yang mengatur perbuatan-perbuatan yang dapat dipidana karena melanggar peraturan pidana. Dengan kata lain adalah keseluruhan peraturan atau norma hukum yang berisi perintah dan larangan, dan barang siapa yang melanggarnya dapat dijatuhi sanksi pidana.

Hukum perdata (privaatrecht/burgerlijk recht/private law), adalah keseluruhan peraturan atau norma hukum yang mengatur hubungan hukum antara perseorangan dan atau badan yang mengutamakan kepentingan pribadi dan individu. Dengan kata lain, hukum perdata adalah keseluruhan peraturan hukum yang mengatur hubungan antara kepetingan perseorangan  yang satu dengan kepentingan perseorangan yang lain.

Dari pengertian di atas, kita dapat menarik kesimpulan bahwa hukum pidana mengatur kepentingan publik sedangkan hukum perdata mengatur kepentingan privat atau perorangan. Selain dari segi pengertian dan ruang lingkupnya, hukum pidana dan hukum perdata memiliki banyak perbedaan lainnya.

Untuk mengetahui perbedaan hukum pidana dengan hukum perdata secara jelas, maka berikut ini adalah penjelasan dari beberapa perbedaan antara hukum pidana dan hukum perdata:

1.    Perbedaan hukum pidana dan hukum perdata dari segi kepentingan yang dilindungi

Dari segi kepentingan yang dilindungi, hukum pidana melindungi kepentingan umum dan kepentingan hukum. Sedangkan hukum perdata melindungi kepentingan perseorangan. Di dalam hukum pidana, Kepentingan umum mengkhendaki agar pihak yang bersalah dihukum, sedangkan kepentingan hukum mengkhendaki agar pihak yang tidak bersalah tidak dihukum. Tidak mengherankan, jika dalam hukum pidana dikenal pameo “ lebih baik membebaskan seratus orang yang bersalah dari pada menghukum satu orang yang tidak bersalah.

Di dalam hukum perdata, kepentingan yang diwakili adalah kepentingan perseorangan . kepentingan perseorangan di sini membutuhkan kepastian hukum yang menuntut perlindungan hukum.

2.    Perbedaan hukum pidana dan hukum perdata dari segi inisiatif penuntutannya ke pengadilan

Di dalam perkara pidana, pihak yang memiliki inisiatif untuk melakukan penuntutan  adalah jaksa selaku penuntut umum. Jaksa tidak mewakili instansi atau kepentinganpribadinya, melainkan mewakili kepentingan umum/publik.

Di dalam perkara perdata, inisiatif untuk mengajukan perkara perdata terletak pada pihak yang merasa dirugikan, dalam hal ini adalah pihak penggugat.

3.    Perbedaan hukum pidana dan hukum perdata dari segi terus atau tidaknya pemeriksaan perkara.

Di dalam perkara pidana, apabila suatu perkara telah diajukan jaksa ke pengadilan, maka kasus itu akan diteruskan hingga ada putusan pengadilan. Perkara tidak dapat dihentikan jika jika jaksa atau terdawa menginginkan perkara tersebut dihentikan. Hal ini karena perkara pidana adalah perkara yang menyangkut kepentingan publik, bukan kepentingan jaksa atau terdakwa.

Di dalam perkara perdata, para pihak yang berperkara dalam hal ini penggugat maupun tergugat bisa saja menghentikan perkara dan tidak perlu adanya pemeriksaan lanjutan oleh hakim jika kedua belah pihak sepakat untuk berdamai atau penggugat mencabut gugatannya. Jadi, meskipun telah diperiksa oleh hakim, perkara perdata bisa dihentikan. Hal ini karena perkara perdata hanya melindungi kepentingan para pihak yang berperkara.

4.    Perbedaan hukum pidana dan hukum perdata dari segi aktif dan pasifnya hakim

Dalam perkara pidana, dikenal asas hakim aktif, artinya sekalipun penuntut tidak mengemukakan hal-hal tertentu ke pengadilan, namun kalau hakim menganggap sesuatu hal itu perlu diketahuinya, maka hakim bisa untuk mempertimbangkan hal-hal yang tidak dimajukan oleh jaksa sebagai penuntut umum tadi.

Dalam perkara perdata, dianut asas hakim pasif yang berarti bahwa luas perkara yang dipersengketakan yang diajukan kepada hakim untuk diperiksa, pada asasnya ditetapkan sendiri oleh para pidak yang berperkara, dan bukan oleh hakim. Oleh karena itu, dalam perkara perdata hakim tidak bisa menjatuhkan putusan kepada sesuatu yang tidak ada dalam tuntutan. Hakim juga dilarang untuk mengabulkan lebih dari pada yang dituntut oleh penggugat.

5.    Perbedaan hukum pidana dan hukum perdata dari segi keyakinan hakim

Dalam perkara pidana, meskipun terdakwa telah mengakui sesuatu hal, hakim tidak dapat begitu saja menerima pengakuan tersebut jika hakim tidak yakin dengan hal tersebut. Keyakinan hakim bersifat esensial dalam perkara pidana.

Dalam perkara perdata, jika tergugat mengakui apa yang dituntut oleh penggugat, maka hakim wajib menerima pengakuan tersebut sebagai sesuatu yang “benar” ( secara formal ) meskipun ia tidak yakin pada apa yang diakui tergugat. Jadi, hakim tidak boleh lagi mempersoalkan lebih jauh apa yang diakui oleh tergugat tadi.

6.    Perbedaan hukum pidana dan hukum perdata dari segi kebenaran yang ingin dicapai

Dalam hukum pidana, kebenaran yang dicari adalah kebenaran materiil, yaitu kebenaran yang sesungguhnya meskipun tidak ternyata di pengadilan. Sedangkan dalam hukum perdata kebenaran yang ingin dicapai adalah kebenaran formal, yaitu kebenaran yang secara formal ternyata dipengadilan , melalui alat-alat bukti yang sah.

7.    Perbedaan hukum pidana dan hukum perdata dalam dari segi penetapan fakta dan penemuan hukum

Dalam hukum acara pidana terdapat suatu kaita antara penetapan faktanya dengan penemuan hukumnya. Berbeda dengan hukum acara perdata di mana di dalam konsideransnya jelas dipisahkan antara peristiwanya dengan hukumnya.

Dalam hukum acara pidana, di dalam konsideransnya tidak dipisahkan secara tajam antara peristiwanya dengan hukumnya. Dengan kata lain terdapat suatu kaitan antara penetapan fakta dan penemuan hukumnya. Yang berkaitan terutama dalam hal ini adalah yang berhubungan dengan faktor-faktor atau unsur-unsur yang menentukan hukumannya.

8.    Perbedaan hukum pidana dan perdata dari segi ukuran sanksinya

Dalam hukum acara pidana, ukuran tentang hukuman tidak menggunakan ketentuan pembuktian yang umum. Contohnya: jika terdakwa bersikap baik dan sopan dalam persidangan. Ini jelas tidak menggunakan pembuktian lebih lanjut. Dalam hukum acara perdata, semua hukuman harus didasarkan pada fakta dengan melalui alat-alat bukti yang sah. Selain itu, sanksi pada  hukum pidana adalah sanksi pidana sedangkan sanksi pada perkara perdata adalah sanksi perdata.

9.    Perbedaan hukum pidana dan perdata dari segi keterikatan hakim pada alat bukti

Di dalam hukum perdata, hakim semata-mata terikat pada alat-alat bukti yang sah atau biasa dikenal dengan istilah “preponderance of evidence” yang secara harfiah dapat diterjemahkan sebagai pengaruh yang lebih besar dari alat bukti, atau keterikatan hakim sepenuhnya pada alat bukti.

Di dalam hukum pidana, alat bukti yang sah baru mengikat jika hakim memiliki keyakinan akan kebenaran alat bukti tersebut. Sebagaimana telah disebbutkan di atas, keyakinan hakim adalah hal yang paling esensial dalam hukum pidana yang dikenal dengan istilah “ beyond reasonable doubt” atau alasan yang tidak dapat diragukan lagi. Jadi, hakim harus benar-benar yakin akan kesalahan terdakwa.

10.    Perbedaan hukum pidana dan hukum perdata dari tuntutan primer dan subsidernya

Baik dalam hukum acara pidana maupun hukum acara perdata, terdapat tuntutan hak yang primer dan subsider.

Tuntutan subsider dalam hukum acara perdata ada dua kemungkinan, yaitu :
a.    Kemungkinan pertama adalah tuntutannya tertentu
b.    Kemungkinan kedua adalah hanya menyatakan mohon putusan seadil-adilnya

Perjanjian sewa-menyewa memiliki batas waktu, sehingga jika penggugat menggugat dengan gugatan subsider, maka:
a.   Gugatan primernya: agar tergugat diusir untuk mengosongkan rumah
b.   Gugatan subsidernya : penggugat bersedia memberikan uang pesangon atau penggugat bersedia memberi tambahan batas waktu

Dalam hukum pidana, sebagai contoh:
a.    Tuntutan primer : pembunuhan berencana ( Pasal 340 KUHP )
b.    Tuntutan subsider : pembunuhan biasa ( Pasal 338 KUHP )

11.    Perbedaan hukum pidana dan perdata dari segi pemeriksaan pendahuluan persidangan

Hukum acara pidana mengenal adanya dua tahap pemeriksaan yaitu :
a.    Pemeriksaan pendahuluan sebelum perkara pidana diajukan ke pengadilan. Pemerikasaan pendahuluan dibedakan atas pemeriksaan di kepolisian dan pemeriksaan di kejaksaan
b.    Pemeriksaan di persidangan pengadilan

Sedangkan dalam hukum acara perdata, penggugat langsung memasukkan gugatannya ke pengadilan tanpa melalui polisi maupun jaksa. Dalam pemeriksaan pendahuluan pada perkara pidana, ada dua hal yang penting:
a.    Pengumpulan material pembuktian
b.    Pembuktian  yang berhubungan dengan sanksi-sanksi yang bersifat sementara.

Tuesday, April 19, 2016


Referensi Hukum
Berbagi Referensi Hukum, KUHP, KUHAP, Tipikor dll
Selasa, 26 Agustus 2014
Tahapan Penyelidikan/Penyidikan TP Korupsi supaya lebih Optimal
 

TAHAP PENYELIDIKAN DAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI SUPAYA LEBIH OPTIMAL

Penanganan masalah korupsi di Indonesia telah menimbulkan dilematik sosial karena akibat manajemen korupsi dalam birokrasi pemerintahan dan swasta menyebabkan korupsi itu telah membudaya; sedangkan pada sisi lain proses penegakan hukum dalam memberantas korupsi yang dilakukan oleh pemerintah amat lamban, dan kalaupun bisa sampai kepengadilan lebih banyak mengecewakan masyarakat.
Adalah menjadi tanggung jawab bersama untuk mencari pemecahan yang dapat dijadikan bahan pertimbangan guna mengatasi dilematik yang menimpa masyarakat dalam memberantas korupsi saat ini.

MODUS OPERANDI KORUPSI
Dari berbagai kasus yang ditanda tangani Kejaksaan dan instansi penegak hukum lainnya ditemukan bentuk-bentuk cara melakukan korupsi menggunakan modus :
1.     Pemalsuan dokumen, dilakukan dengan cara membuat surat palsu, dokumen palsu atau berita acara palsu, ini sering terjadi dalam pembangunan proyek pisik seperti gedung, jalan, lahan, reboisasi, pengerukan sungai dan berbagai pekerjaan yang memerlukan adanya berita acara pada saat pencairan dana proyek. Dalam dunia perbankan pun sering terjadi dengan membuat surat-surat palsu yang berkaitan dengan agunan kredit yang disebut dengan “mark up” dan juga yang berkaitan dengan proses pencairan dana dalam kegiatan perbankan.
2.     Pemalsuan kwitansi, ini biasanya terjadi pada tanda terima sejumlah uang yang diisikan berbeda dengan besar jumlah pisik dana yang sebenarnya.
3.     Menggelapkan uang/barang milik negara atau kekayaan negara; umumnya dilakukan oleh para Bendaharawan proyek dimana ia seharusnya menyimpan uang tersebut secara baik sesuai ketentuan yang ada, tetapi malah memakai uang tersebut untuk keperluan pribadi. 
4.      Penyogokan atau penyuapan biasanya terjadi antara seseorang memberikan hadiah kepada seorang pegawai negeri dengan maksud agar pegawai negeri itu berbuat atau mengalpakan sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya.

TAHAP-TAHAP PENYIDIKAN DAN TEHNIK PELAKSANAAN.
Penyidikan adalah suatu rangkaian tindakan dari penyidik untuk mencari dan mengumpulkan bukti  dan dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi dan menemukan tersangkanya.
Rangkaian tindakan penyidik dimaksud, pada hakekatnya bersifat pembatasan hak-hak asasi manusia yang oleh undang-undang diperkenankan dalam rangka penegakan hukum yaitu untuk memulihkan keseimbangan antara kepentingan individu dan kepentingan umum yang telah terganggu akibat terjadinya suatu tindak pidana.
Walaupun undang-undang memperkenankan pembatasan hak-hak asasi tersebut demi penegakan hukum, tetapi undang-undang hukum acara kita juga membatasi pelaksanaan penyidikan tersebut sedemikian rupa agar jangan sampai melanggar hak-hak asasi yang paling pokok dari setiap individu yaitu antara lain asas-asas :
1.    Praduga tak bersalah ( Presumton of innocence )
2.    Persamaan dimuka hukum ( Equality before the law )
3.    Hak mempeoleh bantuan hukum/penasihat hukum ( Legal aid/assistance ).
4.    Peradilan yang cepat, sederhana, murah serta bebas dan jujur.
5.    Penagkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan harus berdasar perintah tertulis oleh pejabat yang berwenang.
6.    Ganti rugi dan rehabilitasi.
7.    Non self-incrimination.
Pada waktu melakukan rangkaian tindakan tadi, penyidik wajib menghormati asas-asas tersebut.
Rangkaian tindakan untuk mencari dan memgumpulkan bukti tersebut terdiri dari beberapa tahap yaitu :
1.    Tahap penyelidikan.
2.    Tahap penindakan ( pemanggilan, penangkapan, penahanan, penggeledahan, -penyitaan ).
3.    Tahap pemeriksaan ( pemeriksaan tersangka dan saksi ).
Setelah ketiga tahap diatas dilaksanakan dan hasilnya telah dianggap cukup, maka dapat di tingkatkan ke tahap evaluasi dan tahap pemberkasan.
Sebelum diberkas, bila dianggap perlu, hasil penyidikan tersebut dapat dipaparkan terlebih dahulu dihadapan pimpinan dan jaksa-jaksa lain sambil didiskusikan apakah masih terdapat kekurangan-kekurangan yang perlu diperbaiki/ditambah.
Hampir keseluruhan ketentuan-ketentuan dalam KUHAP yang menyangkut penyidikan, berlaku juga dalam penyidikan tindak pidana khusus, sebab seperti dikemukakan dimuka, sesuai dengan bunyi pasal 284 ayat (2) KUHAP, pada dasarnya terhadap semua perkara, ketentuan-ketentuan dalam KUHAP diberlakukan.

TAHAP PENYELIDIKAN :
Menurut Buku Pedoman KUHP, penyelidikan diintrodusir dalam KUHP dengan motivasi perlindungan hak asasi manusia dan pembatasan yang ketat terhdap penggunaan upaya paksa, dimana upaya paksa baru digunakan sebagai tindakan yang terpaksa dilakukan, penyelidikan mendahului tindakan-tindakan lain yaitu untuk
menentukan apakah suatu peristiwa yang diduga tindak pidana dapat dilakukan penyidikan atau tidak. Dengan demikian, penggunaan upaya kepentingan umum yang lebih luas.
Pasal 1 butir 5 KUHAP memberikan definisi dari penyelidikan yaitu serangkaian tindakan penyelidikan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam KUHAP.
Dari definisi tersebut diatas jelaslah bahwa fungsi penyelidikan merupakan suatu kesatuan dengan fungsi penyidikan, penyelidikan hanya merupakan salah satu cara, salah satu tahap dari penyidikan, yaitu tahap yang seyogyanya dilakukan lebih dahulu sebelum melangkah kepada tahap-tahap penyidikan selanjutnya seperti penagkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan seksi dan sebagainya.
Kita harus membedakan penyelidikan menurut KUHAP dan penyelidikan sebagai kegiatan intelijen, sebab jenis penyelidikan yang berakhir ini belum menyentuh KUHAP.
Kejaksaan mengenal law intelligence atau intelijen hukum. Dalam pelajaran tentang intelijen, para siswa akan mengetahui peranan apa yang dapat diberikan oleh intelijen untuk mensukseskan suatu penyidikan (termasuk suksesnya penyelidikan KUHAP).
Fungsi penyelidikan, pengamanan dan penggalangan/pembinaan dari intelijen dapat memberikan manfaat yang besar bila dilakukan secara tepat dan dalam bentuk kordinasi yang baik pada waktu kita melakukan penyidikan / penyelidikan KUHAP.
Penyelidikan diatur dalam KUHAP dalam pasal-pasal 5, 9, 75, 102, 103, 104, 105 dan 111. oleh karena KUHAP menganut pokok pikiran bahwa yang berhak melakukan penyelidikan hanyalah pejabat POLRI, maka bunyi pasal-pasal tersebut harus dibaca dengan penyesuaian seperlunya agar dapat dipergunakan sebagai dasar oleh Jaksa Penyelidik terhadap tindak pidana khusus.
Pada penyidikan tindak pidana khusus, arti tahap penyelidikan ini justru sangat penting, tidak hanya untuk kebutuhan perlindungan hak-hak asasi seperti tersebut diatas, tetapi diharapkan bahwa pada tahap penyelidikan ini, Jaksa penyelidik harus berusaha menguasai “anatomi” kasus yang sedang dihadapi.
Dengan makin canggihnya tehnologi dan berkembangnya berbagai tatanan kehidupan social dan ekonomi, kehidupan ini kelihatan seperti hutan belantara yang tak seorangpun (termasuk Jaksa) mengetahui dengan tepat apa isi hutan belantara itu. Dalam kehidupan ekonomi misalnya, tatanannya penuh dengan  ketentuan-ketentuan perdagangan internasional, perbankan pelayaran atau angkutan lainya, industri dan lain-lain dengan administrasinya yang begitu rumit. Dan terjadinya suatu kasus dalam bidang ekonomi tidak akan terlepas dari masalah-masalah tersebut diatas.
Pada penyidikan tindak pidana korupsi, masalahnya adalah serupa. Tindak Pidana korupsi hampir tidak bisa dipisahkan dari administrasi pemerintah tersebut (termasuk perusahaan-perusahaan milik Negara) begitu luas dan rumit. Misalnya tindak pidana korupsi pada dana proyek padat karya. Pengungkapan tindak pidana ini tidak mungkin dilepaskan dari hal-hal yang menyangkut Struktur Organisasi DEPNAKER, kaitannya dengan PEMDA setempat, ketentuan-ketentuan tentang pengolahan keuangan negara/proyek dan lain sebagainya.
Dari seorang Jaksa Penyelidikan tidak dapat diharapkan bahwa setiap waktu dia “siap pakai’ karena sudah menguasai segala sesuatunya. Dibutuhkan waktu untuk dapat menguasainya dengan baik. Pada tahap penyelidikan kesempatan untuk itu dapat digunakan.
Berdasarkan penjelasan-penjelasan diatas, dapat disimpulkan, bahwa seorang Jaksa Penyelidik harus mempunyai kwalitas sebagai berikut :
1.    Menguasai dasar-dasar pengetahuan (secara umum) mengenai bidang kehidupan negara/ekonomi/social yang ada kaitannya dengan kasus yang terjadi,
2.    Berdasar pengatahuan tersebut, pada waktu mendapat perintah untuk melakukan penyelidikan, dia dengan cepat dapat menentukan dari siapa, atau dimana dia dapat memperoleh penjelasan lebih dalam/luas mengenai bidang tersebut.
3.    Mempersiapkan bahan-bahan yang diperoleh selama penyelidikan tersebut dalam bentuk yang lengkap dan teratur sehingga dengan mudah dan tepat dapat dipergunakan pada tahap penindakan.
Dengan penjelasan diatas, tidaklah berarti bahwa tiap penyidikan tindak pidana khusus harus selalu dimulai dengan kegiatan penyelidikan dan sesudah itu baru dilakukan kegiatan penindakannya. Ada kasus-kasus tertentu dimana pada saat itu juga perlu langsung dilakukan kegiatan penindakan (penangkapan, penahanan atau pemeriksaan). Tetapi walaupun demikian, secara bersamaan dapat di tugaskan jaksa yang lain untuk melakukan kegiatan penyelidikan untuk memperoleh masukan-masukan yang diperlukan.
Dibawah ini akan dijelaskan secara singkat kapan dan bagaimana penyelidikan itu dilakukan agar dapat mencapai hasil yang maksimal.
1.    Kapan penyelidikan dimulai.
Pertimbangan untuk mulai melakukan suatu penyelidikan pada dasarnya ditentukan oleh penilaian terhadap suatu infomasi atau data baru yang diperoleh oleh Seksi Penyelidikan.
Informasi atau data baru tersebut dapat diperoleh melalui :
a.    Sumber-sumber tertentu yang dapat dipercayai.
b.    Adanya laporan langsung ke Kejaksaan dari orang yang mengetahui terjadinya suatu tindak pidana khusus.
c.    Hasil Berita Acara yang dibuat oleh Jaksa Penyidik/Penyelidik.
Sumber-sumber informasi yang dapat dipergunakan sangat banyak sekali, mungkin sumber tersebut berupa orang, tilisan dalam media, instansi/perusahaan atau petugas Kejaksaan sendiri dan sebagainya.
Laporan langsung diterima dari orang yang mengetahui terjadinya suatu tindak pidana khusus dapat berupa laporan tertulis dan dapat juga berupa laporan lisan yang oleh jaksa yang menerima laporan tersebut dituangkan dalam bentuk Berita Acara Penerimaan Laporan. Dalam pemerikasaan seorang tersangka atau seorang saksi mungkin ditemukan suatu keterangan tentang adanya suatu tindak pidana khusus yang lain diluar dari tindak pidana yang sedang disidik/diperiksa.
Keterangan seperti itu dapat menjadi sumber untuk pertimbangan perlu tidaknya dilakukan suatu penyelidikan.
2.    Tujuan Penyelidikan.
Tujuan utama dari setiap penyelidikan adalah untuk mengumpulkan keterangan-keterangan/data-data yang dapat dipergunakan untuk :
a.    Menentukan apakah suatu peristiwa yang terjadi merupakan suatu tindak pidana khusus atau bukan.
b.    Siapa yang dapat dipertanggung jawabkan (secara pidana) terhadap tindak pidana tersebut.
c.    Persiapan pelaksanaan tahap penindakan.
Seperti telah dijelaskan terdahulu, pengetahuan yang mendalam dari Jaksa penyelidik tentang unsur-unsur suatu tindak pidana khusus dan tentang hukum acara yang berlaku mutlak diperlukan untuk dapat menentukan apakah telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. Bila Jaksa penyelidik kurang menguasainya, maka arah penyelidikan menjadi tidak tentu dan mungkin akan menghasilkan suatu kesimpulan yang keliru.
Hasil penyelidikan dapat dipergunakan untuk persiapan pelaksanaan terhadap penindakan, yaitu dalam arti bahwa setelah penyelidikan selesai, Jaksa penyelidik sudah mempunyai gambaran tentang calon tersangka yang perlu diperiksa dan/atau ditangkap dan/atau ditahan, saksi-saksi yang perlu dipanggil, tempat-tempat yang perlu digeledah, barang bukti yang perlu disita dan sebagainya.
3.    Sasaran Penyelidikan.
Melihat apa yang telah dijelaskan pada butir 1 dan 2 diatas, tentunya sasaran penyelidikan itu dapat berupa :
a.    Orang.
b.    Benda/barang/surat.
c.    Tempat/bangunan/alat angkut dsb.
4.    Cara Penyelidikan.
Penyelidikan dapat dilakukan secara :
a.    Terbuka.
b.    Tertutup.
Penyelidikan dengan cara terbuka dilakukan apabila keterangan-keterangan/data-data yang dibubuhkan agak mudah memperolehnya dan apabila dianggap cara tersebut tidak akan mengganggu / menghambat proses penyelidikan selanjutnya.
Perlu diperhatikan ketentuan dalam 104 KUHAP yang menentukan bahwa dalam melaksanakan tugas penyelidikan dengan cara terbuka tersebut, penyelidik wajib penunjukan tanda pengenal. Oleh karena sampai sekarang Jaksa penyelidik belum pernah dilengkapi dengan tanda pengenal sebagai penyelidik tersebut, maka tanda pengenal sebagai Jaksa dapat dipergunakan atau kalau dilengkapi dengan Surat Perintah Penyelidikan, maka surat Perintah tersebut yang ditunjukkan.
Dalam melakukan penyelidikan dengan cara tertutup, jaksa penyelidik harus dapat menghindarkan diri dari tindakan-tindakan yang bertentangan dengan ketentuan-ketentuan hukum. Selain itu harus menguasai teknik-teknik penyelidikan cara tertutup seperti wawancara, pengamatan, pengusutan, dan sebagainya.
Teknik-teknik seperti itu dikenal juga dalam dunia intelijen dan pelaksanaannya tidak banyak berbeda.
Baik dalam penyelidikan terbuka maupun dalam penyelidikan tertutup agar dapat dihindari tindakan-tindakan yang dapat menimbulkan tuntutan ganti rugi.
5.    Rencana Penyelidikan ( Renlid ).
Diatas telah dijelaskan tujuan dari penyelidikan adalah untuk mengetahuai apakah suatu tindak pidana khusus benar telah terjadi dan siapa pelakunya, hasil penyelidikan mana akan dipergunakan sebagai bahan persiapan untuk melakukan penindakan
Agar tujuan tersebut dapat dicapai dengan maksimal, sebaiknya sebelum melakukan kegiatan penyelidikan, terlebih dahulu disusun suatu Rencana Penyelidikan (Renlid). Semua kegiatan selanjutnya harus mempedomani rencana yang telah disusun tersebut agar terarah dan terkendali dengan baik.
Sampai sekarang belum ada petunjuk yang jelas tentang bentuk (form) dari Renlid dimaksud. Oleh karena itu sebagai pedoman dapat dipergunakan form Renlid yang dikenal pada kegiatan pul data Bidang Intelijen dengan penyesuaian seperlunya.
Renlid dimaksud hendaknya memuat :
1.    Sumber Infomasi yang perlu di hubungi (orang, instansi, badan, tempat dll).
2.    Informasi atau alat bukti apa yang dibutuhkan dari sumber tersebut (yang bermanfaat untuk pembuktian tindak pidana).
3.    Cara memperoleh informasi atau alat bukti tersebut (terbuka, tertutup, wawancara, interogasi, pemotretan dll).
4.    Petugas pelaksana.
5.    Batas waktu kegiatan.
Penentuan sumber informasi dan penentuan, tentang informasi apa yang dibutuhkan dari Sumber tersebut, didasarkan pada data-data/infomasi dasar yang telah diperoleh sebelumnya.
Sedang cara memperoleh informasi/alat bukti tergantung pada penilaian terhadap kondisi sumber, apakah mudah atau sukar didekati.
6.    Laporan hasil penyelidikan.
Setelah penyelidikan selesai dilakukan, jaksa penyelidik mengolah data-data yang telah terkumpul dan berdasarkan hasil pengolahan tersebut, disusun suatu Laporan Hasil Penyidikan.
Laporan tersebut memuat :
a.  Sumber data/keterangan.
b.    Data/keterangan apa yang diperoleh dari setiap sumber tersebut.
c.    Barang bukti.
d.    Analisa.
e.    Kesimpulan tentang benar tidaknya telah terjadi suatu tindak pidana khusus dan siapa pelakunya.
f.     Saran tentang tindakan-tindakan apa yang perlu dilakukan dalam tahap penyidikan selanjutnya.
7.    Pemaparan (ekspose) hasil penyelidikan.
Kadang-kadang dapat terjadi, suatu hasil penyelidikan yang sudah dianggap “matang” untuk ditingkatkan ke tahap penindakan dan pemeriksaan (tahap-tahap inti dari penyidikan atau penyidikan dalam arti sempit), kemudian pada akhir penyidikan ternyata bahwa tidak terdapat cukup alasan untuk melanjutkan ke tingkat penuntutan, sehingga terpaksa dilakukan penghentian penyidikan dengan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).
Pada kejadian seperti ini dapat ditarik kesimpulan bahwa hasil penyelidikan yang menjadi dasar dari penyidikan tersebut, sebenarnya belum matang. Padahal seperti kita ketahui, menurut pasal 77 KUHAP, penghentian penyidikan adalah salah satu obyek dari pra-peradilan.
Untuk sejauh mungkin menghindari adanya SP3 tersebut, pimpinan Kejaksaan menentukan kebijaksanaan agar pada setiap akhir tahap penyelidikan selalu dilakukan pra-pemaparan (pra-ekspose) agar terdapat gambaran yang jelas
tentang alat bukti yang mendukung rencana dakwaan ataukah masih perlu dilakukan pengembangan. Kebijaksanaan tersebut tertuang dalam surat Jam Pidsus kepala seluruh Kejati se Indonesia No.B-110/F/Fpy.2/2/1986 tanggal 19 Pebruari 1986.
Tata cara pelaksanaan pra-ekspose tersebut dapat mempedomani tata-cara pelaksanaan pemaparan (ekspose) hasil penyidikan yang akan dijelaskan pada Tahap Pemaparan yang akan dijelaskan kemudian.

TAHAP PENINDAKAN.
Tahap ini dilaksanakan setelah kita yakin bahwa telah terjadi suatu tindak pidana khusus dan untuk memperjelas segala sesuatu tentang tindak pidana tersebut dibutuhkan tindakan-tindakan tertentu yang berupa pembatasan dan “pelanggaran” hak-hak asasi seseorang yang bertanggung jawab terhadap terjadinya tindak pidana dimaksud.
Keyakinan tersebut diatas kita peroleh dari hasil penyelidikan sebelumnya. Menurut istilah hukumnya dari hasil penyelidikan yang telah dilakukan terdapat bukti permulaan yang cukup kuat bahwa tindak pidana khusus tertentu telah terjadi dan bahwa seseorang tertentu dapat dipersalahkan sebagai pelaku.
Dalam tahap penindakan ini, tindakan-tindakan hukum yang dapat diambil adalah :
a.    Pemanggilan ( tersangka dan saksi ).
b.    Penangkapan.
c.    Penahanan.
d.    Penggeledahan.
e.    Penyitaan.

TAHAP PEMERIKSAAN.
Pada tahap inilah dapat diperoleh alat-alat bukti yang paling pokok sebagaimana ditentukan oleh pasal 184 ayat (2) KUHAP. Bahkan sebenarnya, pada tahap inilah dapat diungkapkan :
a.    Tindak pidana apa sebenarnya yang telah terjadi.
b.    Bagaimana modus operandinya.
c.    Siapa-siapa yang tersangkut ( baik sebagai tersangka maupun saksi ) dan apa peranan masing-masing dalam tindak pidana tersebut.
d.    Apa arti atau peranan barang bukti yang telah disita dalam tindak pidana tersebut ( barang bukti antara lain baru mempunyai kekuatan sebagai alat bukti petunjuk melalui keterangan saksi dan keterangan tersangka ).
Semua keterangan tersebut akan menjadi jelas melalui keterangan orang-orang yang diperiksa, apakah sebagai saksi, sebagai ahli ataupun sebagai tersangka.
Para saksi dan ahli wajib menerangkan kejadian yang sebenarnya, oleh karena itu dari mereka bisa diharapkan keterangan yang jelas dan benar tentang tindak pidana tersebut.
Keterangan para saksi, ahli dan tersangka tersebut dituangkan dalam bentuk Berita Acara Pemeriksaan.
Berita Acara Pemeriksaan tersangka dengan saksi adalah catatan atau tulisan yang bersifat otentik, dibuat dalam bentuk tertentu oleh Jaksa Penyidik atas kekuatan sumpah jabatan, diberi tanggal dan ditanda tangani oleh Jaksa Penyidik dan orang yang diperiksa ( tersangka dan saksi ) yang isinya memuat uraian tentang / mencakup :
1.    Identitas pemeriksa dan orang yang diperiksa.
2.    Unsur-unsur tindak pidana yang dipersangkakan.
3.    Waktu, tempat dan keadaan pada waktu tindak pidana dilakukan.
4.    Catatan mengenai akta/surat dan/atau benda serta segala sesuatu yang dianggap perlu untuk kepentingan penyelesaian penyidikan.

TAHAP EVALUASI.
a.    E v a l u a s i.
Pada tahap evaluasi ini jaksa penyidik melakukan penilaian terhadap semua hasil yang telah dicapai pada tahap-tahap sebelumnya, untuk menjawab pertanyaan : apakh dia telah berhasil mengumpulkan alat bukti yang cukup intuk membuktikan bahwa tindak pidana khusus yang sedang disidik tersebut telah terjadi dan bahwa orang yang telah dieperiksa sebagai tersangka adalah pelakunya dan dapat dipersalahkan terhadap tindak pidana tersebut.
Evaluasi ini dapat dilakukan melalui 3 jenis tindakan :
1.       Inventarisasi :
Pada waktu melakukan inventarisasi ini, jaksa penyidik melakukan pencatatan tentang:
1.1. siapa-siapa yang telah diperiksa baik sebagai saksi, ahli maupun sebagai
                tersangka.
1.2.alat bukti surat apa yang telah berhasil disita.
1.3.Barang bukti apa yang telah berhasil disita.
2.    S e l e k s i :
1.1. Hasil inventarisasi  tadi diseleksi,dikelompokkan sesuai dengan nilai pembuktian masing-masing alat bukti yang telah berhasil dikumpulkan.
1.2. Alat bukti yang telah dikelompokkan tersebut kemudian dihubungkan dengan unsur-unsur tindakan pidana yang disangkakan.
3.            P e n g k a j i a n :
Hasil seleksi tadi kemudian dikaji  untuk dapat menyimpulkan apakah alat-alat bukti  tersebut sudah cukup kuat untuk membuktikan  bahwa tersangka telah memenuhi unsur-unsur yang disebutkan dalam pasal yang berisi perumusan  tindak pidana yang disangkakan.
Evaluasi tersebut diatas akan menghasilkan suatu gambaran menyeluruh tentang tindak pidana yang bersangkutan dan tentang alat-alat bukti yang mendukung, demikian juga dengan barang buktinya. Hasil evaluasi ini sangat bermanfaat untuk penyusunan resume.

b. RESUME.
Pimpinan pada umumnya tidak mempunyai cukup waktu untuk membaca semua berkas Berita Acara Pemeriksaan dan hanya membaca resume saja. Oleh karena itu penyusunan resume harus dilakukan sedemikian rupa sehingga dengan membaca resume, pimpinan mendapat gambaran yang bulat dari tindak pidana yang terjadi, yaitu yang mencakup hal-hal sebagai berikut :
1.    bahwa benar tindak pidana telah terjadi.
2.     Peranan masing-masing tersangka yang terlibat.
3.    Siapa-siapa saksinya ( baik yang menguntungkan maupun merugikan ).
4.     Alat bukti lain yang mendukung.
Apabila semua kegiatan penyidikan pada setiap tahap yang telah dijelaskan diatas sudah dilaksanakan dengan baik dan lengkap, maka sebenarnya, keseluruhan tugas penyidikan yang mencakup perencanaan, pelaksanaan dan penilaian telah selesai dilakukan.
Tahap pemaparan ( ekspose ) dan tahap pemberkasan berikutnya hanyalah bersifat pelengkap yaitu :
1.    Pada tahap pemaparan ( ekspose ), penilaian kita tadi diuji oleh rekan-rekan jaksa lain.
2.  Tahap pemberkasan hanya berupa pekerjaan administratip untuk menghimpun dokumen-dokumen penyidikan yang telah selesai dibuat.
Keterampilan seorang jaksa dalam penyidikan sangat ditentukan oleh kemampuannya melakukan tahap-tahap penyidikan yang telah dijelaskan dimuka. Tahap-tahap tersebut tidak mungkin dilaksanakan dengan baik tanpa penguasaan yang mendalam tentang hukum pidana, baik dalam arti materi maupun formil, disamping penguasaan “anatomi” dan atau “kondisi” lingkungan yang menyangkut tindak pidana tersebut.

TAHAP  PEMAPARAN (EKSPOSE )
Pemaparan ( ekspose )  dilakukan sebelum  dilakukan pemberkasan ( merupakan tahap akhir dari bagian penyidikan ).
Sebenarnya tahap pemaparan ini tidak dikenal dalam hukum acara pidana dan juga tidak pernah disebut-sebut dalam keputusan Jaksa Agung yang mengatur administratip perkara.
Tahap ini timbul adalah berdasar surat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus No.B-300/PIDSUS /7/1984 tanggal 31 Juli 1984 yang ditujukan kepada Kepala Kejaksaan Tinggi seluruh Indonesia. Surat ini dikeluarkan berdasar alasan praktis, karena dalam praktek penanganan tindak pidana khusus dirasakan adanya kebutuhan untuk lebih dahulu memaparkan hasil kegiatan penyelidikan dan atau penyidikan yang telah dilakukan dengan tujuan agar setiap kegiatan itu dilakukan dapat mencapai hasil yang maksimal.

TINJAUAN MENGENAI SP-3
Aktifitas yang dilakukan oleh penyidik dalam rangka mengumpulkan bukti-bukti yang mendukung tentang telah terjadinya suatu Tindak Pidana secara umum dapat disebut tindakan penyidikan.
Sesuai dengan maksud dilakukannya penyidikan tersebut, maka akhir dari aktivitas penyidikan hanya ada dua, yaitu :
·         Penyidikannya lengkap dalam arti memenuhi persyaratan formal dan materil (cukup alat bukti), maka dengan sendirinya perkara tersebut harus diteruskan ke tingkat penuntutan guna dibawa ke persidangan.
·         Hasil penyidikannya tidak lengkap dalam arti tidak memenuhi kelengkapan perlengkapan secara formal dan materil. Akibatnya perkara tersebut tidak mempunyai dasar yang kuat untuk ditingkatkan ke tahap penuntutan, apalagi dibawa ke persidangan. Untuk itu penyidikan tersebut harus dihentikan.
Masalahnya sekarang apakah ada dasar hukum yang mengatur secara tegas bahwa penyidik mempunyai hak untuk menghentikan suatu perkara?
Berdasarkan pasal 109 ayat 2 KUHAP kepada penyidik diberikan wewenang untuk menghentikan penyidik suatu perkara, jika :
1.     Tidak terdapat cukup bukti.
Pengertian tidak diperoleh bukti yang cukup adalah mengacu kepada pasal 184 KUHAP jo. Pasal 185 KUHAP. Dimana menurut rumusan kedua pasal tersebut untuk dapat ditingkatkannya suatu penyidikan ke tahap penuntutan setidak-tidaknya harus didukung dua alat bukti yang sah, namun demikian jika ternyata dari hasil penyidikan tersebut penyidik belum atau tidak mendapatkan dua alat bukti yang cukup, maka dengan sendirinya perkara yang disidik tersebut tidak dapat ditingkatkan ke tahap penuntutan. Akibat hukumnya antara lain :
·  Penyidik menghentikan penyidikan perkara tersebut.
·  Penyidik menunda penyelesaian penyidikan perkara tersebut dalam waktu tertentu dengan harapan pada masa penundaan tersebut dapat diperoleh alat bukti tambahan yang mendukung.
Uraian tersebut di atas menunjukan kepada kita bahwa penentuan apakah suatu perkara yang masih dalam tahap penyidikan mempunyai alat bukti yang cukup atau tidak, adalah subjektif dikarenakan yang menjadi dasar untuk dilakukannya penghentian penyidikan atas perkara tersebut adalah kesimpulan dari penyidik.
Kalaupun hal itu didasarkan pada fakta yang terungkap di tingkat penyidikan (khususnya keterangan saksi-saksi) ini pun belum dapat dijadikan dasar yang mutlak, disebabkan saksi-saksi tersebut tidak memberikan keterangan di bawah sumpah. Dengan demikian terlihat bahwa sifat dari penghentian penyidikan yang dilakukan penyidik cenderung tidak obyektif dan bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat. Kecenderungan akan subjektifnya penghentian penyidikan tersebut menunjukan bahwa sangat besar kemungkinan pertimbangan yang diambil dalam menentukan tindakan menghentikan penyidikan tersebut tidak mewakili kebenaran dan kepastian hukum yang berintikan keadilan dikarenakan :
i Penyidik belum mendapatkan bukti cukup, namun dalam waktu relatif singkat menghentikan penyidikan perkara tersebut, padahal kalau seandainya yang bersangkutan bersabar untuk tidak segera menghentikan, melainkan menunda sesaat sambil mengharapkan diperolehnya alat bukti tambahan, besar kemungkinan alat bukti tambahan tersebut akan diperoleh, maka perkara tersebut dapat ditingkatkan ke tahap penuntutan.
i   Penyidikan sebagai manusia biasa yang tidak terlepas dari faktor kekhilafan dan kesalahan telah mengambil kesimpulan yang salah dalam menghentikan penyidikan tersebut. Bukankah penghentian penyidikan merupakan kesimpulan penyidik?
i   Pendapat penyidik dalam mengambil kesimpulan untuk menghentikan penyidikan tersebut telah dipengaruhi oleh faktor-faktor non yuridis.
i   Penyidikan telah keliru dalam mengambil kesimpulan untuk menghentikan penyidikan perkara tersebut, karena salah dalam menafsirkan unsur-unsur delik yang disangkakan atau keliru dalam menempatkan fakta-fakta yang diperoleh di tingkat penyidikan untuk mendukung unsur-unsur delik yang disangkakan.
2.     Peristiwa yang disidik tersebut ternyata bukan merupakan Tindak Pidana.
Hal lain yang dapat dijadikan alasan untuk menghentikan suatu penyidikan suatu perkara adalah ternyata perkara yang disidik yang dimaksud bukanlah merupakan tindak pidana. Jika Kondisi seperti ini yang ditemui oleh penyidik, maka bagi penyidik tidak ada pilihan lain kecuali menghentikan penyidikan perkara tersebut.
Dalam praktek bukanlah pekerjaan yang gampang untuk menentukan bahwa suatu peristiwa yang disangkakan bukan merupakan tindak pidana, khususnya mengenai hal-hal yang berhubungan dengan batas-batas atau ruang lingkup perdata, misalnya antara perjanjian hutang piutang dengan penipuan yang menggunakan sarana surat berharga berupa Bilyet Giro yang ketika di uangkan dananya tidak mencukupi.
3.     Penyidikannya harus dihentikan demi hukum dikarenakan alasan-alasan tertentu.
Alasan penghentian ini pada pokoknya sesuai dengan alasan hapusnya hak menuntut dan hilangnya hak menjalankan pidana yang diatur dalam Bab VIII KUHP, sebagaimana yang dirumuskan dalam ketentuan pasal 76, 77, 78 dan seterusnya, yaitu :
i Nebis in idem, (pasal 76 KUHP) Asas ini memberikan pengertian bahwa seseorang tidak dapat lagi dituntut untuk kedua kalinya atas dasar perbuatan yang sama jika atas perbuatan itu yang disangkutkan telah pernah diadili dan telah diputus perkaranya oleh pengadilan serta putusan itu telah memperoleh kekuatan hukum tetap (in krachtvan Gewijsde zaak). Asas nebis in idem ini, berfungsi untuk menciptkan kepastian hukum, yang mengatur bahwa seseorang tidak diperbolehkan mendapat beberapa kali hukuman atas suatu tindakan pidana yang dilakukanya. Jadi apabila terhadapnya telah pernah diputuskan suatu peristiwa tindak pidana baik putusan ini berupa pemidanaan, pembebasan ataupun pelepasan dari tuntutan hukum keputusan itu telah memperoleh keputusan hukum yang tetap, maka terhadap orang tersebut tidak lagi dapat dilakukan pemerikasaan, baik penyidikan, penuntutan maupun peradilan untuk kedua kalinya atas peristiwa yang bersangkutan.

i Tersangka meninggal dunia (pasal 77 KUHP). Eksistensi tersangka dalam suatu perkara mempunyai peran yang penting, bahkan salah satu asas dalam KUHP mengharuskan bahwa peradilan pidana haruslah dihadiri oleh terdakwa, untuk itu jika tersangkanya telah meninggal dunia, baik ditingkat penyidikan ataupun penuntutan/peradilan, maka perkaranya haruslah ditutup demi hukum. Hal ini sesuai dengan prinsip hukum yang berlaku universal pada abad modern ini. Yakni, kesalahan tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang adalah menjadi tanggung jawab sepenuhnya dari pelaku yang tersebut. Prinsip hukum ini adalah penegasan pertanggungjawaban dalam hukum pidana, yang mengerjakan bahwa tanggung jawab seorang dalam hukum pidana, hanya dilimpahkan kepada pelakunya (tidak dapat dialihkan). Dengan meninggalnya si tersangka penyidikan dengan sendirinya berhenti atau hapus menurut hukum. Penyidikan dan pemeriksaan tidak dapat dialihkan kepada ahli warisnya atau siapapun juga.
i Karena kadaluarsa, seperti yang dijelaskan dalam pasal 78 KUHP.
Apabila telah dipenuhi tenggang waktu penuntutan seperti yang diatur dalam pasal 78 KUHP, dengan sendirinya menurut hukum penuntutan terhadap sipelaku tindak pidana tidak boleh lagi dilakukan. Logikanya, Jika terhadap seseorang pelaku tindak pidana telah hapus wewenang untuk menuntutnya di muka sidang pengadilan, maka percuma saja melakukan penyidikan dan pemeriksaan terhadap orang tersebut, sebab penyidikan dimaksud tidak akan lagi berguna bagi kegiatan penuntutan karena itu, jika penyidik menjmpai keadaan seperti ini dalam penyidikan, dia harus segera menghentikan penyidikan dan pemeriksaan.
Untuk menghindari terjadinya kesewenang-wenangan penyidik dalam suatu perkara, maka kepada pihak-pihak tertentu (penuntut umum dan pihak ketiga yang merasa dirugikan) dapat mengajukan gugatan praperadilan terhadap keputusan penghentian penyidikan dimaksud (lihat 77 (a) KUHAP), namun demikian disamping diaturnya kontrol mengenai penghentian penyidikan tersebut melalui penuntu umum dan atau melalui pihak ketiga juga diberi kesempatan kepada penyidik yang menghentikan penyidikan tersebut untuk mencabut penghentian penyidikan dimaksud dan membuka kembali perkara tersebut jika dalam kenyataannya terdapat alasan-alasan yang memungkinkan untuk itu, misalnya :
i Di temukan bukti-bukti baru (ini berlaku jika penghentian penidikan yang telah dilakukan didasarkan pada pertimbangan tidak diperolehnya alat bukti yang cukup).
i Ditemukannya alasan-alasan yang baru, misalnya pertimbangan yang dijadikan dasar dalam menghentikan penyidikan yang telah dilakukan ternyata keliru atau tidak tepat
Dari uraian tersebut di atas dapat ditarik beberapa point-point penting antara lain:
i Penghentian penyidikan adalah wewenang penyidik yang diberikan oleh Undang-undang sesuai pasal 109 ayat 2 KUHAP.
i Penghentian penyidikan tersebut dalam kenyataannya bukan merupakan putusan pengadilan, hal ini dapat dibuktikan dengan diberi haknya penuntut umum dan pihak ketiga yang merasa dirugikan untuk mengajukan gugatan praperadilan sebagaimana yang diatur dalam pasal 80 KUHAP.
Jika kita kaitkan uraian tersebut di atas dengan pencabutan SP 3 perkara atas nama Soeharto, maka dapat diberikan analisis sebagai berikut :
Bahwa penyidik dalam hal ini Jaksa Agung RI telah menunjukkan sikap kesatria dengan jalan mencabut Surat Penghentian Penyidikan perkara atas nama Soeharto, dikarenakan  Jaksa Agung telah menunjukan jiwa besarnya dengan jalan menganulir perbuatan yang telah dilakukan oleh Kejaksaan Agung setelah diketahui ternyata perbuatan tersebut tidak tepat, dalam hal ini penghentian perkara atas nama Soeharto.
Sikap Jaksa Agung yang mencabut SP3 dimaksud dalam kenyataanya tidak bertentangan dengan hukum, baik tertulis maupun tidak tertulis bahkan justru masyarakat khususnya ahli hukum menganggap bahwa sikap Jaksa Agung tersebut sangat tepat, apakah benar?
Jika kita hubungkan dengan prinsip dasar diberikannya hak praperadilan kepada penuntut umum dan pihak ketiga yang merasa dirugikan untuk mengajukan gugatan praperadilan terhadap keputusan penghentian penyidikan sebagaimana diatur da;am pasal 77 (a) dan pasal 80 KUHAP yang merupakan control agar penyidik tidak sewenang-wenang menggunakan haknya untuk menghentikan penyidikan suatu perkara, maka Jaksa Agung justru menunjukkan kepada masyarakat bahwa dia
melakukan control terhadap dirinya sendiri; tidak perlu menunggu control masyarakat .
Bukankah kita sependapat bahwa orang yang mengakui kekeliruannya dan berusaha memperbaikinya kekeliruannya tersebut merupakan orang yang baik. Oleh karena itu sungguh sangat aneh bin ajaib jika ada orang yang keberatan dan menyalahkan sikap Jaksa Agung tersebut. Namun demikian kami yakin bahwa kalaupun ada pihak-pihak yang berkeberatan tentunya hal tersebut cenderung emosional, karena telah dipengaruhi oleh berbagai kepentingan, dan menurut kami ini alamiah, tidak perlu diributkan.



    


Andy Manalu SH di 21.37
Berbagi



Beranda
Lihat versi web
Paris Manalu SH MH

Foto Saya
Andy Manalu SH 

Selama menjalankan tugas sebagai Jaksa, banyak liku-liku kehidupan yang saya jalani, terkadang kita harus berusaha tersenyum namunpun dalam menjalaninya sangat sulit, demi kebanggaan pengabdian kepada Institusi Kejaksaan RI, dalam penyelesaian kasus terkadang banyak dilema mulai internal dan eksternal yang membuat hukum itu jauh dari rasa keadilan yang diharapkan oleh masyarakat, satu tekatku sebagai Jaksa "idealis" berusaha untuk tetap berani menyatakan "Ya diatas Ya, Tidak diatas Tidak"  .....semoga Kejaksaan RI akan bisa seperti lembaga KPK dicintai masyarakat.

Monday, April 18, 2016

Sosiologi Politik

SOSIOLOGI POLITIK

Proses Sosiologi & interaksi Sosiologi
1.Pengertian Proses Sosial
Menurut Charles P. Loomis, sebuah hubungan itu bisa dikatakan interaksi sosial
jika Memiliki ciri-ciri hubungan Proses Sosial dan Interaksi Sosial.
Bentuk umum proses sosial adalah interaksi sosial ( yang juga dapat dinamakan proses sosial ), oleh karena itu interaksi sosial sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan antara orang-orang perorangan , antara kelompok-kelompok manusia maupun antara orang perorangan dengan kelompok manusia.sebagai berikut :
a.Jumlahpelakunyaadalah dua orang atau lebih
b.Adanya komunikasi antar pelaku dengan menggunakan simbol atau   lambang-lambang
c.Adanya suatu dimensi waktu yang meliputi masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang
d.Adanya tujuan yang hendak dicapai.
2.Interaksi Sosial
oTujuan yang hendak dicapai dari interaksi sosial itu adalah sebagai berikut :
a. Terciptanya hubungan yang harmonis
b. Tercapainya tujuan hubungan dan kepentingan
c. Sebagai sarana dalam mewujudkan keteraturan hidup (kehidupan sosial masyarakat)
oSyarat-syarat terjadinya interaksi sosial:
     a.Kontak Sosial (Social Contact)
     Kontak sosial adalah hubungan antara satu orang atau lebih, melalui percakapan dengan saling mengerti tentang maksud dan tujuan masing-masing dalam kehidupan masyarakat.
     b.Komunikasi (Communication)
     Menurut Soerjono Soekanto, komunikasi adalah bahwa seseorang memberikan tafsiran pada perilaku orang lain (yang berwujud pembicaraan, gerak-gerak badaniah atau sikap) perasaan-perasaan apa yang ingin disampaikan oleh orang lain tersebut.
3.Bentuk-Bentuk Interaksi Sosial
Bentuk-bentuk interaksi sosial:
1.Proses-proses yang Asosiatif
a. Kerja Sama (Cooperation)
Kerja sama adalah suatu bentuk proses sosial, dimana di dalamnya terdapat aktivitas tertentu yang ditujukan untuk mencapai tujuan bersama dengan saling membantu dan saling memahami terhadap aktivitas masing-masing.
b. Akomodasi (Accomodation)
Akomodasi adalah suatu keadaan hubungan antara kedua belah pihak yang menunjukkan keseimbangan yang berhubungan dengan nilai dan norma-norma sosial yang berlaku dalam masyarakat.
c.Asimilasi (Assimilation)
Menurut Gillin & Gillin, Asimilasi merupakan proses sosial dalam taraf lanjut, ditandai dengan adanya usaha-usaha mengurangi perbedaan-perbedaan yang terdapat antara orang-perorangan atau kelompok-kelompok manusia dan juga meliputi usaha-usaha untuk mempertinggi kesatuan tindak, sikap dan proses-proses mental dengan memperhatikan kepentingan-kepentingan dan tujuan-tujuan bersama.
2. Proses-proses yang Disosiatif
a. Persaingan (Competition)
Persaingan merupakan suatu usaha dari seseorang untuk mencapai sesuatu yang lebih daripada yang lain.
b. Kontraversi (Competition)
Kontraversi merupakan suatu bentuk proses sosial yang berada antara persaingan dan pertentangan antara pertikaian dan juga merupakan sikap mental yang tersembunyi terhadap orang-orang lain atau terhadap unsur-unsur kebudayaan golongan tertentu
c. Pertikaian atau Pertentangan (Conflict)
Pertikaian adalah bentuk persaingan yang berkembang secara negatif, artinya di satu pihak bermaksud untuk mencelakakan atau paling tidak berusaha untuk menyingkirkan pihak lainnya.
Kelompok-Kelompok Sosial
1.Pengertian Manusia yg Hidup Berkelompok
          Kelompok sosial adalah kumpulan manusia yang memiliki kesadaran bersama akan keanggotaan dan saling berinteraksi, dan kelompok di ciptakan oleh anggota masyarakat, dan untuk dapat menyesuaikan diri, manusia menggunakan pikiran, perasaan, dan kehendaknya.
2.Macam-Macam Kelompok Sosial
Macam-macam kelompok sosial menurut Robert Bierstedt, kelompok memiliki banyak jenis dan dibedakan berdasarkan ada tidaknya organisasi, hubungan sosial antara kelompok, dan kesadaran jenis. Bierstedt kemudian membagi kelompok menjadi empat macam:
1. Kelompok statistik, yaitu kelompok yang bukan organisasi, tidak memiliki hubungan sosial dan kesadaran jenis di antaranya. Contoh: Kelompok penduduk usia 10-15 tahun di sebuah kecamatan.
2. Kelompok kemasyarakatan, yaitu kelompk yang memiliki persamaan tetapi tidak mempunyai organisasi dan hubungan sosial di antara anggotanya.
3. Kelompok sosial, yaitu kelompok yang anggotanya memiliki kesadaran jenis dan berhubungan satu dengan yang lainnya, tetapi tidak terukat dalam ikatan organisasi. Contoh: Kelompok pertemuan, kerabat.
4. Kelompok asosiasi, yaitu kelompok yang anggotanya mempunyai kesadaran Pihak yang berinteraksi mendefinisikan dirinya sebagai anggota kelompok.
3.Kelompok-Kelompok Sosial yg Tidak Teratur
Tipe-tipe kelompok sosial yang tidak teratur, Jenis-jenis kelompok sosial yang termasuk di dalamnya:
1. Kerumunan (Crowd)
Ukuran utama adanya kerumunan adalah kehadiran orang-orang secara fisik dan bersifat sementara.
Adapun bentuk-bentuk kerumunan antara lain:
a). Kerumunan yang berartikulasi dengan struktur sosial.
b). Kerumunan yang bersifat sementara.
c). Kerumunan yang berlawanan dengan norma-norma hukum.
2. Publik
Merupakan kelompok yang bukan merupakan kesatuan. Interaksi terjadi secara tidak langsung melalui alat-alat komunikasi seperti pembicaraan pribadi yang berantai, desas-desus, surat kabar, radio, televisi, film, dan lain-lain.
4.Msyarakat desa & Masyarakat kota
Perbedaan masyarakat desan dan kota:
Ciri-ciri masyarakat pedesaan:
1.Letaknya relatif jauh dari kota dan bersifat rural
2.Lingkungan alam masih besar peranan dan pengaruhnya terhadap kehidupan masyarakat pedesaan
3.Mata pencaharian bercorak agraris dan relatif homogen (bertani, beternak, nelayan, dll)
4.Corak kehidupan sosialnya bersifat gemain schaft (paguyuban ddan memiliki community sentiment yang kuat)
5.Keadaan penduduk (asal-usul), tingkat ekonomi, pendidikan dan kebudayaannya relatif homogen.
Ciri-ciri masyarakat kota:
1. Pengaruh alam terhadap masyarakat kota kecil
2. Mata pencahariannya sangat beragam sesuai dengan keahlian dan ketrampilannya.
3. Corak kehidupan sosialnya bersifat gessel schaft (patembayan), lebih individual dan kompetitif.
4. Keadaan penduduk dari status sosialnya sangat heteroge
5. Stratifikasi dan diferensiasi sosial sangat mencolok. Dasar stratifikasi adalah pendidikan, kekuasaan, kekayaan, prestasi, dll.

Lembaga Kemasyarakata
1.Pengertian Lembaga Kemasyarakatan
     Lembaga kemasyarakatan adalah Himpunan norma-norma dari segala tingkatan yang berkisar pada suatu kebutuhan pokok didalam kehidupan masyarakat.

2.Tujuan Lembaga Kemasyarakatan
Tujuan lembaga kemasyarakatan:
1. Menjaga kebutuhan masyarakat yang bersangkutan
2. Merupakan pedoman sistem pengendalian sosial di masyarakat
3. Memberikan pegangan kepada masyarakat untuk mengadakan sistem pengendalian sosial
(social control), artinya, sistem pengawasan dari masyarakat  terhadap tingkah laku anggota-anggotanya.

3.Proses Pertumbuhan Lembaga Kemasyarakatan
Proses pertumbuhan lemabaga kemasyarakatan:
a. Norma-norma masyarakat supaya hubungan antar manusia didalam suatu masyarakat terlaksana sebagaimana dharapkan, maka dirumuskan norma-norma masyarakat.
Untuk dapat membedakan kekuatan mengikat norma-norma tersebut, secara, sosiologi dikenal adanya empat pengertian, yaitu:
1) Cara (usage) dimana usage lebih menonjol didalam hubungan antar individu dalam masyarakat. Suatu penyimpangan terhadapnya tidak akan mengakibatkan hukum yang berat, akan tetapi hanya sekedar celaan dari individu yang dihubunginya.
2) Kebiasaan (Folkways) suatu kebiasaan mempunyai kekuatan mengikat yang lebih besar dari pada cara. Kebiasaan diartikan sebagai perbuatan yang diulang-ulang dalam bentuk yang sama, merupakan bukti bahwa orang banyak menyukai perbuatan tersebut.
3) Tata Kelakuan (Mores) merupakan kebiasaan yang dianggap sebagai cara berperilaku dan diterima norma-norma pengatur.
4) Adat Istiadat (Custom) adalah tata kelakuan yang kekal serta kuat integrasinya dengan pola-pola perilaku masyarakat. Bila adat istiadat dilanggar, maka sangsinya berwujud suatu penderitaan bagi pelanggarnya.

4.Social Control
Social Control adalah sistem atau proses yang dijalankan oleh masyarakat selalu disesuaikan dengan kaidah-kaidah yang berlaku dalam masyarakat,Suatu proses pengadilan sosial dapat dilaksanakan dengan berbagai cara yang pada pokoknya berkisar pada cara-cara tanpa kekerasan (persuasive) ataupun dengan paksaan (Coersive).

5.Ciri Umum & Tipe Lembaga Kemasyarakatan
Ciri Umum lembaga kemasyarakatan:
-Suatu lembaga kemasyarakatan adalah organisasi pola-pola pemikiran dan pola-pola perilaku yang terwujud melalui aktivitas kemasyarakatan dan hasil-hasilnya.
-Suatu tingkat kekelan tertentu merupakan ciri dari semua lembaga kemasyarakatan.
-Lembaga kemasyarakatan mempunyai satu atau beberapa tujuan tertentu.
-Lembaga kemasyarakatan mempunyai alat-alat perlengkapan yang dipergunakan untuk mencapai tujuan lembaga yang bersangkutan.
-Lambang-lambang biasanya merupakan ciri khas dari lembaga kemasyarakatan.
-Suatu Lembaga kemasyarakatan mempunyai tradisi tertulis atau yang tidak tertulis, yang merumuskan tujuannya, tata tertib yang berlaku dan lain-lain.
Tipe lembaga kemasyarakatan Menurut Gillin dan Gillin :
vDari sudut perkembangannya :
a. Crescive Institutions Bahan Ajar Pengantar Sosiologi Gumgum Gumilar, S.Sos., M.Si./ Program Studi Ilmu Komunikasi Unikom Lembaga-lembaga yang secara tidak sengaja tumbuh dari adat-istiadat masyarakat. Contoh : hak milik, perkawinan, agama, dsb.
b. Enacted Institution Dengan sengaja dibentuk untuk memenuhi tujuan tertentu, misalnya lembaga utang-piutang, lembaga perdagangan, dan lembaga-lembaga pendidikan, yang kesemuanya berakar pada kebiasaan-kebiasaan masyarakat.
vDari sudut sistem nilai-nilai yang diterima masyarakat:
a. Basic Institutions
Lembaga kemasyarakatan yang sangat penting untuk memelihara dan
mempertahankan tata tertib dalam masyarakat.Contohnya: keluarga, sekolah-sekolah, segara, dsb.
b. Subsidiary Institutions Dianggap kurang penting. Misalnya kegiatan-kegiatan untuk rekreasi.
vDari sudut penerimaan masyarakat:
a. Approved-Socially Sanctioned Institutions Lembaga-lembaga yang diterima
masyarakat, seperti sekolah, lembaga perdagangan, dsb.
b. Unsanctioned Institutions
Lembaga-lembaga yang ditolak masyarakat. Misalnya kelompok penjahat, pemeras pencoleng, dsb.
vDari sudut penyebarannya :
a. General Institutions
Contoh : Agama merupakan suatu General Institutions, karena dikenal oleh
hampir semua masyarakat dunia.
b. Restricted Institutions
Agama Islam, Katolik, Protestan, Budha, dan Hindu, merupakan Restricted Institutions, karena dianut oleh masyarakat tertentu di dunia ini.
vDari sudut fungsinya :
a. Operative Institutions Bahan Ajar Pengantar Sosiologi Gumgum Gumilar, S.Sos., M.Si./ Program Studi Ilmu Komunikasi Unikom Berfungsi sebagai lembaga yang menghimpun pola-pola atau tata cara yang diperlukan untuk mencapai tujuan lembaga yang bersangkutan.
b. Restricted Regulative Bertujuan untuk mengawasi adat-istiadat atau tata kelakukan yang tidak menjadi bagian mutlak lembaga itu sendiri.

Struktur Sosial & Perubahan Sosial
1.Pengertian Pelapisan Sosial, Lapisan Masyarakat, Sistem Stratifikasi Masyarakat & Mobilitas Sosial.
          Pelapisan sosial atau stratifikasi sosial adalah pembedaan atau pengelompokan para anggota masyarakat secara bertingkat. Sedangkan Lapisan Masyarakat (Stratifikasi Sosial) terjadinya lapisan masyarakat sistem lapisan masyarakat dapat terjadi dengan sendirinya dalam proses pertumbuhan masyarakat itu. Dan yang terakhir Mobilitas sosial adalah perpindahan posisi seseorang atau sekelompok orang dari lapisan yang satu ke lapisan yang lain.
2.Pengertian Perubahan Sosial & Bentuk Perubahan Sosial
           Perubahan sosial itu sendiri dapat diartikan perubahan yang terjadi dalam struktur sosial dan lembaga sosial masyarakat.
Bentuk-Bentuk Perubahan Sosial ada yang berdasarkan proses
berlangsungnya dan berdasarkan ruang lingkupnya. Berdasarkan proses
berlangsungnya terbagi menjadi dua bentuk perubahan dalam sosiologi dikenal dengan evolusi dan revolusi. Sedangkan Berdasarkan ruang lingkupnya,
perubahan sosial dibagi menjadi dua, yaitu perubahan sosial yang berpengaruh besar dan perubahan sosial yang berpengaruh kecil.
3.Perubahan Sosial Abad 20
Teori perubahan sosial pada abad 20 yang terkenal adalah:
1.  Teori Modernisasi
            Teori Modernisasi menganggap bahwa negara-negara terbelakang akan menempuh jalan sama dengan negara industri maju di Barat sehingga kemudian akan menjadi negara berkembang pula melalui proses modernisasi.
2.  Teori Ketergantungan
Menurut teori ketergantungan yang didasarkan pada pengalaman-pengalaman negara Amerika Latin bahwa perkembangan dunia tidak merata; negara-negara industri menduduki posisi dominan sedangkan negara-negara Dunia Ketiga secara ekonomi tergantung padanya.
3.  Teori Sistem Dunia
Teori yang dirumuskan Immanuel Wallerstein mengatakan bahwa perekonomian kapitalis dunia tersusun atas tiga jenjang: negara-negara inti, negara-negara semi-periferi, dan negara-negara periferi. Negara-negara inti terdiri atas negara-negara Eropa Barat yang sejak abad 16 mengawali proses industrialisasi dan berkembang pesat, sedangkan negara-negara semi- periferi merupakan negara-negara di Eropa Selatan yang menjalin hubungan dagang dengan negara-negara inti dan secara ekonomis tidak berkembang. Negara-negara periferi merupakan kawasan Asia dan Afrika yang semula merupakan kawasan ekstern karena berada di luar jaringan perdagangan negara-negara inti tetapi kemudian melalui kolonisasi ditarik ke dalam sistem dunia.

Sistem Politik
1.Pengertian Sistem Politik
Sistem Politik adalah kumpulan pendapat-pendapat dan lain-lain yang membentuk satu kesatuan yang berhubung-hubungan satu sama lain untuk mengatur pemerintahan serta melaksanakan dan mempertahankan kekuasaan dengan cara mengatur hubungan antara individu satu sama lainnya atau dengan negara dan hubungan negara dengan negara.

2.Objek PolitiK
Objek politik adalah yang dijadikan sasaran dari orientasi warga Negara. Objek politik yang dijadikan sasaran orientasi itu meliputi tiga hal:
1.    Objek politik umum atau sistem politik secara keseluruhan, meliputi : sejarah bangsa, simbol negara, dll
2.    Objek politik input yaitu lembaga atau pranata politik. Lembaga yang ternasuk dalam kategori objek politik input antara lain : parpol, ormas, dll
3.    Objek politik output yaitu lembaga atau pranata politik yang termasuk proses output dalam sistem politik. Misalnya: birokrasi, lembaga peradilan, dll
3.Sistem Politik
Sistem politik secara keseluruhan meliputi:

A.Tujuan sistem politik :
a.Meningkatnya respon masyarakat terhadap kebijakan pemerintah
b.Adanya partisipasi rakyat dalam mendukung atau menolak suatu kebijakan politik
c.Meningkatnya partisipasi rakyat dalam berbagai kegiatan organisasi politik, organisasi kemasyarakatan, dan kelompok-kelompok penekan
B.Ciri – ciri Pokok Sistem Politik :
1.      Mempunyai Tujuan
2.      Memiliki Sifat Terbuka Dalam arti berinteraksi dengan lingkungan
3.      Terdiri atas berbagai unsur atau komponen (Sub System) yang saling bergantung dan berhubungan
C.Komponen Sisitem Politik :
Menurut Samuel P.Huntingon komponen sistem politik meliputi:
1. kultur, yaitu nilai-nilai, sikap, orientasi, mitos dan kepercayaan yang relevan terhadap politik yang berpenagruh terhadap masyarakat.
2. struktur, yaitu organisasi formal dalam masyarakat yang digunakan untuk menjalankan keputusan-keputusan yang berwenang.
3. kelompok, yaitu bentuk-bentk social dan ekonomi, baik formal maupun nonformal, yang berpartisipasi dalam mengajukan tuntutan-tuntutan terhadap struktur politik.
4. kepemimpinan, yaitu individu dalam lembaga-lembaga politik dan kelompok-kelompok politik yang menjalankan pengaruh lebih daripada yang lainnya dalam memberikan alokasi nilai-nilai
5. kebijakan, yaitu pola-pola kegiatan pemerintahan yang secara sadar terbentuk untuk mempengaruhi distribusi keuntungan dalam masyarakat
D.Sistem politik terdiri dari input, proses, output.
-Input dalam sebuah sistem politik:
Aspirasi masyarakat atau kehendak rakyat. Aspirasi masyarakat dikelompokan menjadi 3 jenis, yaitu:
1.    Tuntunan:Keinginan masyarakat yang pemenuhannya harus diperjuangkan melalui cara-cara dan menggunakan sarana politik. Contohnya: Dana bos yang diberikan oleh pemerintah.
2.    Dukungan:Setiap perbuatan, sikap, dan pemikiran warga masyarakat yang mendorong pencapaian tujuan, kepentingan dan tindakan pemerintah dalam sistem politik. Contoh: memberikan suara dalam pemilu
3.    Sikap Apatis:Sikap tidak peduli warga terhadap kehidupan politik. Ketidak pedulian warga menujukkan adanya persoalan yang harus dipecahkan oleh sistem politik yang bersangkutan. Contoh: saat pemilu orang yang mempunyai hak pilih tidak menggunakan hak pilihnya.
-     Proses dalam sistem politik:
Serangakaian tindakan pengambilan keputusan baik oleh lembaga legislatif, eksekutif, maupun yudikatif dalam rangka memenuhi atau menolak aspirasi masyarakat. Contoh: hukum yang berlaku
-Output sistem politik :
berupa kebijakan publik yang hakikatnya akan berisi pemenuhan aspirasi masyarakat atau penolakan/ketidaksediaan untuk memenuhi (sebagian atau seluruh) aspirasi masyarakat.
4.Sistem Politik Indonesia
Sistem politik Indonesia adalah seperangkat interaksi yang di Abstraksikan
dari totalitas dari perilaku sosial melalui nilai-nilai yang di sebarkan kepada masyarakat dan negara Indoesia. Sistem politik di Indonesia adalah demokrasi pancasila,yaitu setiap hak-hak dan kewajiban warga Negara,pelaksanaan hak asasinya bersifat horizontal maupun vertical.
Struktur & Fungsi Politik
1.Bagan Struktur Politik
Struktur politik adalah susunan komponen-komponen politik yang saling berhubungan satu sama lain atau secara fungsional diartikan sebagai pelembagaan hubungan antara komponen-komponen yang membentuk sistem politik. Struktur politik suatu negara menggambarkan susunan kekuasaan di dalam negara itu. Struktur politik Indonesia diatur dalam UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan lainnya, yang secara garis besar terdiri atas suprastruktur dan infrastruktur politik. Struktur politik merupakan keseluruhan bagian atau komponen (yang berupa lembaga-lembaga) dalam suatu sistem politik yang menjalankan fungsi atau tugas tertentu.
2.Fungsi Politik
Fungsi politikdalam suatu negara Politik sangat berguna sebagai pengatur kehidupan masyarakatnya. Adapun fungsi politik sebagai berikut:
• Perumusan kepentingan
• Pemaduan kepentingan
• Pembuatan kebijakan umum
• Penerapan kebijakan
• Pengawasan pelaksanaan kebijakan
Sistem pemerintahan & demokrasi
1.Sistem Pemerintahan
     Sistem pemerintahan adalah sistem yang dimiliki suatu negara dalam mengatur pemerintahannya. sistem ini dibedakan menjadi:
a. Sistem presidensial (presidensiil), atau disebut juga dengan sistem kongresional, merupakan sistem pemerintahan negara republik di mana kekuasan eksekutif dipilih melalui pemilu dan terpisah dengan kekuasan legislatif.
b. Sistem parlementer adalah sebuah sistem pemerintahan di mana parlemen memiliki peranan penting dalam pemerintahan. Dalam hal ini parlemen memiliki wewenang dalam mengangkat perdana menteri dan parlemen pun dapat menjatuhkan pemerintahan, yaitu dengan cara mengeluarkan semacam mosi tidak percaya. Negara yang menganut sistem pemerintahan parlementer adalah Inggris, Jepang, Belanda, Malaysia, Singapura dan sebagainya.
c. Sistem semipresidensial adalah sistem pemerintahan yang menggabungkan kedua sistem pemerintahan: presidensial dan parlementer.Presiden melaksanakan kekuasaan bersama-sama dengan perdana menteri. Sistem ini digunakan oleh Republik Kelima Perancis.
d. Komunisme adalah sebuah ideologi. Penganut paham ini berasal dari Manifest der Kommunistischen yang ditulis oleh Karl Marx dan Friedrich Engels, sebuah manifesto politik yang pertama kali diterbitkan pada 21 Februari 1848 teori mengenai komunis sebuah analisis pendekatan kepada perjuangan kelas (sejarah dan masa kini) dan ekonomi kesejahteraan yang kemudian pernah menjadi salah satu gerakan yang paling berpengaruh dalam dunia politik.
e. Demokrasi liberal (atau demokrasi konstitusional) adalah sistem politik yang melindungi secara konstitusional hak-hak individu dari kekuasaan pemerintah. Demokrasi liberal dipakai oleh negara yang menganut sistem presidensial (Amerika Serikat).
f. Liberalisme adalah sebuah ideologi, pandangan filsafat, dan tradisi politik yang didasarkan pada pemahaman bahwa kebebasan dan persamaan hak adalah nilai politik yang utama.
2.Demokrasi & Prinsip demokrasi
Demokrasi berasal dari bahasa Yunani, yaitu demos yang berarti rakyat atau penduduk dan cratein yang berarti kekuasaan atau kedaulatan. Dengan demikian, secara bahasa demokrasi adalah keadaan negara di mana kedaulatan atau kekuasaan tertingginya berada di tangan rakyat.Prinsip-prinsip demokrasi:
1.Kekuasaan pemerintah dibatasi oleh konstitusi
2.Pemilu yang bebas, jujur, dan adil (agar mendapat wakil rakyat yang sesuai aspirasi rakyat)
3.Jaminan Hak Asasi Manusia
4.Persamaan kedudukan di depan hukum
5.Peradilan yang jujur dan tidak memihak untuk mencapai keadilan.
Sebagai negara demokrasi, pemerintahan Indonesia menerapkan teori trias politika. Trias politika adalah pembagian kekuasaan pemerintahan menjadi tiga bidang yang memiliki kedudukan sejajar.
Ketiga bidang tersebut yaitu :
1.Legislatif bertugas membuatundangundang. Bidang legislatif adalah Dewan Perwakilan Rakyat(DPR).
2.Eksekutif bertugas menerapkan atau melaksanakan undang-undang. Bidang eksekutif adalah presiden dan wakil presiden beserta menteri-menteri yang membantunya.
Yudikatif bertugas mempertahankan pelaksanaan undang-undang. Adapun unsur yudikatif terdiri atas Mahkamah Agung(MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK).
3.Lembaga-Lembaga Negara
Lembaga-lembaga negara Indonesia diposisikan sesuai dengan ketiga unsur di depan. Selain lembaga tersebut masih ada lembaga yang lain. Lembaga tersebut antara lain Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Anggota MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih melalui pemilihan umum untuk masa jabatan selama lima tahun dan berakhir bersamaan pada saat anggota MPR yang baru mengucapkan sumpah/janji yang dipandu oleh Ketua Mahkamah Agung dalam sidang paripurna MPR. Sebelum UUD 1945 diamandemen, MPR berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara. Namun, setelah UUD 1945 istilah lembaga tertinggi negara tidak ada yang ada hanya lembaga negara, Komisi Yudisial (KY) adalah lembaga negara yang mempunyai wewenang yaitu mengusulkan pengangkatan hakim agung dan menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, dan Mahkamah Konstitusi (MK) berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final. Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Lembaga-lembaga negara seperti Komisi Yudisial (KY) dan Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga baru.
Hukum, Kekuasaan & Wewenang
1.Pengertian Hukum & Wujudnya
Hakekat kekuasaan dapat terwujud dalalm hubungan yang simetris(Hubungan persahabatan, Hubungan sehari-hari, Hubungan yang bersifat ambivalen, Pertentangan yang bersifat ambivalen, Pertentangan antara mereka yang sejajar kedudukannya)dan asimetris(Popularitas, Peniruan mengikuti perintah, Tunduk pada pimpinan formal atau informal, Tunduk pada seorang ahli, Pertentangan antaraHukum adalah peraturan tingkah laku manusia yang diadakan oleh badan-badan resmi yang berwajib yang bersifat harus dipatuhi, dan memberikan sanksi yang tegas bagi yang melanggar peraturan tersebut.
           Wujud hukum itu sendiri hukum dibedakan menjadi dua, yaitu :1.Hukum Obyektif,hukum suatu negara yang berlaku umum dan tidak mengenai orang atau golongan tertentu.
2. Hukum Subyektif, merupakan hukum yang timbul dari hubungan obyektif dan berlaku bagi seseorang tertentu atau lebih.
2.Pengertian Kekuasaan, Sifat & Hakekat dan Saluran-Saluran Kekuasaan
       Kekuasaan berarti suatu kemampuan yang melekat pada seseorang yang digunakan untuk mendapatkan mereka yang tidak sejajar kedudukannya, Hubungan sehari-hari). Masing-masing hubungan terwujud dalam kehidupan sehari-hari.
Saluran-saluran, Apabila dilihat dalam masyarakat, maka kekuasaan di dalam pelaksanaannya dijalankan melalui saluran-saluran tertentu.Saluran-saluran tersebut banyak sekali, akan tetapi kita hanya akan membatasi diri pada saluran-saluran sebagai berikut:
a. Saluran militer
b. Saluran ekonomi
c. Saluran politik
d. Saluran tradisional
e. Saluran ideologi
f. Saluran-saluran lainnya
3.Dasar & Proses Wewenang
     Wewenang adalah suatu hak yang telah ditetapkan dalam tata tertib sosial untuk menetapkan kebijaksanaan, menetapkan keputusan-keputusan mengenai masalah-masalah penting, dan untuk menyelesaikan pertentangan-pertentangan. Sebagaimana halnya dengan kekuasaan, wewenang juga dapat dijumpai dimana-mana, walaupun tidak selamanya kekuasaan dan wewenang berada di satu tangan. Dasar dari wewenang adalah hukum. Indonesia sebagai negara yang berasaskan konstitualisme, yang berati semua tindakan negara dan pemerintah, haruslah sesuai atau berlandaskan kepada konstitusi.
4.Biro Krasi
Birokrasi adalah sistem pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai pemerintah karena telah berpegang pada hierarki dan jenjang jabatan. Max Weber menggambarkan birokrasi sebagai suatu organisasi yang memiliki beberapa karakteristik yang dirangkum oleh Martin Albrow ke dalam empat ciri utama, yaitu :
1.Adanya suatu struktur hirarki, termasuk pendelegasian wewenang dari atas ke bawah dalam organisasi.
2.Adanya serangkaian posisi-posisi jabatan, yang masing-masing memiliki tugas dan tanggung jawab yang tegas.
3.Adanya-aturan, regulasi-regulasi, dan standar-standar formal yang mengatur tata kerja organisasi dan tingkah laku para anggotanya.
4.Adanya personel yang secara teknis memenuhi syarta yang dipekerjakan atas dasar karier, dengan promosi yang didasarkan pada kualifikasi dan penampilan.
Public Choice
Public Choice adalah sebuah perspektif untuk bidang politik yang muncul dari pengembangan dan penerapan perangkat dan metode ilmu ekonomi terhadapa proses pengambilan keputusan kolektif dan berbagai fenomena non pasar (non market phenomena).
Pemikiran Public choice dalam merombak bidang –bidang sosial maupun politik sesuai hukum ekonomi klasik yang analog dengan permintaan dan penawaran komoditas.
Dengan analogi tersebut , maka pemerintah bisa diasumsikan sebagai supplier , yang bisa menyediakan komoditas publik untuk masyarakat.
Sejak tahun 1967, teori mengenai “rent-seeking” ini dikembangkan oleh Gordon Tullock, dan istilah “rent” disini berkembang menjadi tidak dalam pengertian yang sama dengan yang dimaksudkan oleh Adam Smith. Fenomena dari rent seeking ini teridentifikasi dalam hubungannya dengan monopoli. Selanjutnya, rent seeking (pemburu rente) menjadi bermakna suatu proses dimana seseorang atau sebuah perusahaan mencari keuntungan melalui manipulasi dari situasi ekonomi (politik, aturan-aturan, regulasi, tariff dll) daripada melalui perdagangan.
Money politik atau juga Politik uang atau politik perut adalah suatu bentuk pemberian atau janji menyuap seseorang baik supaya orang itu tidak menjalankan haknya untuk memilih maupun supaya ia menjalankan haknya dengan cara tertentu pada saat pemilihan umum.Pembelian bisa dilakukan menggunakan uang atau barang. Politik uang adalah sebuah bentuk pelanggaran kampanye. Politik uang umumnya dilakukan simpatisan, kader atau bahkan pengurus partai politik menjelang hari H pemilihan umum.
Referensi :
http://rakilmu.blogspot.com/2010/05/public-choice.html
http://shindohjourney.wordpress.com/seputar-kuliah/sosiologi-komunikasi-proses-sosial-dan-interaksi-sosial/
http://anharmifta.blogspot.com/
http://arul06agustus1990.blogspot.com/2010/04/lembaga-kemasyarakatan.html
http://bagaspriambodo.blogspot.com/2012/11/pelapisan-sosial-dan-kesamaan-derajat.html
http://anggawibisono-on-sharetask.blogspot.com/p/blog-page_3240.html
http://khoirunnisanour.blogspot.com/2011/04/struktur-dan-fungsi-politik.html
http://sistempemerintahan-indonesia.blogspot.com/2013/03/pengertian-sistem-pemerintahan_14.html

http://rakilmu.blogspot.com/2010/05/pengertian-hukum-dan-wujudnya.html
veny rindi di 01.34
Berbagi
Tidak ada komentar:
Poskan Komentar


Beranda
Lihat versi web
Mengenai Saya
veny rindi 
Ikuti
Lihat profil lengkapku
Diberdayakan oleh Blogger.

Monday, April 11, 2016

Eksepsi, Jawaban dan Gugatan Rekovensi Dalam Perkara Perdata

Kamis, 28 Maret 2013

Contoh Eksepsi, Jawaban dan Gugatan Rekovensi Dalam Perkara Perdata

Eksepsi, Jawaban Tergugat Dan Gugatan Rekovensi
Dalam perkara Perdata Register Nomor : 02/Pdt/G/2013/PN-LSM
Antara
Cut Desi Opiana bertindak atas nama bank danamon-------------------------------Selaku Penggugat
Lawan
Pimpinan PT. Citra Aditya Utama -------------------------------------------------------selaku Tergugat

14 Maret 2013
Kepada Yth,
Majelis Hakim Yang Memeriksa, Mengadili Dan Memutuskan
Perkara Perdata Register Nomor : 02/Pdt/G/2013/PN-LSM
Di –
          Lhokseumawe
Dengan hormat,
Untuk dan atas nama PT. Citra Aditya Utama, bertempat kedudukan di J.Line Pipa Desa Alue Lim Kecamatan Blang Mangat Kota Lhokseuamwe, yang dalam hal ini di wakili oleh pejabat-pejabat PT. Citra Aditya Utama. Sesuai dengan surat kuasa pimpinan PT. Citra Aditya Utama tertanggal 10 Maret 2013, mengajukan eksepsi, jawaban terhadap gugatan Reg. Nomor : 02/Pdt/G/2013/PN-LSM.
Berwenang anatara lain, setelah membaca secara seksama dan teliti terhadap seluruh dalil-dalil gugatan penggugat dalam perkara tersebut berikutnya demi hukum mengajukan eksepsi dan jawaban baik dalam konvensi maupun rekovensi yang pada pokoknya sebagai berikut :
A.  Dalam eksepsi
Bahwa tergugat dengan tegas menolak dan menyangkal dalil-dalil penggugat secara keseluruhan kecuali yang di akui secara tegas oleh berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut tanpa kecuali :
Ø  Bahwa penggugat tidak mendasari dalam mengajukan gugatan wanprestasi yang menyatakan pihak tergugat tidak membayar dengan iktikad tidak baik .
Ø  Bahwa mengingat dalam perjanjian yang telah diperbuat antara penggugat dan tergugat  pada 29 Desember 2009 dana yang di cairkan oleh pihak Penggugat adalah mulai dari bulan januari 2012 sebagaimana tercantum dalam surat perjanjian No.1/Danamon/Bank/IX/2009  dan sebagaimana disebutkan dalam surat gugatan yang pihak tergugat terima maka alasan wanprestasi tidak mendasar sebab dana yang kami terima tidak di berikan pada waktu perjanjian dilaksanakan melainkan dua tahun setelahnya.
Ø  Bahwa mengenai alasan tergugat belum dapat membayar kepada pihak PENGGUGAT   memang benar disebabkan kapal pengangkut barang milik perusahaan kami sedang rusak sehingga banyak dari pelanggan kami yang tersendat dalam pembayaran kepada kami, namun hal ini telah kami sampaikan secara tertulis permohonan waktu jadwal pembayaran dan dimaklumi oleh pihak PENGGUGAT, Sehingga alasan iktikad tidak baik tidak mendasar sama sekali. Maka berdasarkan hal tersebut, gugatan penggugat adalah keliru dan karenanya harus dinyatakan tidak dapat diterima (niet onvanklijk verklard).
B.     DALAM KONVENSI
1.      Bahwa hal-hal yang telah di kemukakan dalam eksepsi mohon di anggap diajukan pula dalam pokok perkara;
2.      Bahwa segala alasan yang telah dikemukan dalam eksepsi diatas, maka secara mutatis muntandis, mohon dianggap sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam konvensi ini;
3.      Bahwa tergugat menyangkal semua dalil-dalil yang dikemukakan penggugat dalam gugatannya karena dalil-dalil yang dikemukakan tersebut tidak berdasarkan fakta-fakta atas kejadian yang sebenarnya dilapangan dan tanpa didukung oleh bukti-bukti yang sah dan dapat diterima menurut hukum;
4.      Bahwa tergugat menolak dan menyangkal dalil penggugat pada poesita nomor 2 yang menyatakan tergugat telah melakukan wanprestasi perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad).
5.      Bahwa permohonan provisi penggugat yang memerintah tergugat untuk menggunakan kewenangan untuk memerintah penyidik dan penuntut umum untuk mengusul secara hukum dan melukan penuntutan hukum adalah mengada-ngada dan tidak memiliki dasar sama sekali.
6.      Bahwa yang dimaksud dengan keadilan sejati (nor geode justitierechtdoon) dalam perkara ini, adalah ketika majelis hakim dalam perkara ini menyatakan menolak gugatan penggugat atau setidak-tidaknya menyatakan gugatan-gugatan penguggat tidak dapat diterima;
C.    DALAM REKONVENSI
1.      Bahwa tergugat dalam konvensi mohon disebut sebagai penggugat dalam rekovensi untut keadilan dalam perkara ini;
2.      Bahwa segala dalil-dalil yang tela dipergunakan dalam konvensi diatas, mohon dianggap dan dipergunakan kembali untuk alasan gugatan dalam rekovensi ;
3.      Bahwa dengan adanya gugatan konvensi yang diajukaan oleh tergugat dalam rekovensi terdahulu, telah menyebabkan penggugat dalam rekonvensi merasa tercemar nama baik dan telah mengalami kerugian baik secara materil maupun inmateril;
4.      Bahwa dalam menangani perkara register nomor : 02/Pdt/G/2013/PN-LSM tergugat konvensi/penggugat rekovensi telah dan akan mengeluarakan biaya-biaya sebesar Rp 50.000.000.-(lima puluh juta rupiah), serta kerugian in materil yang diperkirakan seluruhnya sebesar Rp 700.000.000,-(tujuh ratus juta rupiah);
5.      Bahwa baik gugatan dalam konvensi maupun gugatan dalam rekovensi sesungguhnya diakibatkan oleh tindakan tergugat dalam rekovensi, maka cukup beralasan hukum bila majelis hakim menghukum tergugat dalam rekovensi untuk membayar seluruh biaya yang timbul akibat perkara ini;

Berdasarkan alasan-alasan jawaban di atas, maka atas perkenaan majelis hakim yang memeriksa, mengadili dan memtuskan perkara ini. Agar berkenan memberikan putusan demi hukum dengan amarnya yang berbunyi sebagai berikut :
A.           DALAM EKSEPSI
-       Menyatakan gugatan penggugat tidak dapat ditrima;
B.            DALAM KONVENSI
-       Menyatakan menolak gugatan penggugat seluruhnya
-       Menghukum penggugat untuk membayar seluruh dan segala biaya yang timbul akibat perkara ini.

C.           DALAM REKOVENSI
-   Mengabulkan gugatan penggugat dalam rekovensi untuk seluruhnya;
Bila mejelis hakim berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aeguo et bono )

Demikianlah eksepsi ini, jawaban dalam konvensi dan gugatan dalam rekovensi ini diajukan dengan harapan majelis hakim dapat mengabulkannya, atas perhatian dan perkenaannya, tergugat dalam konvensi/ penggugat dalam rekovensi ucapkan terimakasih.

Hormat Kami Tergugat Konvensi/
                                                                Penggugat Dalam Rekovensi

                                                                                                                                                                                                                (Alfiandi.,SH)

Sunday, April 3, 2016

Contoh Eksepsi, Jawaban dan Gugatan Rekovensi Dalam Perkara Perdata

Eksepsi, Jawaban Tergugat Dan Gugatan Rekovensi
Dalam perkara Perdata Register Nomor : 02/Pdt/G/2013/PN-LSM
Antara
Cut Desi Opiana bertindak atas nama bank danamon-------------------------------Selaku Penggugat
Lawan
Pimpinan PT. Citra Aditya Utama -------------------------------------------------------selaku Tergugat

14 Maret 2013
Kepada Yth,
Majelis Hakim Yang Memeriksa, Mengadili Dan Memutuskan
Perkara Perdata Register Nomor : 02/Pdt/G/2013/PN-LSM
Di –
          Lhokseumawe
Dengan hormat,
Untuk dan atas nama PT. Citra Aditya Utama, bertempat kedudukan di J.Line Pipa Desa Alue Lim Kecamatan Blang Mangat Kota Lhokseuamwe, yang dalam hal ini di wakili oleh pejabat-pejabat PT. Citra Aditya Utama. Sesuai dengan surat kuasa pimpinan PT. Citra Aditya Utama tertanggal 10 Maret 2013, mengajukan eksepsi, jawaban terhadap gugatan Reg. Nomor : 02/Pdt/G/2013/PN-LSM.
Berwenang anatara lain, setelah membaca secara seksama dan teliti terhadap seluruh dalil-dalil gugatan penggugat dalam perkara tersebut berikutnya demi hukum mengajukan eksepsi dan jawaban baik dalam konvensi maupun rekovensi yang pada pokoknya sebagai berikut :
A.  Dalam eksepsi
Bahwa tergugat dengan tegas menolak dan menyangkal dalil-dalil penggugat secara keseluruhan kecuali yang di akui secara tegas oleh berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut tanpa kecuali :
Ø  Bahwa penggugat tidak mendasari dalam mengajukan gugatan wanprestasi yang menyatakan pihak tergugat tidak membayar dengan iktikad tidak baik .
Ø  Bahwa mengingat dalam perjanjian yang telah diperbuat antara penggugat dan tergugat  pada 29 Desember 2009 dana yang di cairkan oleh pihak Penggugat adalah mulai dari bulan januari 2012 sebagaimana tercantum dalam surat perjanjian No.1/Danamon/Bank/IX/2009  dan sebagaimana disebutkan dalam surat gugatan yang pihak tergugat terima maka alasan wanprestasi tidak mendasar sebab dana yang kami terima tidak di berikan pada waktu perjanjian dilaksanakan melainkan dua tahun setelahnya.
Ø  Bahwa mengenai alasan tergugat belum dapat membayar kepada pihak PENGGUGAT   memang benar disebabkan kapal pengangkut barang milik perusahaan kami sedang rusak sehingga banyak dari pelanggan kami yang tersendat dalam pembayaran kepada kami, namun hal ini telah kami sampaikan secara tertulis permohonan waktu jadwal pembayaran dan dimaklumi oleh pihak PENGGUGAT, Sehingga alasan iktikad tidak baik tidak mendasar sama sekali. Maka berdasarkan hal tersebut, gugatan penggugat adalah keliru dan karenanya harus dinyatakan tidak dapat diterima (niet onvanklijk verklard).
B.     DALAM KONVENSI
1.      Bahwa hal-hal yang telah di kemukakan dalam eksepsi mohon di anggap diajukan pula dalam pokok perkara;
2.      Bahwa segala alasan yang telah dikemukan dalam eksepsi diatas, maka secara mutatis muntandis, mohon dianggap sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam konvensi ini;
3.      Bahwa tergugat menyangkal semua dalil-dalil yang dikemukakan penggugat dalam gugatannya karena dalil-dalil yang dikemukakan tersebut tidak berdasarkan fakta-fakta atas kejadian yang sebenarnya dilapangan dan tanpa didukung oleh bukti-bukti yang sah dan dapat diterima menurut hukum;
4.      Bahwa tergugat menolak dan menyangkal dalil penggugat pada poesita nomor 2 yang menyatakan tergugat telah melakukan wanprestasi perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad).
5.      Bahwa permohonan provisi penggugat yang memerintah tergugat untuk menggunakan kewenangan untuk memerintah penyidik dan penuntut umum untuk mengusul secara hukum dan melukan penuntutan hukum adalah mengada-ngada dan tidak memiliki dasar sama sekali.
6.      Bahwa yang dimaksud dengan keadilan sejati (nor geode justitierechtdoon) dalam perkara ini, adalah ketika majelis hakim dalam perkara ini menyatakan menolak gugatan penggugat atau setidak-tidaknya menyatakan gugatan-gugatan penguggat tidak dapat diterima;
C.    DALAM REKONVENSI
1.      Bahwa tergugat dalam konvensi mohon disebut sebagai penggugat dalam rekovensi untut keadilan dalam perkara ini;
2.      Bahwa segala dalil-dalil yang tela dipergunakan dalam konvensi diatas, mohon dianggap dan dipergunakan kembali untuk alasan gugatan dalam rekovensi ;
3.      Bahwa dengan adanya gugatan konvensi yang diajukaan oleh tergugat dalam rekovensi terdahulu, telah menyebabkan penggugat dalam rekonvensi merasa tercemar nama baik dan telah mengalami kerugian baik secara materil maupun inmateril;
4.      Bahwa dalam menangani perkara register nomor : 02/Pdt/G/2013/PN-LSM tergugat konvensi/penggugat rekovensi telah dan akan mengeluarakan biaya-biaya sebesar Rp 50.000.000.-(lima puluh juta rupiah), serta kerugian in materil yang diperkirakan seluruhnya sebesar Rp 700.000.000,-(tujuh ratus juta rupiah);
5.      Bahwa baik gugatan dalam konvensi maupun gugatan dalam rekovensi sesungguhnya diakibatkan oleh tindakan tergugat dalam rekovensi, maka cukup beralasan hukum bila majelis hakim menghukum tergugat dalam rekovensi untuk membayar seluruh biaya yang timbul akibat perkara ini;

Berdasarkan alasan-alasan jawaban di atas, maka atas perkenaan majelis hakim yang memeriksa, mengadili dan memtuskan perkara ini. Agar berkenan memberikan putusan demi hukum dengan amarnya yang berbunyi sebagai berikut :
A.           DALAM EKSEPSI
-       Menyatakan gugatan penggugat tidak dapat ditrima;
B.            DALAM KONVENSI
-       Menyatakan menolak gugatan penggugat seluruhnya
-       Menghukum penggugat untuk membayar seluruh dan segala biaya yang timbul akibat perkara ini.

C.           DALAM REKOVENSI
-   Mengabulkan gugatan penggugat dalam rekovensi untuk seluruhnya;
Bila mejelis hakim berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aeguo et bono )
Demikianlah eksepsi ini, jawaban dalam konvensi dan gugatan dalam rekovensi ini diajukan dengan harapan majelis hakim dapat mengabulkannya, atas perhatian dan perkenaannya, tergugat dalam konvensi/ penggugat dalam rekovensi ucapkan terimakasih.











Hormat Kami Tergugat Konvensi/
                                                                Penggugat Dalam Rekovensi